Selamat Datang dalam Web Kajian Islam Ala Indonesia (KIAI)

Memahami Makna Fundamentalisme Islam

Pendahuluan
Dewasa ini, fundamentalisme telah menjadi sebuah “teks sosial” yang cukup menyita perhatian dan pikiran para intelektual. Berbagai pertanyaan dan penafsiran terus dikembangkan untuk memahami makna di balik fenomena sosial yang kerap dialamatkan pada masyarakat muslim ini. Namun, sebanyak disiplin ilmu dan teori yang dipakai untuk mengkaji masalah tersebut, ujung-ujungnya adalah kontroversi pemaknaan tentang fundamentalisme itu sendiri. Hal ini bisa dimaklumi, karena konteks di mana istilah fundamentalisme itu muncul berbeda sama sekali dengan yang terdapat dalam ajaran Islam. Apalagi, ketika dibawa pada konteks Islam istilah fundamentalisme selalu berkonotasi pejoratif, sehingga meng-hasilkan kajian-kajian yang cenderung impresionistis dan tidak realistis.
Oleh karenanya, untuk mendapatkan pemahaman yang memadai tentang fenomena fundamentalisme Islam perlu melihat akar-akar sosio-kultural yang melatari kemunculannya dalam sejarah sosial masyarakat muslim. Untuk keperluan ini, ada dua teori yang secara longgar dapat dipakai untuk menjelaskan fenomena fundamentalisme Islam. Pertama, teori continuity and change, yaitu teori yang mencoba melihat fenomena gerakan ini sebagai sebuah kesinambungan dan perubahan dalam sejarah Islam. Kedua, teori challenges and opportunities, yakni teori yang berusaha menjelaskan fenomena fundamentalisme Islam sebagai sebuah reaksi terhadap berbagai tantangan dan peluang yang dihadapi oleh kaum muslim di era modern.


Fundamentalisme Islam sebagai Kesinambungan dan Perubahan Sejarah Sosial Masyarakat Muslim
Dalam banyak catatan sejarah, tampak bahwa perkembangan sosial masyarakat muslim generasi awal hingga abad pertengahan menunjukkan dinamika internal yang sangat kuat. Dinamika ini, yang oleh Harun Nasution dipandang sebagai efek pembebasan tawhid, pada prosesnya tidak jarang menampakkan diri dalam ketegangan kreatif (creative tension). Secara teologis, di dalam Islam ketegangan semacam itu memang dipandang sebagai keniscayaan, bahkan merupakan rahmat. Tetapi, secara sosiologis dinamika internal umat Islam tersebut, pada hari ini, juga dipandang sebagai memiliki kesinambungan dengan fenomena fundamentalisme Islam. Pandangan terakhir ini bisa juga dimengerti, karena memang perkembangan sejarah dan budaya manusia di antaranya dicirikan pula oleh adanya kesinambungan dan perubahan.
Di antara ilmuwan yang berpandangan semacam itu adalah Ernest Gellner, Fazlur Rahman dan Said Amir Ardjomand. Bagi Gellner, fundamentalisme Islam merupakan kelanjutan dari perjalanan panjang fenomena sejarah umat Islam pada satu sisi dan perubahan yang dialaminya pada lain sisi. Dalam pengertian ini, maka fundamentalisme Islam, menurut Gellner, tidak dapat dipahami hanya sebagai respon terhadap tantangan modernitas semata.
Dengan teori strukturasinya, Gellner seperti dijelaskan Mujibur-rahman, hendak mengatakan sebenarnya fundamentalisme Islam itu merupakan gerakan pembaruan yang bermaksud mengangkat “Islam tradisi” menuju “Islam resmi”. Walaupun sebenarnya apa yang mereka maksud dengan Islam resmi tidak lain merupakan varian dari Islam tradisi itu sendiri. Tetapi, yang terpenting di sini adalah hasrat kaum fundamentalis untuk melakukan lompatan peradaban dalam momentum yang tepat, sehingga setidak-tidaknya ide-ide mereka terwacanakan.
Penyebutan gerakan pembaruan, yang dipakai oleh Gellner, untuk fundamentalisme Islam tersebut sebenarnya yang lebih tepat justru pemurnian. Hal ini dikarenakan kesinambungannya dengan gerakan-gerakan pemurnian Islam, seperti Ibnu Hambal, Ibnu Taimiyah dan Wahabiyah. Dengan demikian, akar-akar sosial gerakan fundamentalisme Islam sekarang, menurut Gellner, selain merupakan refleksi dari perjuangan kaum puritanis masa lalu, juga sebagai reaksi terhadap keadaan umat Islam dewasa ini yang sedang terhegemoni oleh peradaban Barat.
Namun, teori strukturasi Gellner ini masih mengandung beberapa kelemahan. Pertama, kesinambungan dan perubahan yang terjadi dalam sejarah Islam itu hanya terbatas pada Islam resmi (official Islam) dan Islam tradisi. Akibatnya, teori ini tidak dapat mengakomodasi gerakan-gerakan Islam kontemporer yang tidak berorientasi kepada gerakan pemurnian Islam model Wahabisme, melainkan Islam totalitarian model Khawarij (misalnya Sayyid Qutb atau dalam batas tertentu Maududi) yang justru termasuk kategori Islam tradisi. Kedua, dengan dualisme Islam tersebut juga tidak dapat memotret dinamika pembaruan yang terjadi dalam keseluruhan sejarah pemikiran dan gerakan Islam. Ketiga, Pembagian Islam yang dualistik itu hanya cocok dengan teologi gerakan pemurnian Islam, namun tidak untuk realitas kaum muslim itu sendiri. Padahal, kalau meninjau terhadap realitas tradisi Islam, maka yang tampak adalah tradisi tersebut merupakan kesinambungan antara masa kini, masa lalu dan pandangan ke masa depan, terutama yang dibentuk oleh relasi-relasi kuasa yang ada di sekitar umat Islam.
Oleh karena itu, menurut Jainuri, dilihat dari relasi-relasi kuasa tersebut sesungguhnya fundamentalisme Islam sebagai sebuah fenomena sosial ini dapat dilihat pula dari teori keterasingan (alienation) atau ketidak-berartian (meaninglessness) dan ketidakberdayaan (powerlessness). Seperti penuturan Karl Marx, alinasi ini terjadi karena adanya struktur kapitalisme yang opresif dan tidak emansipatif. Begitu pula, menurut Jainuri, fundamentalisme Islam itu muncul di antaranya karena adanya perasaan tertekan dan tertindas umat Islam oleh sistem sosial, ekonomi, budaya dan politik Barat yang cenderung kapitalistik. Akibat dari adanya sistem sosial Barat yang opresif itulah, meminjam istilah Mead, proses interaksi antara Islam dan Barat di sini telah mengakibatkan timbulnya makna-makna sosial yang antagonistik dan pejoratif, di antaranya adalah timbulnya perasaan meaninglessness dan powerlessness. Sebagai kelanjutannya, karena pada sisi yang lain juga ada perasaan keagamaan atau keumatan yang sangat kuat dalam diri umat Islam, maka muncul semangat perlawanan terhadap sistem sosial, budaya, ekonomi dan politik Barat yang dipandang “tidak manusiawi” tersebut.
Dilihat dari pandangan Mead, yang dikenal dengan interaksion-isme simbolik pragmatis ini, hal penting yang bisa dicatat di sini adalah bukan bagaimana umat Islam secara mental menciptakan makna-makna dan simbol-simbol fundamentalisme tersebut, tetapi bagaimana mereka belajar dari interaksi dengan Barat dan sosialisasinya dengan sesama umat Islam. Dengan cara berfikir seperti ini, maka yang benar adalah bukannya berlama-lama dalam merasakan ketidakbermaknaan dan ketidakberdayaan-nya, tetapi segera mencari makna-makna baru yang lebih positif dan kekuatan yang bisa melepaskan diri dari sistem sosial Barat yang opresif.
Dari kelemahan teori Gellner ini, mengingatkan kita juga pada Fazlur Rahman yang mencoba memetakan perkembangan pembaruan pemikiran Islam dan menjelaskan bagaimana fundamentalisme atau revivalisme Islam lahir dan tumbuh menjadi neo-fundamentalisme. Dalam teorinya, Rahman menempatkan fenonema fundamentalisme kontemporer sebagai neo-fundamentalisme. Dalam proses kemunculan neo-fundamentalisme ini, ada dua gerakan yang mendahuluinya, yaitu revivalisme (fundementalisme) dan modernisme.
Gerakan revivalisme Islam timbul pada abad ke-18 M. yang dirintis oleh Muhammad bin Abdul Wahab di Saudi Arabia. Sebagaimana neo-fundamentalisme nantinya, revivalisme ini lahir dari kesadaran internal umat Islam akan kemerosostan agama dalam kehidupan umat Islam. Oleh karena itu, dalam perkembangannya revivalisme berorientasi pada gerakan pemurnian Islam dari bid’ah, khurafat, tahayyul dan seruan kembali pada al-Qur’an dan Hadis. Ironisnya, pada saat yang sama aliran ini menyerukan ijtihad, kecenderungan “anti-intelektualisme” juga terus dikembangkan, sedangkan al-Qur’an dan Hadis sendiri tidak dikaji aspek metodologinya. Akibtanya, gerakan ini kemudian mengalami stagnasi intelektual, bahkan melebihi kelesuhan ulama konservatif yang dikritiknya.
Sedangkan gerakan modernisme Islam, muncul pada awal abad ke-20 M. yang dinakodai oleh, misalnya, Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh. Satu-satunya ciri yang mempertemukan modernisme ini dengan revivalisme adalah keduanya sama-sama menyerukan ijtihad. Bedanya, kaum modernis masih adaptif terhadap Barat, meskipun pada saat yang sama juga apologetik, sedangkan revivalis tidak berusaha meng-akomodasinya.
Tetapi, meskipun modernisme mengembangkan sikap adaptif terhadap Barat, secara umum Rahman masih melihat ada dua kelemahan. Pertama, mereka tidak mengembangkan metode pembaruan yang jelas. Hal ini mungkin dikarenakan adanya ambivalensi antara adaptasi dan berapologi terhadap Barat. Kedua, gagasan dan pemikiran yang mereka bangun adalah berasal dari Barat, sehingga terkesan Western-minded.
Dalam keadaan di mana modernisme tidak dapat menyajikan konsep keumatan yang ideal inilah neo-fundamentalisme muncul dengan keyakinan, yang juga diwarisi dari modernisme, bahwa Islam adalah cara hidup yang total. Hanya, kaum neo-fundamentalisme lebih terorganisir dan berusaha keras mencari aspek-aspek yang dipandang berlawanan dengan kaum modernis dan Barat.
Dari sini, Soetapa menuturkan bahwa fenomena fundamentalisme Islam tidak lain merupakan kritik terhadap modernitas. Realitas sejarah sosial umat Islam ini tidak lain adalah model respon terhadap perkem-bangan modernitas. Sebagai sebuah respon maka wajar jika fundamental-isme memiliki perbedaan karakter dari apa yang dipersepsi. Jika kaum modernis bersikap kritis terhadap teks dan lebih mengedepankan rasio, maka fundamentalisme menerimanya tanpa reserve.
Dari teori kesinambungan dan perubahan yang dibangun oleh Rahman di atas masih menyisakan satu pertanyaan. Apakah sebenarnya yang menghubungkan neo-fundamentalisme dengan revivalisme atau fundamentalisme itu sendiri? Menjawab pertanyaan ini Said Amir Ardjoman berteori bahwa garis panjang yang menghubungkan semua gerakan fundamentalisme dalam sejarah Islam adalah apa yang mereka tegaskan, sedangkan yang membedakan gerakan tersebut satu dari yang lain adalah apa yang mereka tolak. Hal yang terkahir ini terkait dengan kondisi sosial politik pada saat gerakan fundamentalisme itu muncul.
Dengan teori Ardjoman ini, dapat diketahui dengan mudah mata rantai mana di antara aliran fundamentalisme sepanjang sejarah Islam yang terkait dengan fundamentalisme Islam kontemporer. Apakah Hanbalisme, Wahhabisme, Kharijisme ataukah Syi’isme. Dalam hal ini, tampaknya Ardjoman lebih melihat skripturalisme Wahabi sebagai tipe ideal fundamentalisme Islam, sedangkan bentuk Syi’ah dan Khawarij yang muncul lebih awal dan muncul lagi di zaman modern adalah deviasi dari fundamentalisme skriptural ala Wahabi tersebut.
Dari tiga teori fundamentalisme Islam sebagai kesinambungan dan perubahan sejarah sosial masyarakat muslim di atas, dapat dipahami bahwa fundamentalisme Islam pada dasarnya merupakan gerakan pembaruan yang dalam era modern menjadikan Barat dan yang berbau Barat sebagai lawan. Inilah sebenarnya benang merah yang menghubung-kan berbagai gerakan fundamentalisme Islam dalam sejarah sosial masya-rakat muslim.
Fundamentalisme Islam sebagai Reaksi terhadap Tantangan dan Peluang Era Modern
Asumsi dasar yang dipakai dalam teori yang kedua ini, menurut Mujib, adalah bahwa krisis sosial, ekonomi, politik dan budaya yang menimpa kaum muslim di zaman modern telah melempangkan jalan bagi gerakan fundamentalisme Islam. Secara umum, krisis tersebut ada kalanya bersifat global dan lokal.
Pada level global, Bassam Tibbi menyebutkan bahwa fundamen-talisme pada dasarnya merupakan respon terhadap globalisasi dan fragmentasi. Argumentasinya, bahwa globalisasi telah merajalela dalam ekonomi, politik, komunikasi, transportasi dan teknologi yang menurut kaum fundamentalis semakin meneguhkan dominasi Barat atas Islam. Terlebih dalam konteks ini, struktur ekonomi dan politik masyarakat industri Barat yang telah menjadi kerangka kerja (framework) bagi dunia umat Islam yang lebih luas itu merupakan struktur yang tidak adil. Pertumbuhan dan pengembangan ekonomi Barat misalnya, telah mengikis berbagai pertalian sosial tradisional dan menimbulkan kemacetan aspirasi dalam kelompok-kelompok sosial. Fundamentalisme Islam, di sini, merupakan reaksi terhadap berbagai konsekuensi dari laju pertumbuhan ekonomi Barat yang sangat cepat tersebut. Penghancuran pola-pola kehidupan tradisional dan ketidakmenentuan sebagai implikasi dari fenomena ekonomi ini mengarahkan masyarakat untuk menuntut jalan tradisional kehidupan mereka.
Begitu juga kebijakan politik Eropa Barat sejak terjadinya revolusi Perancis yang ditandai dengan kemunculan negara-negara bangsa (nation-states)dan imperialisme Barat ke Timur merupakan faktor-faktor yang ikut membidani kelahiran fundamentalisme Islam. Apalagi, ketika expansi Eropa ke dunia Islam yang juga disertai dengan percobaan implementasi ideologi-ideologi Barat (seperti kapitalisme dan demokrasi) mengalami kegagalan telah mendorong munculnya kesadaran masyarakat muslim untuk menjadikan Islam sebagai ideologi alternatif.
Besarnya akumulasi ketidakpuasan terhadap Barat dan diperkuat oleh kelonggaran-kelonggaran yang ditimbulkan globalisasi teknologi informasi, pada puncaknya, fenomena fundamentalisme itu melahirkan WTC dan Bali Blast. Dua peristiwa ini, terlepas dari ada atau tidak adanya skenario Amerika, seakan telah mengempiriskan realitas wacana tentang fenomena fundamentalisme Islam.
Tetapi, betapapun signifikannya peristiwa-peristiwa internasional tersebut tentu saja belum cukup memadai untuk disebut sebagai satu-satunya faktor penyebab bangkitnya fundamentalisme Islam. Itu sebab-nya, para ilmuwan mencoba melihat faktor-faktor yang lebih dekat dengan kehidupan kaum fundamentalis itu sendiri, yaitu faktor-faktor sosial, politik dan budaya di negara-negara kaum muslim itu sendiri. Dalam konteks ini, sebagaimana catatan Mujiburrahman, banyak sarjana yang mencoba berteori bahwa fundamentalisme Islam lahir karena berbagai ketidakpuasan sosial atau krisis sosial yang dialami oleh masyarakat muslim.
Penutup
Dari beberapa penjelasan di atas dapat diambil suatu pemahaman bahwa fundamentalisme Islam dapat dipahami dari dua perspektif teori, yakni teori continuity and change dan teori challenge and opportunity. Dalam perspektif teori yang pertama, fundamentalisme Islam dapat dilihat sebagai fenomena yang berakar kuat pada dinamika internal dalam sejarah sosial dan pemikiran masyarakat muslim. Sedangkan perspektif kedua, menjelaskan bahwa fundamentalisme Islam tidak lain merupakan reaksi terhadap berbagai tantangan dan peluang yang dihadapi oleh kaum muslim di era modern, berupa tantangan globalisasi, fragmentasi dan kekacauan ekonomi dan politik Barat. Selain itu, dilihat dari relasi-relasi kuasa yang juga turut ambil bagian dalam membentuk tradisi Islam, maka fenomena fundamentalisme Islam juga bisa dilihat dari kaca mata teori keterasingan (alienation) atau ketidakbermaknaan (meaninglessness) dan ketidak-berdayaan (powerlessness). Dari perspektif ini, dapat dikatakan bahwa fenomena fundamentalisme Islam muncul bermula dari interaksi sosial yang timpang, yakni bermuara dari sistem sosial, budaya, ekonomi dan politik Barat yang kapitalistik, opresif dan hegemonik. Sementara di sisi lain, masyarakat muslim memiliki pandangan dunia yang mengarah pada pemeliharaan terhadap hak-hak Tuhan dan hak-hak masyarakat manusia secara keseluruhan. Wallahu a’lam bi al-shawab.

Baca Selengkapnya »»

Eksistensi Tuhan dalam Filsafat Ibnu Rusyd

Pendahuluan
Dalam menetapkan bukti-bukti tentang adanya Tuhan dan menjelaskan pola interaksi-Nya dengan alam, Ibnu Rusyd menempuh pendekatan yang berbeda dari para teolog maupun filosof pendahulunya seperti al-Farabi dan Ibnu Sina. Hal ini sedikitnya dilatari oleh dua alasan: Pertama, dalil kaum teolog yang bersandar kepada kaidah barunya alam bukanlah dalil agama yang ditawarkan oleh Allah Swt. dalam al-Quran. Menurut Ibnu Rusyd, dalam dalil tersebut masih terdapat berbagai keraguan pada premis-premisnya. Kedua, dalil penalaran melalui pembedaan antara wajib dan mumkin yang dikembangkan oleh al-Farabi dan Ibnu Sina hanya bisa menjangkau kalangan tertentu saja, yakni para filosof dan tidak bagi kalangan yang jumlahnya lebih banyak.
Oleh karena itu, Ibnu Rusyd mencoba menjelaskannya dengan suatu nalar yang bukan saja bisa dijangkau oleh masyarakat awam, tetapi juga sesuai dengan kaidah-kaidah kefilsafatan. Pendekatan ini oleh Ibnu Rusyd disebut sebagai jalan syari’at (agama), yakni suatu jalan yang ditunjukkan oleh para Rasul melalui kitab-kitab suci mereka. Lebih tepatnya, Ibnu Rusyd mengelompokkan jalan tersebut menjadi tiga dalil, yaitu dalil ikhtira’, dalil ‘inayah al-Ilahiy dan dalil harakah, suatu dalil yang dikembangkannya dari madzhab Aristoteles.


Dalil ‘Inayah al-Ilahiy
Dalil ‘inayah didasarkan pada dua prinsip: Pertama, bahwa semua yang ada di alam semesta ini sesuai dengan kebutuhan manusia. Kedua, kesesuaian ini merupakan suatu kemestian dari segi Fa’il yang menghendaki tujuan tersebut, sebab tidak mungkin adanya kesesuaian itu terjadi secara kebetulan.
Dalil ini merupakan pengetahuan tentang Allah Swt. dengan segala ciptaan-Nya dan merupakan jalan yang ditempuh oleh para hukama’ (filosof). Dalam kitab Tafsir Ma ba’da al-Thabi’ah, sebagaimana dikutip oleh al-Iraqiy, Ibnu Rusyd menegaskan:
“Maka sesungguhnya syari’at yang khusus bagi filosof adalah meneliti terhadap segala yang ada. Sebab, Pencipta tidak disembah dengan suatu ibadah yang lebih mulia dari pada ma’rifah tentang segala ciptaan-Nya yang membawa kepada pengetahuan tentang Dzat-Nya yang mahasuci secara hakiki. Dengan demikian penelitian tersebut merupakan amal yang paling mulia di sisi-Nya.
Artinya, siapa saja yang menghendaki pengetahuan sempurna tentang Allah maka dia harus melakukan pengamatan terhadap segala yang ada ini. Di alam semesta terdapat berbagai contoh yang menunjukkan kesesuaian segala yang ada ini dengan eksistensi manusia. Itu artinya menunjukkan pula adanya ‘inayah al-Ilahiy, misalnya adanya matahari, bulan, tumbuh-tumbuhan, binatang, barang-barang tambang dan anggota tubuh manusia yang ternyata terdapat saling kesesuaian. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Rusyd:
“Adapun segala yang ada ini sesuai bagi eksistensi manusia. Kebenaran tentang keyakinan ini dapat diperoleh dari adanya gambaran kesesuaian antara malam dan siang, matahari dan rembulan, seperti halnya kesesuaian musim yang empat (panas, dingin, semi dan gugur) bagi manusia. Sedangkan kesesuaian tempat bagi manusia, misalnya bumi ini sendiri. Demikian juga tampak adanya kesesuaian bagi manusia pada berbagai jenis binatang, tumbuh-tumbuhan, barang-barang tambang dan beberapa aspek yang lain seperti hujan, sungai, lautan dan tanah, air, api dan udara. Selain itu, juga tampak adanya ‘inayah tersebut dalam anggota tubuh manusia dan binatang, yakni bentuk dm ukuran anggota-anggota tubuh tersebut sesuai bagi kehidupan dan eksistensi manusia.”
Disamping itu, segala sesuatu yang ada di atas bumi ini diatur sedemikian rupa sehingga dapat saling menjaga bermacam-macam wujud yang ada di bumi secara mesti. Oleh karena itu, tidak mungkin adanya segala yang ada (mawjudat) ini adalah secara kebetulan, alias ada penciptanya. Matahari umpamanya, andaikan jisimnya lebih dari yang ada sekarang atau posisinya lebih dekat lagi dengan bumi, maka pasti rusaklah berbagai jenis tumbuh-tumbuhan dan binatang disebabkan oleh panasnya sinar matahari. Sebaliknya, bila jisim matahari itu lebih kecil atau lebih jauh, maka segala yang ada di bumi ini juga akan rusak dikarenakan oleh dingin yang amat sangat. Sedangkan jika tidak ada matahari yang mengisi langit maka tidak akan pernah ada pula musim panas, dingin, semi maupun musim gugur. Padahal, adanya keempat musim tersebut merupakan suatu kemestian bagi keberadaan tumbuh-tumbuhan dan binatang, bahkan manusia. Akhirnya, apabila semua gerak harian ini tidak ada, maka tidak akan ada pula siang dan malam.
Adapun rembulan pengaruhnya juga sangat jelas, sebab seandainya jisim bulan itu lebih besar atau lebih kecil, lebih jauh atau lebih dekat, atau sinarnya tidak terpancar dari matahari, maka tidak akan ada lagi bagi rembulan tersebut perbuatannya yang ada selama ini.
Oleh karena itu, ‘inaya al-Ilahiy di atas tidak mungkin terbatas hanya pada matahari dan bulan, tetapi mesti terdapat juga pada keseluruhan bintang-bintang, langit-langit dan dalam perjalanan benda-benda langit yang bergerak secara seimbang dengan jarak yang terbatas dari matahari. Seandainya sirkulasi benda-benda langit itu berhenti sekejap saja, maka pasti rusaklah segala yang ada di bumi, apalagi jika mereka berhenti secara keseluruhannya.
Untuk mempertegas dalil ‘inayah-nya itu, Ibnu Rusyd mengatakan bahwa apabila manusia memperhatikan sesuatu yang konkrit (al-syai’ al-mahsus) maka mereka akan menyaksikan sesuatu itu diletakkan dengan bentuk, ukuran dan tempat yang sesuai dengan keseluruhannya. Semua itu, agar bermanfaat bagi manusia, baik dalam bentuknya yang konkrit maupun tujuan-tujuannya yang hendak dicapai. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa jika semua itu tidak diletakkan sebagaimana mestinya di atas maka dalam pembentukan, peletakan dan penetapan tersebut tidak akan memberikan manfaat bagi manusia. Sehingga, tidak mungkin dengan adanya keserasian segala sesuatu yang konkrit tersebut, adanya suatu manfaat itu adalah secara kebetulan. Misalnya, apabila manusia menyaksikan sebuah batu, maka mereka akan menemukan bahwa bentuk (fungsi) batu itu dapat diubah menjadi tempat duduk. Demikian juga perihal letak dan ukurannya, sehingga seseorang akan mengetahui bahwa tempat duduk dari batu tersebut dijadikan oleh penciptanya, yaitu dia yang telah meletakkannya seperti itu dengan ukuran dan tempatnya yang tertentu.
Ibnu Rusyd memperkuat dalil ini dengan mengemukakan sejumlah ayat al-Quran, diantaranya (QS. Al-Naba’/78:6-16):
“Bukankah Kami telah menjadikan bumi itu sebagai hamparan dan gunung sebagai pasak. Kami jadikan kamu berpasang-pasangan, Kami jadikan tidurmu untuk beristirahat, malam sebagai pakaian, siang untuk mencari penghidupan, dan Kami tegakkan di atas kamu tujuh lapis langit yang kokoh, Kami jadikan pelita (matahari) yang amat terang, Kami turunkan dari awan air yang banyak, supaya dapat Kami tentukan dengan air itu biji-bijian dan tumbuh-tumbuhan dan kebun-kebun yang lezat.”
Menurut filosof muslim Cordova tersebut, ayat ini mengandung pernyataan tentang adanya keserasian antara bagian-bagian dari alam ini dengan wujud manusia. Oleh karena itu, tidak dapat disangsikan lagi bahwa bumi yang diciptakan dengan sifat-sifatnya ini adalah agar memudahkan bagi manusia untuk menempatinya. Seandainya bumi memiliki bentuk selain yang sekarang dan tidak terletak pada tempatnya yang selama ini ada, atau dengan ukuran yang berbeda maka tidak akan pernah mungkin ada sesuatu yang tercipta di atasnya. Hal ini tergambar dalam firman-Nya:
Bukankah Kami telah menjadikan bumi itu sebagai hamparan…(QS. Al-Naba’/78:6).
Dimana kata (mihada) dalam ayat ini mencakup makna keserasian bentuk dan tempat bumi.
Adapun premis-premis yang memperkuat dalil ‘inayah di atas adalah sebagai berikut:
Alam dengan seluruh bagian-bagiannya diadakan sesuai bagi manusia dan segala yang ada (premis minor).
Setiap yang ada itu sesuai dalam seluruh bagian-bagiannya bagi perbuatan yang satu dan diluruskan kearah tujuan yang satu, yaitu penciptaan yang mesti (premis mayor)
Jadi, alam adalah diciptakan secara dharuriy dan ia memiliki pencipta (konklusi).
Dengan demikian, dalil ‘inayah Ibnu Rusyd ini memang sesuai dengan kedua prinsip yang melatarinya, yakni semua yang ada di alam semesta diciptakan sesuai bagi keperluan manusia; dan keserasian tersebut merupakan suatu kemestian bila ditinjau dari segi fa’il yang menghendakinya, sebab tidak mungkin adanya keserasian itu terjadi secara kebetulan. Oleh karenanya, Ibnu Rusyd berani meyakinkan bahwa dalil yang ditawarkannya ini merupakan dalil yang kuat untuk membuktikan adanya pencipta alam.
Demikianlah Ibnu Rusyd mengupayakan dengan dalil ‘inayah itu dapat membuktikan adanya Allah Swt. sebagai Pencipta dan Pemelihara alam. Sehingga, dengan dalil itu perlu ditegaskan bahwa Ibnu Rusyd telah melontarkan kritiknya terhadap dalil yang mengatakan bahwa segala yang ada di alam terjadi secara kebetulan (bi al-ittifaq), atau pendapat tentang sifat mumkin dan ja’iz-nya segala sesuatu. Menurut Ibnu Rusyd, kedua dalil tersebut bertentangan dengan syari’at dan filsafat. Karena, kedua dalil tersebut lebih dekat kepada peniadaan pencipta dari pada membuktikan keberadaan-Nya.
Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa dalam dalil ‘inayah Ibnu Rusyd, yang oleh kebanyakan ahli dinilai sebagai dalil syari’at, justru mengandung muatan rasional yang nyata dan memuat kritik-kritik kepada dalil-dalil yang mengatasnamakan dalil agama. Atas dasar itu, bisa dipahami ketika al-Iraqiy berpendapat bahwa sedikit sekali ditemukan pada kalangan teolog maupun filosof sebelum Ibnu Rusyd yang mampu mempertemukan secara baik antara dalil ‘inayah dan ghaiyah. Bahkan, Aristoteles sendiri yang mengemukakan adanya tujuan dari gerak alam ini belum juga sampai pada usaha mempertemukannya dengan ‘inayah Tuhan dalam dalil tersebut. Jika Ibnu Rusyd menciptakan suatu dalil yang belum pernah dilakukan oleh gurunya (Aristoteles), maka hal itu semata-mata dilaksanakan oleh Ibnu Rusyd dalam rengka mempertemukan apa yang terkandung dalam madzhab Aristoteles, sebagai yang mewakili warisan tradisi Yunani, dengan ajaran-ajaran dasar yang terdapat dalam Islam.
Namun demikian, harus segera pula dicatat bahwa usaha Ibnu Rusyd merekonsiliasi kedua tradisi tersebut bukanlah satu-satunya atau yang pertama kali dilakukan di dunia Islam. Jika ditelusuri jauh ke masa-masa sebelum Ibnu Rusyd, maka akan kita dapati bahwa kaum Mu’tazilah telah membicarakan persoalan ‘inayah Ilahiy tersebut dalam lima ajaran dasar mereka. Tepatnya, sebagaimana tercermin dalam ajaran mereka tentang keadilan Tuhan (al-‘adl). Bermula dari pembahasan tentang masalah keadilan Tuhan inilah, mereka sampai pada pemikiran tentang ‘inayah Ilahiy yang dipandang sebagai manifestasi dari keadilan Tuhan kepada manusia.
Lebih dari itu, kaum filosof muslim generasi awal seperti al-Kindi dan belakangan Ibnu Thufail juga telah menggelar wacana tentang dalil ‘inayah al-Ilahiy ini. Al-Kindi misalnya, dalam penjelasannya tentang sebab dari segala yang ada, mengatakan bahwa segala yang ada di alam bagi adanya sendiri antara lain diperlukan “sebab tujuan” (‘illah gha’iyah). Dan mengenai pembuktiannya terhadap adanya Allah, al-Kindi mengedepankan suatu keyakinan tentang adanya hikmah al-Ilahiy dan gha’iyyah tersebut.
Sedangkan Ibnu Thufail dalam kisah roman filosofisnya, Hayy ibn Yaqdzan, menguraikan ungkapan tentang ‘illah gha’iyyah dan ‘inayah Ilahiy juga secara memadai. Di sinilah kira-kira alasannya ketika al-Iraqiy mempertahankan penilaiannya bahwa al-Kindi dan Ibnu Thufail juga bersandar pada kedua dalil tersebut dalam membuktikan adanya Allah.
Dari penjelasan tersebut tidak tertutup kemungkinan bahwa Ibnu Rusyd telah terpengaruh oleh pemikiran para filosof muslim pendahulunya, seperti al-Kindi dan Ibnu Thufail. Tetapi, tidak dapat diingkari juga bahwa pemikiran Ibnu Rusyd dalam hal ini sangat tipikal, sehingga kedua dalilnya itu tentu saja sangat berbeda dengan versi al-Kindi maupun Ibnu Thufail. Disamping itu, gagasan Ibnu Rusyd tentang dalil ‘inayah al-Ilahiy memiliki saling keterkaitan dengan berbagai pemikiran filosofisnya yang lain, seperti ide tentang kausalitas (sababiyah) dan ghai’iyah yang ia komposisikan dari Aristoteles. Satu alasan lagi mengapa Ibnu Rusyd dibedakan dari yang lain adalah sikap keberagamaan Ibnu Rusyd merupakan faktor yang tersendiri bagi kemunculan dalil inayah al-Ilahiy tersebut.
Dalil Ikhtira’
Sebagaimana telah dijelaskan oleh Ibnu Rusyd dalam al-Kasyf ‘an Manahij al-Adillah, dalil ikhtira’ ini didasarkan pada suatu keyakinan bahwa segala sesuatu yang dapat dipersepsi pancaindera maupun akal adalah diciptakan. Oleh karena itu, Ibnu Rusyd menyebutnya sebagai dalil penciptaan atau dalil ikhtira’. Selain itu, tujuan syar’i dalam pengetahuan tentang alam ini tidak lain adalah untuk menegaskan bahwa alam memang diciptakan dan karenanya alam ini mesti memiliki pencipta, yakni Allah SWt.
Terdapatnya berbagai jenis binatang, tumbuh-tumbuhan, barang-barang tambang dan langit yang bertingkat-tingkat, semua itu merupakan bukti adanya penciptaan. Dari itu, Ibnu Rusyd kembali menegakkan dalil tersebut di atas dua prinsip. Pertama, bahwa segala yang ada ini adalah diciptakan; Kedua, setiap ciptaan mesti ada penciptanya. Kedua prinsip ini, sebagai dinyatakan oleh Ibnu Rusyd sendiri, ada secara potensial dalam keseluruhan penciptaan manusia.
Prinsip pertama dapat diketahui dengan sendirinya dalam wujud binatang dan tumbuh-tumbuhan. Hal ini sebagaimana tercermin dalam al-Qur’an:
Sesungguhnya segala sesuatu yang kamu seru selain Allah, sekali-kali tidak akan pernah dapat menciptakan seekor lalat pun, walaupun mereka bersatu untuk menciptakannya. (QS. al-Hajj/22:73)
Menurut al-Iraqiy, prinsip pertama tadi mengandung makna bahwa seandainya kita menyaksikan jisim-jisim materi dan darinya melahirkan suatu kehidupan, maka dapat dipastikan bahwa di sini terdapat pencipta yang mewujudkan kehidupan tersebut, karena setiap sesuatu itu mesti ada sebabnya dan tidak ada sesuatu apapun yang tercipta secara kebetulan. Kemudian, keteraturan gerakan langit juga dapat dikatakan bahwa ia diperintahkan untuk bergerak dan dipelihara agar tetap wujud di alam semesta, serta ditundukkan demi kepentingan manusia. Dzat yang menundukkan dan memerintah langit itulah yang menciptakannya beserta gerakannnya secara mesti.
Jika prinsip pertama ini dipadukan dengan prinsip kedua yang menegaskan bahwa setiap ciptaan mesti mempunyai pencipta, maka tidak dapat disangsikan lagi bahwa segala yang ada ini tentu mempunyai pencipta. Apabila dalam dalil tadi terdapat suatu kemestian yang menetapkan sampainya sesuatu kepada penciptanya, maka sesungguhnya kemestian ini muncul dari pengetahuan tentang segala yang ada (mawjudat) dengan sendirinya. Hal ini sebagaimana dinyatakan oleh Ibnu Rusyd:
Oleh karena itu, merupakan suatu kemestian bagi siapa saja yang menghendaki pengetahuan tentang Allah sebagai sebenar-benarnya pengetahuan, mengetahui substansi segala sesuatu agar dia bisa sampai kepada penciptaaan yang hakiki dalam keseluruhan mawjudat, karena siapa saja yang tidak mengetahui hakikat sesuatu maka dia tidak akan mengetahui hakikat penciptaan.
Allah Swt. Berfirman:
Apakah mereka tidak memperhatikan kerajaan langit dan bumi dan segala sesuatu yang diciptakan Allah…..(QS. Al-A’raf/7:185)
Adapun ayat al-Qur’an yang memberikan isyarat kepada dalil ikhtira’ tersebut, sebagaimana disinyalir oleh Ibnu Rusyd dalam al-Manahij al-Adillah, adalah firman Allah Swt.:
Maka hendaklah manusia memperhatikan dari apakah dia diciptakan? Dia diciptakan dari air yang terpancar. (QS. Al-Thariq/86:6)
Maka, apakah mereka tidak memperhatikan onta, bagaimana ia diciptakan dan bagaimana langit ditinggikan....(QS. Al-Ghasiyyah/88:17)
Dalam penilaian al-Iraqiy, kedua dalil Ibnu Rusyd di atas (‘inayah al-Ilahiy dan ikhtira’) memiliki saling keterkaitan, karena dalam kedua dalil tersebut terdapat prinsip-prinsip hubungan, seperti kausalitas (sababiyah) dan tujuan (gha’iyyah). Dasar argumennya adalah firman Allah Swt.:
Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang sebelummu, agar kamu bertakwa. Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit-langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rizki bagimu; karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui. (QS. Al-Baqarah/1:21-22)
Ibnu Rusyd berpendapat bahwa dalil ‘inayah dan ikhtira’ tidak saja sesuai bagi masyarakat khawas (ulama) tetapi juga bagi kalangan jumhur. Hanya saja, yang menjadi perbedaannya adalah pengetahuan mereka tentang perinciannya:
Kalangan jumhur membatasi pengetahuan ‘inayah dan ikhtira’ hanya kepada sesuatu yang terjangkau oleh pengetahuan pertama yang dibangun atas dasar pengetahuan inderawi. Sedangkan ulama, maka mereka ini menambahkan sesuatu yang hanya terjangkau secara inderawi dengan sesuatu yang dapat dicapai secara yakini (burhaniy), yaitu dari pengetahuan ‘inayah dan ikhtira’.
Maksud dari pendapat Ibnu Rusyd tersebut sesungguhnya adalah apabila pengetahuan jumhur bersifat inderawi, maka pengetahuan ulama mesti bersifat rasional (‘aqliyah) dan bisa dibuktikan (burhaniy). Derajat perbedaan pemahaman tersebut lebih dipengaruhi oleh tingkat kedalaman pengetahuan mereka tentang segala sesuatu. Oleh karena itu, ketika jumhur memperhatikan segala yang ada ini tanpa mempunyai pengetahuan tentang penciptaan, maka mereka akan menganggap bahwa segala yang ada ini hanyalah ciptaan belaka. Padahal, bagi setiap yang diciptakan itu mesti ada pencipta yang mewujudkannya. Sedangkan ulama, lebih dari itu, menambahkan pengetahuan filosofis kedalamnya, sehingga mereka bukan saja lebih mengetahui pencipta dari segi bahwa ia adalah pencipta, tetapi juga mengetahui lebih banyak dari pada orang-orang yang hanya mengetahui ciptaan-ciptaan ini dari segi ia sebagai ciptaan belaka.
Apabila jumhur mengetahui bahwa segala yang diciptakan ini ada penciptanya, maka demikian juga ulama. Dengan demikian, berbeda dengan kaum materialis yang mengingkari adanya pencipta. Mereka yang disebut belakangan ini ibarat orang-orang yang mengetahui berbagai ciptaan, namun tidak menyadari bahwa semua itu diciptakan. Bahkan, menganggapnya sebagai sesuatu yang terjadi secara kebetulan atau tercipta dengan sendirinya. Kaitannya dengan madzhab materialisme di sini, yang berpendapat bahwa segala sesuatu ini terjadi secara kebetulan adalah mengingatkan kita pada kesalahan argumen kaum Asy’ariah ketika berpendapat bahwa penciptaan ini dapat dibagi menjadi: ittifaq, jawaz dan imkan.
Dengan demikian, adanya suatu pendapat yang mengatakan bahwa meskipun Ibnu Rusyd menyatakan bahwa dalil ‘inayah al-Ilahiy dan ikhtira’ merupakan dalil syari’at, namun tidak berarti bahwa Ibnu Rusyd menegakkan kedua dalilnya itu berdasarkan batasan-batasan yang telah ditetapkan oleh kaum khitabiy (teolog), dikarenakan kaum teolog tersebut juga mendasarkan dalil-dalilnya di atas nash-nash syar’i. Alasannya sederhana saja, apa yang dilakukan oleh Ibnu Rusyd adalah dalam rangka memformulasikan unsur-unsur filosofis dari ayat-ayat al-Qur’an agar bisa diterima oleh ahli burhaniy (filosof). Oleh karena itu, walaupun Ibnu Rusyd menemukan dalam al-Qur’an adanya tiga pendekatan (khitabiy, jadliy dan burhaniy), yang notabene diperuntukkan bagi seluruh tingkatan manusia, namun Ibnu Rusyd tetap menghendaki lebih dari apa yang telah ditempuh oleh para ahli khitabiy maupun jadaliy, sehingga bisa sampai kepada tujuan ahli burhaniy. Dalam rangka mencapai maksud ini, Ibnu Rusyd menegaskan tidak ada jalan lain kecuali dengan melakukan takwil terhadap ayat-ayat al-Qur’an dengan cara burhaniy.
Dalil Harakah (Gerak)
Selain dalil ‘inayah al-Ilahiy dan ikhtira’ di atas, Ibnu Rusyd berupaya memuaskan orang-orang khawas dengan dalil lain yang diandalkannya, yaitu dalil harakah. Dalil harakah ini, menurut Ibnu Rusyd sebagai dikutip oleh Ibrahim Madkour, secara filosofis lebih utama bila dibandingkan dengan dalil pembedaan antara mumkin dan wajib yang ditawarkan oleh Ibnu Sina dalam membuktikan adanya Tuhan.
Sebagaimana halnya Aristoteles, Ibnu Rusyd dalam dalil harkah ini juga menetapkan adanya kemestian hubungan antara gerakan alam dengan Penggerak Pertama (al-Muharrik al-Awwal). Sesungguhnya, para filosof ketika mengamati bentuk-bentuk segala yang ada, maka jelas bagi mereka kemestian sampainya perkara dalam bentuk-bentuk atau esensi-esensi kepada esensi lain yang secara aktual terpisah dari materi dan dia mesti merupakan perbuatan murni (fi’l mahd). Demikian juga, ketika terdapat esensi potensial yang hanya bisa menjadi aktual dikarenakan oleh adanya esensi lain yang memiliki sifat aktual, maka perkara ini juga mesti berhenti pada suatu esensi yang merupakan perbuatan murni. Esensi tersebut tidak lain adalah Penggerak Pertama dari segala yang ada ini.
Atas dasar pandangan tersebut, Ibnu Rusyd seperti dikutip oleh al-Iraqiy, menegaskan bahwa tidak mungkin alam semesta ini menjadi penggerak bagi dirinya sendiri, yakni bergeraknya segala sesuatu itu tanpa ada penggeraknya. Misalnya, pohon yang ditumbangkan oleh tukang kayu, tidak mungkin ia tumbang dengan sendirinya jika tukang kayu tadi tidak menggerakkannya. Sama tidak mungkinnya juga dengan di bumi ini akan tumbuh pepohonan jika tidak ada yang menaburkan benih untuk kali pertamannya.
Dengan demikian jelas bahwa dalam ilmu fisika (‘ilm al-thabi’iy) Ibnu Rusyd, setiap gerak mesti mempunyai penggerak. Sesungguhnya, sesuatu yang bergerak itu hanya bisa bergerak berdasarkan sifat potensialnya, sedang penggerak bisa bergerak berdasarkan sifat aktualnya. Penggerak yang bergerak pada satu kesempatan dan tidak bergerak pada lain kesempatan, maka dia merupakan penggerak yang hanya bergerak atas dasar adanya sesuatu. Dalam hal ini, Ibnu Rusyd menegaskan bahwa ketika terdapat penggerak yang menggerakkan sesuatu dalam suatu waktu dan tidak menggerakkannya pada waktu yang lain, maka mesti terdapat penggerak lain yang mendahuluinya, sehingga tidak ada bagi sesuatu tadi penggerak pertamanya. Jika kami pastikan bahwa penggerak pertama bagi alam ini juga bergerak sesekali saja, maka dia pun tidak ada bedanya dengan penggerak sebelumnya tadi. Hal yang seperti ini bisa menyebabkan adanya tasalsul tanpa batas. Oleh karena itu, alam ini mesti mempunyai penggerak pertama yang tidak bergerak sama sekali, yakni Dia yang bergerak bukan karena dzat maupun sifat-Nya.
Dengan demikian, penggerak bagi alam semesta ini mesti merupakan perbuatan murni (fi’l mahdh), bukan penggerak yang berbuat dalam suatu ikatan masa dan hanya berbuat karena sifat potensialnya. Sebab, jika Dia merupakan penggerak yang bukan merupakan perbuatan murni, maka alam semesta ini tidak akan pernah terjadi dari-Nya.
Ibnu Rusyd memperkuat argumen di atas dengan pernyataannya bahwa setiap penggerak yang terdapat sifat potensial pada jawhar-nya, maka dia tidak bisa bergerak tanpa adanya penggerak lain yang akan mengaktualkan sifat potensialnya, sehingga bisa jadi penggerak yang demikian ini tidak akan pernah bisa mengktualkan gerakannya. Begitu juga bila terdapat penggerak yang sifat potensialnya berkaitan dengan suatu tempat, maka dia tidak akan selamanya ada, atau akan rusak dalam suatu masa. Hal inilah yang ditegaskan oleh Ibnu Rusyd dalam ilmu fisikanya, bahwa setiap sesuatu yang terdapat sifat potensial pada jawhar-nya, maka ia adalah sesuatu yang bisa rusak (fasid).
Jika ada penggerak yang dengan sifat potensialnya bergerak pada suatu tempat, maka boleh jadi dia bukanlah wujud penggerak itu sendiri. Oleh karena itu, penggerak alam semesta ini mesti tidak bercampur dengan sifat potensial sama sekali, tidak pada jawhar maupun wujudnya, dan tidak pada sumber-sumber potensi lainnya. Inilah makna esensi suatu perbuatan dalam filsafat Ibnu Rusyd.
Jika sebab adanya potensi itu adalah materi (hayula), maka penggerak pertama bagi alam semesta ini mesti terpisah dari materi. Jika setiap yang kekal adalah perbuatan murni (fi’l mahdh), maka setiap yang merupakan perbuatan murni mesti tidak mengandung sifat potensial di dalamnya.
Seperti inilah Ibnu Rusyd menyajikan konsepsi tentang gerak (harakah) dan penggerak (muharrik), atau konsepsinya tentang sifat potensial dan aktual untuk membuktikan adnya Tuhan. Konsepsi tersebut sekaligus dalam rangka menghindari kemungkinan adanya mata rantai yang tidak berkesudahan, sebab gambaran yang paling akhir ini tidak akan membawa kepada pendapat tentang adanya Penggerak Pertama (al-Muharik al-Awwal) yang tidak bergerak sama sekali, yaitu Tuhan itu sendiri.

Baca Selengkapnya »»

Problem Kosmologi dalam Filsafat Ibnu Rusyd

Pendahuluan
Sebagaimana telah populer dalam sejarah pemikiran Islam, masa antara abad ke 9–13 M. merupakan periode paling kontroversial tetapi produktif. Oleh karena itu, para intelektual menyebutnya sebagai the age of creative tension. Kontroversi ini antara lain terlihat dalam pergumulan antara kaum fuqaha dengan sufi, teolog dengan ahlul hadits dan filosof, bahkan antara sesama teolog maupun filosof hingga para sufi.
Tulisan ini ingin mengungkap konsep kosmologi menurut Ibnu Rusyd. Seorang filosof muslim yang hidup pada abad 12 M. (1126–1198) di Cordova Spanyol.Ibnu Rusyd pernah terlibat “di luar arena” dalam polemik antara Ibnu Sina dan al-Ghazali. Kehadirannya dalam sejarah intelektualisme Islam signifikan baik bagi usaha mengurai benang kusut pemikiran maupun dalam menghidupkan kembali filsafat yang telah memasuki titik nadir. Bahkan, para sejarawan berpendapat bahwa filosof muslim penganut madzhab Maliki dalam bidang fiqh ini juga telah menorehkan warna filsafat yang lebih spesifik. Pandangan ini, menurut Yusuf Musa, dilatari oleh adanya ciri khusus pada beberapa gagasan dan pemikiran Ibnu Rusyd dalam Tahafut al-Tahafut, Fashl al-Maqal dan al-Kasyf ‘an Manahij al-Adillah. Pada sebagian besar karya ini, Ibnu Rusyd bukan sekadar menunjukkan wacana dekonstruksi yang signifikan bagi perkembangan filsafat sesudahnya di Timur dan Barat, tetapi juga telah menyederhanakan pembahasan filsafatnya sehingga dapat dijangkau oleh logika awam (common sense).


Di antara tema kosmologi yang menjadi polemik abad pertengahan adalah soal eternalitas alam. Masalah ini menjadi menarik karena umat beragama di dunia Timur sedang berhadap-hadapan dalam diskusi mendalam mengenai keyakinannya masing-masing tentang Tuhan dan alam. Menurut Harun Nasution, diskursus metafisika ini sangat menyita energi dan fikiran para filosof karena terkait dengan upaya mereka mempertahankan konsepsi tauhid dan aqidah Islam dari kontaminasi berbagai paham yang berkembang di luar agama.
Usaha Ibnu Rusyd menjelaskan bagaimana alam ini diciptakan tampak diwarnai oleh Aristoteles, bahwa alam secara keseluruhannya adalah diciptakan tidak secara sekaligus. Perbuatan mencipta itu sendiri mesti berlangsung sejak azaliy, abadi serta berlangsung secara terus menerus (al-khalq al-mustamir). Menurut Ibnu Rusyd, penciptaan tidak bisa sempurna dalam satu tahap sekaligus, apalagi dari sesuatu yang tidak ada sebelumnya (creatio ex nihilo). Jadi, penciptaan harus dipahami sebagai proses merubah sesuatu menjadi sesuatu yang lain (al-khalq min al-syai’) atau merubah sifat potensial pada materi pertama menjadi sesuatu yang aktual di alam wujud. Keseluruhan proses ini berlangsung secara terus menerus sejak zaman tak bermula hingga tak terhingga.
Bagaimana Ibnu Rusyd menguraikan lebih lanjut teori kosmologi inilah yang akan menjadi pokok masalah dalam tulisan ini. Oleh karena itu, tulisan ini dimaksudkan untuk mengurai filsafat Ibnu Rusyd tentang teori eternalitas alam, penciptaan dari ada (al-khalq min al-syai’) dan penciptaan secara terus menerus (al-khalq al-mustamir).
Alam antara Huduts dan Qadim
Sebagaimana telah tampak dalam berbagai pemikirannya, di sini Ibnu Rusyd memakai dalil Aristoteles untuk menafsirkan nash-nash agama secara rasional, berdasarkan prinsip-prinsip umum yang terdapat dalam al-Qur’an. Oleh karena itu, pembahasan Ibnu Rusyd mengenai alam semesta menunjukkan adanya kemiripan dengan madzhab Aristoteles. Ibnu Rusyd berpendapat bahwa mawjudat (alam seluruhnya) ini bukan “baru” dan “kadim” dalam arti yang sebenarnya. Alam dipandang kadim dalam arti bahwa dia ada bukan dari tidak ada dan tidak didahului oleh waktu.
Dalam Tahafut al-Tahafut, Ibnu Rusyd mengatakan ketika sampai suatu dalil pada para filosof bahwa terdapat prinsip penggerak azali yang wujud-Nya tidak berawal dan berakhir, atau perbuatan-Nya tidak boleh terlambat dari wujud-Nya, maka kelanjutannya ialah perbuatan-Nya mesti tidak ada permulaan pula seperti wujud-Nya. Alasannya sederhana saja, kalau perbuatan-Nya memiliki permulaan, maka ia merupakan perbuatan mungkin, bukan perbuatan mesti (dharuriy). Oleh karena itu, harus dipahami bahwa perbuatan Pencipta (fa’il, yakni Tuhan) yang tidak memiliki permulaan bagi wujud-Nya, maka perbuatan itu sama seperti wujud-Nya yang tidak bermula.
Dari pernyataan itu, Ibnu Rusyd ingin menjelaskan bahwa perbuatan Tuhan saat menciptakan segala sesuatu telah berlangsung sejak azali (zaman tak bermula), yakni semenjak Dia ada. Apabila tidak demikian, maka sifat Maha Mencipta Tuhan itu menjadi mungkin bukan mesti. Artinya, bahwa Tuhan boleh mencipta dan boleh tidak. Jika ini yang terjadi, maka pemahamannya adalah bahwa Tuhan pernah “tidak berbuat alias menganggur”. Hal ini jelas bertentangan dengan sifat Maha Mencipta-Nya.
Atas dasar argumen ini, untuk memperjelas keazalian perbuatan Tuhan, Ibnu Rusyd dengan nada bertanya mencoba menegaskan, apa keberatannya bagi Tuhan kalau sebelum perbuatan-Nya yang sekarang telah ada perbuatan-Nya yang terdahulu, dan begitu seterusnya sampai tidak berkesudahan seperti wujud-Nya yang juga tidak berkesudahan. Dengan begitu, menurut Ibnu Rusyd, Tuhan adalah Pencipta tanpa kesudahan. Artinya, kalau wujud-Nya tidak beriringan dengan zaman dan tidak bisa diliputi dari kedua ujungnya, maka konskuensinya ialah perbuatan-Nya mesti juga tidak diliputi atau beriringan dengan zaman. Karena, setiap perbuatan tentu tidak akan terlambat dari wujud dzat yang mempunyai perbuatan tersebut, kecuali kalau wujudnya tidak sempurna atau bukan wujud yang mempunyai pilihan.
Ketika menanggapi pandangan syar’i yang menetapkan huduts-nya alam, Ibnu Rusyd memahaminya dengan pengertian yang jauh berbeda dari kaum Asy’ariah. Menurut Ibnu Rusyd, selama perbuatan itu tetap disebut sebagai perbuatan maka ia adalah diciptakan. Hanya, ketika perbuatan itu terkait dengan pelaku yang kadim, maka perbuatan yang diciptakan tersebut mesti tidak mempunyai awal dan akhir. Lebih lanjut Ibnu Rusyd mengatakan, oleh karena itu ulama merasa kesulitan untuk menyebut alam ini “kadim” dan Allah Swt. juga kadim. Alasannya sederhana saja, mereka itu tidak memahami makna kadim, kecuali bahwa kadim itu adalah sesuatu yang tidak memiliki ‘illah (sebab) bagi wujudnya (al-qadim ma la ‘illata lahu). Dalam hal ini, Ibnu Rusyd melihat sebagian ulama Islam benar-benar cenderung kepada makna tersebut.
Dalam Fashl al-Maqal, Ibnu Rusyd berargumen bahwa jika penjelasan syar’i itu diteliti maka akan didapati bahwa yang diciptakan Tuhan sebenarnya adalah bentuk alam. Adapun hakikat wujud alam dan zaman ini berlangsung terus menerus dari kedua ujungnya, yakni tidak pernah terputus. Hal ini didasarkan oleh Ibnu Rusyd kepada firman Alah Swt.:
Dan Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam suatu tahapan (periode) dan adalah singgasana-Nya (sebelum itu) di atas air. (QS. Hud/11:7)
Ayat ini menjelaskan bahwa sebelum adanya alam semesta telah ada wujud lain berupa ‘arsy dan air, serta ada zaman lain selain zaman yang berkaitan dengan bentuk alam ini, yaitu gerakan falak. Sebagaimana firman Allah Swt.:
Kemudian Allah menuju kepada penciptaan langit, dan langit ketika itu masih merupakan asap. (QS. Fushshilat/41:11)
Menurut Ibnu Rusyd, lahiriah ayat ini menghendaki bahwa alam semesta diciptakan dari sesuatu (khuliqa min al-syai’). Dalam kaitan ini, Ibnu Rusyd menegaskan bahwa kaum teolog ketika berbicara tentang alam juga tidak mendasarkan pada nash syar’i yang jelas. Mereka hanya melakukan takwil terhadap ayat, sebab tidak ada satu ayat pun yang menegaskan bahwa Allah Swt. “mengada” bersama-sama dengan ketiadaaan semata.
Dengan demikian, Ibnu Rusyd juga mampu menghadirkan nash-nash sebagai dalil yang kuat tentang kadimnya alam, meskipun kekadiman itu sendiri dari suatu jenis yang telah ditetapkan. Untuk itu, tidak dapat diragukan lagi bahwa dalam filsafat Ibnu Rusyd, sebagaimana juga diyakini oleh umat Islam pada umumnya, bahwa Allah Swt. adalah kadim. Kekadiman ini memastikan bahwa perbuatan-Nya juga kadim sebagaimana wujud-Nya. Dengan kata lain, jika alam ini merupakan hasil dari perbuatan Tuhan, maka alam ini mesti kadim sebagai ciptaan-Nya.
Kendatipun demikian, tidak dimaksudkan bahwa kadimnya alam itu sama dengan kadimnya Tuhan, yakni tidak memiliki ‘illah seperti wujud Tuhan. Bagi Ibnu Rusyd, yang kadim selain Tuhan bisa jadi memiliki ‘illah. Oleh karena itu, dari aspek pemikiran ini alam adalah “baru”, dalam arti sebagai ma’lul, bukan dengan makna yang memiliki permulaan dari segi zaman. Alam ini disebut taqaddum zamaniy, karena huduts-nya alam ini telah sempurna sejak zaman tak bermula (azaliy).
Dengan diibaratkannya huduts sebagai bermakna ma’luliyah oleh Ibnu Rusyd, al-Jurjani membagi jenis huduts ke dalam tiga makna yang berbeda. Pertama, yang umum dipahami orang sebagai gambaran terhadap adanya sesuatu setelah tidak adanya. Kedua, huduts zamaniy, yakni adanya sesuatu itu didahului dengan tiada, namun ia mendahuluinya dari segi zaman. Ketiga, sesuatu yang bagi wujudnya berhajat kepada yang lain.
Berdasarkan beberapa argumen filosofis tentang makna huduts dan kadim serta beberapa nash syar’i, sepertinya Ibnu Rusyd bermaksud memberi isyarat bahwa pandangan filosofis tentang kadimnya penciptaan alam tidak bertentangan dengan gagasan qur’ani. Dengan alasan, pemahaman tentang “baru” yang disebut dalam al-Qur’an tidak selalu menghendaki kemestian terdapatnya unsur-unsur zaman. Oleh karena itu, dalam pandangan Ibnu Rusyd, kaum Asy’ariah telah melakukan kesalahan dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an dengan menyatakan bahwa yang huduts mesti didahului oleh waktu dan ketiadaan. Atas dasar itulah, dalam Manahij al-Adillah, Ibnu Rusyd kembali menegaskan bahwa argumen kaum Asy’ariah tentang barunya alam tidak bersifat burhaniy, bahkan tidak pula syar’iy.
Lebih lanjut, Ibnu Rusyd menegaskan bahwa akidah tidak menuntut lebih dari pengetahuan bahwa alam ini memiliki ‘illah. Ketahuilah bahwa yang dituju oleh syari’at tentang pengetahuan kealaman adalah alam sebenarnya ciptaan Allah Swt. Masih menurut Ibnu Rusyd, sesungguhnya dapat diambil kesamaan antara wujud sesuatu yang hakiki dengan wujud yang kadim. Apabila kesamaan sesuatu terhadap yang kadim melebihi kesamaannya terhadap muhdats, maka ia disebut qadim. Sedangkan apabila kesamaannya cenderung kepada muhdats, maka disebut huduts. Alam sebagai ciptaan Allah adalah kadim jika dipandang sebagai hasil dari perbuatan-Nya. Sebaliknya, alam ini baru jika dipandang dari segi bahwa ia memiliki ‘illah, yaitu Allah Swt. Oleh karena itu, dengan pandangan seperti ini memungkinkan untuk mengatakan bahwa alam ini diciptakan semenjak azali, atau alam ini baru tetapi kadim penciptaannya.
Dengan demikian, barunya alam harus dipahami bahwa ia diciptakan secara terus menerus semenjak azali (creatio ab aetarno), bukan diciptakan secara terputus-putus. Dari sinilah, Ibnu Rusyd berbeda pandangan dengan kaum teolog tentang segi penciptaan yang kekal itu. Bagi Ibnu Rusyd, pengertian ihdats harus berlangsung sejak azali dan terus menerus, sedang kaum teolog memberinya makna secara terputus-putus dan bukan sejak azali.
Pandangan Ibnu Rusyd ini didasarkan pada argumen bahwa penciptaan secara terus menerus lebih menunjukkan kekuasaan Sang Pencipta. Sedang penciptaan secara terputus-putus mengisyaratkan kepada penetapan lemahnya kekuasaan pada diri sang pencipta. Selain itu, penciptaan secara terputus-putus juga mengandung arti menyedikitkan peranan Fa’il yang berkuasa atas segala sesuatu. Demikian Ibnu Rusyd menjelaskannya dalam Tahafut al-Tahafut:
Adapun jika alam ini kadim karena dzatnya dan maujud bukan dari segi ia digerakkan, karena setiap yang digerakkan itu tersusun dari bagian-bagian yang baru, maka artinya alam ini tidak memiliki pencipta. Sedangkan jika alam ini kadim dalam arti diciptakan secara terus menerus, atau bagi penciptaannya itu tidak ada awal dan akhir, maka sesungguhnya sesuatu yang dihasilkan dari penciptaan semacam itu lebih berhak menyandang atribut ihdats (diciptakan) dari pada yang dihasilkan dari penciptaan secara terputus-putus.
Dalam penjelasannya soal perbedaan madzhab Plato dan Aristoteles tentang apakah alam ini memiliki fa’il ataukah tidak, Ibnu Rusyd mengatakan bahwa Plato berpendapat tentang barunya alam. Lebih jelasnya, menurut Plato alam memiliki pencipta. Sedangkan Aristoteles menyifati alam dengan kadim. Aristoteles tidak pernah mengatakan bahwa alam memiliki pencipta, tetapi alam bersandar pada adanya Penggerak yang tidak bergerak. Pandangan paling terakhir inilah yang dijadikan dasar para pengikut Aristoteles untuk meniscayakan Fa’il (Pencipta) bagi adanya alam. Alasannya, seperti disinyalir oleh Ibnu Rusyd dalam Tahafut al-Tahafut:
Pemberi gerak adalah fa’il bagi gerak yang hakiki. Jika jisim-jisim samawi tidak sempurna wujudnya kecuali dengan adanya gerak, maka pemberi gerak tersebut adalah pencipta jisim-jisim samawi itu sendiri.
Argumen ini dijadikan dasar banyak pemerhati filsafat Islam, bahwa Ibnu Rusyd telah menjadikan apa yang disebut sebagai Penggerak Pertama dalam madzhab Aristoteles sebagai Pencipta alam semesta. Di kemudian hari, takwil Ibnu Rusyd tersebut dikenal sebagai pemikiran cerdas dan argumentatif tentang dalil gerak Aristoteles.
Oleh karena itu, menjadi tidak beralasan sebagian analis sejarah yang mengatakan adanya “kekacuan” dalam filsafat kosmologi Ibnu Rusyd. Sebab, Ibnu Rusyd tetap setia menegakkan nalar-nalar filosofis, baik dalam karya-karya komentatornya terhadap Aristoteles maupun karya rekonsiliasi tentang agama dan filsafat. Hanya, memang harus diakui bahwa Ibnu Rusyd memiliki pandangan lain yang disesuaikan dengan jalan pikiran orang-orang awam, tetapi tetap dilakukan di atas landasan filsafat dan pemikiran rasional.
Disamping itu, pada umumnya para analis sejarah menilai madzhab kosmologi Ibnu Rusyd tidak jauh berbeda dengan madzhab filosof muslim yang lain. Di antaranya, Ibnu Sina yang berpendapat bahwa alam ini tidak diciptakan dalam keadaan baru dari segi zaman, tetapi ia baru dari segi bahwa dzatnya diciptakan. Artinya, ke-huduts-an tersebut tidak didahului atau berkaitan dengan zaman. Dengan begitu, tidak dapat disangsikan bahwa Aristoteles merupakan muara pemikiran filsafat Islam yang menegaskan bahwa zaman bukanlah sesuatu yang ada di luar alam, karenanya zaman tidak akan pernah ada sebelum alam ini ada. Perbedaannya hanya dari segi bahwa menurut Ibnu Sina, penciptaan mesti bermakna mengeluarkan bentuk yang baru dari materi pertama yang kadim, dan pemberi bentuk adalah Allah Swt. Sedangkan bagi Ibnu Rusyd, bentuk sendiri kadim sebagaimana kadimnya materi pertama. Selain itu, makna perbuatan mencipta bagi Ibnu Rusyd adalah menggerakkan sesuatu yang potensial dalam materi agar menjadi aktual. Dengan kata lain, meminjam pengertian Aristotelian, penciptaan adalah merubah materi dari keadaan potensial menjadi keadaan aktual.
Dengan demikian, untuk menepis adanya keraguan tentang problematika qadim dan huduts-nya alam dalam filsafat Ibnu Rusyd, maka harus dibedakan dahulu secara jelas antara azali dan zaman. Menurut Ibnu Rusyd, seperti dikatakan Aristoteles, zaman adalah ukuran gerakan sesuatu yang mengiringi alam dunia (‘alam al-kaun wa al-fasad). Jika dikatakan alam kadim, artinya zaman pun juga mesti kadim seperti halnya alam. Sedangkan azali mengarah kepada sesuatu yang bergerak secara terus menerus sejak zaman tak bermula, misalnya langit pertama. Disamping itu, azali juga berkonotasi kepada sesuatu yang tidak bermasa dan tidak bergerak sama sekali, misalnya Penggerak yang tidak bergerak (Tuhan) dan al-‘uqul al-mufarriqah. Dengan demikian, jelas bahwa pengertian kedua dari istilah azali ini yang membedakan antara azali dengan zaman, karena pengertian itu pula yang membedakan antara Allah Swt. dengan segala maujud lain. Adapun zaman terikat dengan perubahan gerak, karena ia merupakan ukuran gerak segala wujud yang bergerak.
Penciptaan dari “Ada” (al-Khalq min al-Syai’)
Ibnu Rusyd berpendapat, setiap bagian dari segala yang ada merupakan kerusakan bagi sebagian yang lain. Tetapi, kerusakan dari setiap bagian itu sekaligus merupakan penyebab bagi adanya bagian yang lainnya lagi. Jika tidak demikian, maka adanya sesuatu bisa bukan berasal dari sesuatu yang lain. Padahal, makna penciptaan (takawwun) adalah merubah sesuatu yang potensial menjadi aktual. Jadi, sesuatu yang tidak ada (‘adam al-syai’) mustahil berubah menjadi ada (al-kaun).
Oleh karena itu, Ibnu Rusyd merasa perlu membandingkan antara pemahaman filosof dan teolog tentang perbuatan mewujudkan (al-ijad) atau menciptakan (al-khalq) dalam pernyataannya sebagai berikut:
Sesungguhnya perbuatan fa’il (menurut teolog) terkait erat dengan penciptaan mutlak, yaitu menciptakan sesuatu yang tidak ada sebelumnya, bukan dengan potensi juga bukan menciptakan sesuatu yang mumkin dari potensialitas ke aktualitas. Adapun perbuatan fa’il dalam pandangan filosof, tidak lain adalah mengeluarkan sesuatu dari potensialitas menuju aktualitas. Hal ini menurut mereka berkaitan dengan adanya maujud dari dua sisi (ijad dan i’dam). Apabila ijad dimaknai dengan meniadakan sesuatu dari wujudnya yang potensial ke aktual, sehingga hilanglah ke-‘adam-annya, maka i’dam adalah meniadakan wujud yang aktual kepada wujud yang potensial sehingga terjadilah ke-‘adam-annya.
Penciptaan, menurut Ibnu Rusyd, bukanlah mengeluarkan sesuatu dari yang tidak ada (creatio ex nihilo) seperti dipahami oleh kaum teolog. Tetapi, penciptaan adalah merubah sesuatu dari potensial menjadi aktual. Artinya, segala yang ada ini mesti mengalami perubahan. Dengan begitu, harus ada wujud materi yang azali, abadi dan kadim serta diikuti dengan bentuk-bentuk yang azali. Melalui pandangan ini, Ibnu Rusyd ingin mempertemukan antara konsep ‘illah-nya Aristoteles, yaitu Penggerak yang tidak bergerak dengan konsep “Tuhan sebagai Pencipta segala sesuatu” dalam ajaran Islam. Alasannya, agar konsep Tuhan dalam filsafat Aristoteles yang semula hanya sebagai “sebab tujuan” berubah menjadi Pencipta.
Dengan demikian, penciptaan dalam filsafat Ibnu Rusyd seperti ditegaskan oleh Mahmud Khudairy, tidak bermakna ibda’ yang konotasinya adalah penciptaan dari tiada (creatio ex nihilo). Sebaliknya, penciptaan bermakna ijad dan takwin, dengan konotasi penciptaan dari sesuatu yang telah ada semenjak azali. Oleh karena itu, alam senantiasa berada dalam proses pembentukan wujud secara terus menerus semenjak zaman tak bermula. Artinya, alam tidak tercipta secara sekaligus dari sesuatu yang tidak ada.
Jadi, menurut Ibnu Rusyd alam adalah kadim, seperti halnya materi pertama. Namun materi sendiri adalah diciptakan Tuhan semenjak qidam. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa dalam filsafat Ibnu Rusyd terdapat dua tahap penciptaan. Pertama, Tuhan menciptakan materi pertama (al-hayula al-ula) semenjak qidam. Kedua, Tuhan menciptakan alam semesta dari materi yang semenjak qidam pula. Adapun makna penciptaan dalam tahap kedua ini adalah mengeluarkan sifat potensial pada materi menjadi sesuatu yang aktual. Dengan catatan, bahwa tahap penciptaan kedua mesti dipahami berlangsung secara terus menerus dan berkesinambungan semenjak azali hingga tak terhingga. Bila didasarkan atas pemahaman di sini, maka penciptaan dari tiada, seperti dikemukakan teolog, seharusnya dipahami dengan pengertian penciptaan materi pertama tadi, bukan penciptaan alam semesta.
Dari teori tentang penciptaan dan asal usul alam semesta, Ibnu Rusyd memang berpijak di atas dasar metafisika Aristoteles sekaligus memadukannya dengan prinsip penciptaan dalam ajaran Islam. Oleh karena itu, konsep ‘illah Aristoteles yang menegaskan adanya ‘illah gha’iyyah (sebab tujuan), dalam arti seluruh maujud senantiasa bergerak ke arah ‘illah gha’iyyah karena didorong oleh rasa rindu, maka dalam filsafat Ibnu Rusyd berubah menjadi bukan sekadar ‘illah gha’iyyah, tetapi juga sebagai ‘illah fa’iliyyah (sebab penciptaan). Ini artinya, Ibnu Rusyd bukan saja memahami konsep ‘illah Aristoteles, tetapi juga menjadikan potensial dan aktual sebagai konsep yang signifikan dalam filsafat kosmologinya. Selain itu, ia juga menjadikan konsep terakhir ini sebagai alat untuk membedakan antara Tuhan sebagai pencipta murni dengan alam semesta yang memiliki sifat potensial dan aktual.
Sebagian pengkaji filsafat menilai bahwa Ibnu Rusyd memiliki dua pendapat tentang asal-usul alam. Kepada masyarakat awam, Ibnu Rusyd tidak berpendapat tentang kadimnya alam, hanya sekadar mengemukakan teorinya tentang penciptaan alam. Sedangkan dalam beberapa kitabnya untuk kajian filosofis, ia dengan tegas menguraikan argumentasi tentang kekadiman alam.
Walaupun demikian, pada hakikatnya Ibnu Rusyd melakukannya sekadar untuk menjaga keutuhan teorinya pada setiap karya-karyanya. Penilaian ini sebagaimana dikutip Khudairy dari Ibrahim Madkour, bahwa yang dimaksud dengan kadimnya materi adalah materi itu kadim hanya dari segi zaman, bukan dalam pengertian tidak memiliki ‘illah atau tidak diciptakan oleh Tuhan. Sedangkan ketika Ibnu Rusyd mengingkari kadimnya materi dalam karya rekonsiliasinya, hal itu dilakukannya sebatas untuk menunjukkan kejelasan akan penolakannya terhadap pemikiran-pemikiran tentang tidak adanya ‘illah bagi materi. Kecuali itu, juga untuk menolak pendapat bahwa materi adalah ‘illah bagi dirinya sendiri, sehingga tidak ada bedanya dengan dzat Tuhan.
Argumentasi yang cukup kuat untuk menunjukkan keabsahan pandangan tersebut, Ibnu Rusyd dalam banyak karya filosofisnya senantiasa menegaskan dhahirnya syara’ yang mengisyaratkan penciptaan dari sesuatu (al-khalq min al-syai’) dan dalam suatu zaman. Hal ini sejalan dengan upayanya untuk memberi penjelasan yang lebih dekat kepada orang-orang yang tidak mampu menghadirkan gambaran tentang adanya wujud sesuatu tidak dari sesuatu. Apalagi adanya sesuatu itu di luar zaman. Dalam hal ini, Ibnu Rusyd mensitir firman Allah Swt.:
Dan Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam tahapan dan singgasana-Nya (sebelum) itu ada di atas air. (QS. Hud/11:7)
Ayat tersebut pada dhahirnya menghendaki adanya wujud sebelum wujud alam ini, yakni ‘arsy dan air, serta menuntut adanya “zaman” sebelum zaman ini, yaitu zaman yang menyertai wujud alam semesta. Untuk memperkuat hal ini, Ibnu Rusyd kembali memaparkan firman Allah Swt.:
Kemudian Allah menuju penciptaan ruang alam (al-sama’) yang ketika itu penuh dengan embun. (QS. Al-Fushshilat/41:11)
Bagi Ibnu Rusyd, ayat ini dengan jelas memberikan penuturan bahwa ruang alam (al-sama’) diciptakan dari sesuatu.
Penciptaan dari sesuatu tersebut tidak lain adalah makna dhahiri ayat, yakni suatu makna yang digali berdasarkan analogi (qiyas) kepada yang nyata. Makna ini sendiri masih membutuhkan kepada takwil bagi para filosof, agar tidak disalahpahami orang awam. Dari sisi ini, para teolog telah melakukan kesalahan besar dengan menyajikan hasil-hasil takwilnya terhadap masyarakat terbuka. Oleh karenanya, dalam al-Manahij Ibnu Rusyd menegaskan:
Adapun metode yang ditempuh oleh kebanyakan ulama dalam menggambarkan makna penciptaan adalah dengan metode analogi terhadap yang empiris, meskipun tidak ada contohnya di alam nyata. Hal ini dikarenakan tidak mungkin bagi ulama menggambarkan hakikat makna penciptaan dengan sesuatu yang tidak ada contohnya pada alam nyata. Allah Swt. menjelaskan bahwa penciptaan alam ini terjadi dalam suatu masa dan Dia menciptakannya dari sesuatu, karena di alam nyata tidak dikenal sesuatu yang disusun kecuali dengan sifat ini. Oleh karena itu, hendaknya ulama tidak mentakwilkan sesuatu selain dari makna ini. Adapun ketika dikatakan kepada mereka bahwa keyakinan syara’ tentang alam adalah diciptakan dari selain sesuatu dan tidak pada suatu zaman, maka pendapat itu adalah sebagai pandangan yang tidak mungkin dipahami ulama, apalagi jumhur.
Sesungguhnya dzahirnya ayat al-Qur’an tentang penciptaan sesuai dengan jalan pemikiran kaum filosof, sehingga tidak perlu ditakwilkan lagi. Agama sendiri dengan tegas menyatakan bahwa alam diciptakan oleh Tuhan dari sesuatu. Hanya, yang menjadi persoalan adalah apakah agama telah menyatakan bahwa alam ini kadim dari segi zaman, atau dengan makna lain, apakah agama juga menyatakan bahwa Allah Swt. menjadikan alam tidak dalam suatu zaman? Dalam hal ini Ibnu Rusyd menyatakan:
Suatu hal yang mengherankan….bahwa tamtsil yang dibuat oleh syara’ mengenai penciptaan alam sesuai dengan makna “huduts” yang terdapat di alam nyata, tetapi syara’ tidak menjelaskan dengan lafadz ini. Hal itu hanya merupakan peringatan dari syara’ untuk para ulama agar membuktikan bahwa barunya alam tidak seperti sifat baru yang terdapat dalam kenyataan. Syara’ hanya mengungkapkan dengan lafadz al-khalq dan futhur. Lafadz-lafadz ini sangat sesuai untuk menggambarkan dua makna sekaligus, yaitu menggambarkan sifat baru yang terdapat di alam nyata dan mengambarkan sifat baru yang didukung oleh argumentasi ulama tentang hal yang ghaib. Dengan demikian, penggunaan kata-kata huduts atau qadim merupakan suatu bid’ah dalam syara’.
Adapun hal yang mengkhususkan kaitan antara penciptaan dengan zaman, harus dilakukan terhadap ayat-ayat al-Qur’an. Bahkan, dalam hal ini al-Qur’an sendiri telah mengisyaratkan ketika menggunakan lafadz al-khalq sebagai ganti atas lafadz ihdats. Meskipun dengan lafadz yang terakhir ini gambaran al-Qur’an tentang penciptaan sebenarnya sudah sesuai. Hal ini dikarenakan, seolah-olah makna ihdats tersebut mengisyaratkan pada para filosof akan pentingnya takwil. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa alam bukan muhdats dalam pengertian tradisional, tetapi memang muhdats yang qadim.
Kembali pada penilaian para pemerhati di atas, ada sebagian lagi yang berpendapat sebaliknya, bahwa materi pertama dalam filsafat Ibnu Rusyd bukanlah ciptaan Tuhan. Mereka mengira bahwa materi pertama dalam konsepsi Ibnu Rusyd sama dengan sesuatu yang tidak berwujud. Materi itu merupakan suatu potensi murni yang tidak terikat oleh ruang dan waktu. Oleh karena itu, bila demikian tidak mungkin materi tadi berasal dari ciptaan Tuhan. Menurut mereka, materi tersebut kekal dan senantiasa ada bersama Tuhan. Para sejarawan juga menyangkal bahwa dalam pandangan Ibnu Rusyd perbuatan Tuhan sebatas mengeluarkan bentuk-bentuk sesuatu yang masih bersifat potensial dalam materi menjadi aktual.
Kemungkinan para pemerhati itu telah salah dalam memahami filsafat Ibnu Rusyd. Mereka beranggapan bahwa menurut Ibnu Rusyd kekadiman materi mengandung arti tidak diciptakan oleh Tuhan. Hal ini dapat dimaklumi, sebab mereka meneliti pemikiran Ibnu Rusyd hanya melalui kitab-kitab syarah filosof muslim Cordova tersebut. Padahal, apabila mereka memahami langsung karya-karya Ibnu Rusyd, maka akan jelas bagi mereka bahwa sesungguhnya Ibnu Rusyd telah melakukan distingsi tentang pengertian kekadiman alam semesta. Dengan demikian, apabila dilihat dari perspektif ini memang beralasan pendapat Ibnu Rusyd tentang kekadiman alam dan materi pertama tersebut. Bahkan, bisa jadi mereka akan turut mengatakan bahwa pendapat Ibnu Rusyd memang sesuai dan tidak bertentangan dengan nash-nash syar’i sendiri.
Disamping itu, ada peneliti lain yang telah salah dalam memberikan kesimpulan akhir terhadap takwil filsafat Ibnu Rusyd sebagai takwil Aristoteles murni, sehingga ketika sampai pada persoalan tentang asal-usul alam, mereka menyatakan bahwa Ibnu Rusyd menganggap Penggerak Pertama hanya sebagai ‘illah gha’iyyah, bukan ‘illah fa’ilah. Penilaian ini didasarkan pada pandangan Ibnu Rusyd bahwa setiap penggerak dari para penggerak langit (aflak) tidak hanya melahirkan “akal” yang khusus pada suatu langit, tetapi juga “akal” tertinggi (al-‘aql al-a’la). “Akal” tertinggi inilah yang disebut sebagai ‘illah pertama. Tetapi, ‘illah pertama yang dimaksudkan di sini tidak menunjukkan bahwa setiap sesuatu keluar darinya, dia hanya merupakan sebab akali (‘illah ma’qulah) dan ma’qul sendiri menjadi ‘illah bagi ‘aqil. Singkat kata, menurut pandangan ini, Tuhan dalam filsafat Ibnu Rusyd adalah ‘illah gha’iyyah bukan ‘illah fa’iliyah. Disamping itu, anggapan bahwa setiap esensi itu adalah ‘aqil dan ma’qul--yang dengan makna ini sangat mungkin menjadi ‘illah bagi segala yang ada, karena setiap yang ada tadi dapat mempersepsi esensi dengan metode akali--maka ujung-ujungnya pemilik pendapat ini akan berkesimpulan bahwa Ibnu Rusyd tidak menyatakan tentang adanya pencipta bagi alam dan juga tidak ada pelimpahan secara paralel.
Atas dasar adanya perbedaan penilaian terhadap filsafat Ibnu Rusyd di atas, maka ada satu hal yang perlu ditegaskan, bahwa materi pertama bukanlah sesuatu yang bersifat materi juga bukan esensi yang dapat diaktualkan. Tetapi, materi pertama merupakan sesuatu yang mungkin bisa menjadi jisim ketika ia disatukan dengan “bentuk” yang bersifat materi (al-shurah al-hayulaniyah). Materi pertama tidak lain adalah potensi mutlak menurut makna Aristotelian. Potensi mutlak itu sendiri, juga terbatas sebagai kemungkinan-kemungkinan dan persiapan untuk eksis. Sampai di sini, terkesan bahwa Ibnu Rusyd ingin merekonsiliasi madzhab Aristoteles dengan pemikiran tentang kadimnya materi yang wujudnya manafikan Tuhan dalam suatu zaman bersama-sama ketiadaan. Menurut Ibnu Rusyd, ketiadaan mutlak adalah sesuatu yang tidak mempunyai wujud sempurna, sebagaimana hal ini diyakini oleh Aristoteles sendiri.
Dengan perspektif yang berbeda dari para pemerhati terdahulu, ada suatu penilaian yang ingin menempatkan filsafat Ibnu Rusyd secara lebih proporsional. Dalam pandangan ini, Ibnu Rusyd bukan seorang materialis murni, juga bukan seorang idealis religius sejati, tetapi lebih sesuai sebagai filosof muslim yang berusaha merambah jalan tengah di antara dua belantara pemikiran. Kaum materialis mengatakan bahwa alam ini bersifat azali dan abadi, sebab sesuatu tidak mempunyai permulaan dan akhir. Selain itu, materi bagi mereka tidak akan pernah menjadi baru ataupun rusak melainkan hanya tunduk pada pergantian dan perubahan. Kaum materialis juga menolak kisah penciptaan sebagai digagas oleh Ibnu Rusyd, yaitu gagasan tentang perjalanan masa yang kadim, konsep penciptaan dalam agama-agama samawi seperti prinsip penciptaan dari tiada (ceatio ex nihilo) hingga konsep tentang barunya alam sebagai dipahami oleh kaum Asy’ariah dan para teolog masehi lainnya.
Dalam kaitan itulah, Ibnu Rusyd dipandang mampu mempertemukan dua spektrum pemikiran tersebut dengan metode takwilnya. Alasannya, Ibnu Rusyd dipandang berhasil menjelaskan ide tentang tidak adanya wujud yang bertentangan antara konsep yang menyatakan keazalian alam dengan adanya Pembuat Pertama (Tuhan) terhadap alam. Ibnu Rusyd mensintesakan keduanya dalam sebuah pernyataan bahwa alam ini azali dan abadi, namun ia tetap diciptakan oleh Allah Swt. sebagai Pembuat Pertama. Ibnu Rusyd juga menegaskan bahwa keazalian alam dan keabadiannya merupakan konsekuensi logis dan wajar dari pengakuan adanya al-‘Illah al-Ula, yakni pembuat wujud keseluruhan alam semesta.
Dari berbagai penjelasan di atas, tampak bahwa dalam filsafat Ibnu Rusyd memang tidak terdapat pemikiran tentang penciptaan dari tiada (creatio ex nihilo) sebagaimana dipahami teolog. Sebaliknya, penciptaan mesti berasal dari sesuatu yang telah ada sebelumnya, yaitu materi pertama, meskipun materi sendiri diciptakan oleh Allah Swt. Sedangkan perbuatan mencipta merupakan proses mengeluarkan hal potensial dalam materi yang azali agar menjadi sesuatu yang aktual. Sebagai konsekuensi atas penolakannya terhadap adanya yang baru dengan genus (dzat), yakni penciptaan dari tiada, maka Ibnu Rusyd menolak pula adanya “ketiadaan murni” dan “kerusakan murni”. Selain itu, Ibnu Rusyd juga menawarkan dua bentuk wujud, yaitu wujud potensial dan wujud aktual.
Dalam rangka menafsirkan masalah metafisika ini, Ibnu Rusyd menyatakan apabila diajukan suatu pertanyaan dalam segi apakah menurut anda keterkaitan antara perbuatan fa’il dengan proses peniadaan (al-i’dam), maka jawabnya adalah dari segi yang berkaitan dengan perbuatan fa’il dalam mewujudkannya, yakni mengeluarkan potensialitas menjadi aktualitas. Argumentasinya begini, bahwa yang ada secara aktual adalah perusak bagi sesuatu yang potensial. Padahal, tiap-tiap yang potensial akan menjadi aktual kalau ada yang mengeluarkan potensinya sehingga menjadi aktual. Apabila yang potensial tidak maujud, maka tentu saja tidak ada fa’il sama sekali. Jika tidak ada fa’il, maka mesti tidak akan ada sesuatu yang aktual sama sekali. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa keseluruhan susunan dan bentuk-bentuk itu “ada” secara potensial di dalam materi pertama, yaitu yang secara aktual menjadi Penggerak Pertama.
Penciptaan Secara Terus Menerus (al-Khalq al-Mustamir)
Dalam banyak kesempatan, Ibnu Rusyd bukan hanya meluruskan pemahaman Ibnu Sina tentang prinsip-prinsip dalam teori emanasi. Lebih dari itu, juga menyatakan keberatannya terhadap emanasi itu sendiri. Menurut Ibnu Rusyd, teori emanasi Ibnu Sina masih mengandung kesulitan dan pertentangan pada segi kaidah-kaidah yang ada di dalamnya.
Oleh karena itu, Ibnu Rusyd mencoba menawarkan sutau teori penciptaan alam yang digali dari al-Qur’an dan filsafat Aristoteles. Menurut Ibnu Rusyd, sesungguhnya alam secara keseluruhannya diciptakan oleh Allah Swt. tidak secara sekaligus, tetapi berlangsung sejak azali, abadi dan berlangsung secara terus menerus. Hal ini sebagaimana tercermin dari penjelasan Ibnu Rusyd, bahwa fa’il (yang mencipta sesuatu) ada dua macam:
Pertama fa’il yang darinya keluar maf’ul, dan perbuatan fa’il tadi terkait erat dengan keadaan maf’ul. Jika telah sempurna keadaan maf’ul-nya, maka maf’ul tidak lagi memerlukan kepada fa’il, seperti adanya rumah dengan tukang bangunannya. Kedua, fa’il yang darinya hanya keluar fi’l, dan fi’l inilah yang berhubungan dengan maf’ul. Maf’ul tidak akan ada kecuali karena adanya hubungan fi’l dengan fa’il, dan adanya fa’il mengkhususkan kepada maf’ul bahwasanya perbuatan fa’il mengikuti adanya maf’ul tersebut. Dalam arti bahwa apabila fi’l tidak ada maka maf’ul pun tidak akan pernah ada. Jika fi’l ada maka maf’ul pun juga ada, yakni keduanya ada secara bersamaan. Keberadaan fa’il ini lebih utama dan termasuk yang memperoleh sifat aktual dari yang pertama, karena fa’il lah yang menciptakan maf’ul dan yang memeliharanya. Ada juga fa’il lain yang menciptakan maf’ul tetapi dia masih membutuhkan fa’il yang lain lagi untuk menjaga maf’ul yang diciptakannya. Demikianlah keadaan penggerak bersama gerakannya. Sedangkan segala sesuatu yang adanya dikarenakan oleh gerakan, maka ketika para filosof meyakini bahwa gerakan adalah perbuatan fa’il, dan bahwa wujud alam semesta tidak akan sempurna kecuali dengan adanya gerakan, maka mereka menyatakan bahwa hubungan fa’il dengan gerakannya sama seperti hubungan fa’il terhadap alam. Seandainya perbuatan fa’il berhenti sekejap saja dari aktivitas geraknya, maka akan rusaklah alam semesta.
Dari penjelasan tersebut tampak bahwa konsep penciptaan secara terus menerus merupakan kelanjutan dari ide penciptaan Aristoteles, bahwasanya Tuhan adalah Pengerak Pertama dan penciptaan dipahami sebagai proses penggerakan materi. Ketika gerakan tersebut berlangsung secara terus menerus maka dapat dipastikan penciptaan pun akan terus berlangsung. Dengan kata lain, penciptaan menurut Ibnu Rusyd tidak bisa sempurna dalam satu tahap sekaligus, apalagi dari sesuatu yang tidak pernah ada sebelumnya. Sampai di sini, penciptaan dalam filsafat Ibnu Rusyd dapat juga dipahami sebagai proses merubah sesuatu agar menjadi sesuatu yang lain, atau merubah potensi dalam materi agar menjadi aktual di alam wujud. Keseluruhan proses tersebut berlangsung secara terus menerus dalam zaman yang sama, yakni sebelum zaman tak bermula. Ibnu Rusyd menegaskan bahwa qudrah Tuhan untuk menciptakan alam berlangsung secara terus menerus. Qudrah ini juga yang dipakai untuk memelihara alam setelah ia diciptakan dan menggerakkannya secara terus menerus pula. Dengan demikian, mudah dipahami bahwa alam memang kadim, abadi dan senantiasa bergerak secara terus menerus. Tetapi, harus segera pula dimengerti bahwa alam tetap mempunyai ‘illah yang menciptakan dan menggerakkannya, yakni Allah Swt. yang sifat qadim-Nya berbeda dengan alam, sebab qadim bagi Allah tidak mempunyai ‘illah apapun dan siapapun.
Menurut Muhammad ‘Imarah, alasan mendasar penolakan Ibnu Rusyd terhadap pandangan bahwa alam tercipta secara sekaligus, karena pandangan tersebut berdasarkan prinsip penciptaan dari tiada (creatio ex nihilo). Pandangan seperti ini mengandung konsekuensi bahwa wujud dan perbuatan al-Fa’il al-Awwal (Tuhan) mempunyai permulaan. Jika perbuatan Tuhan berhubungan dengan ketiadan lalu dirubah menjadi ada, maka terjadi kemustahilan. Alasannya, perbuatan mencipta itu tidak akan pernah terkait dengan sesuatu yang tidak ada, karena sesungguhnya yang tiada tidak memiliki tempat dalam hubungan antara fi’l dengan fa’il, seperti halnya (sesuatu yang ada secara aktual) itu tidak akan pernah berhubungan dengannya suatu perbuatan atas dasar penciptaan. Kecuali, perbuatan al-Fa’il al-Awwal tersebut hanya berhubungan dengan hal ketiga--selain (ketiadaan) dan (wujud aktual)--yaitu sesuatu yang masih bersifat mumkin (wujud potensial). Hanya dari wujud yang terakhir inilah tercipta wujud aktual tadi. Jika penciptaan terjadi dalam keadaan sebaliknya, bahwa perbuatan fa’il berkaitan dengan maujud yang mungkin tidak adanya--sekiranya yang tiada ini mengikuti keterkaitan tersebut--maka hal yang seperti ini pun juga tercipta secara terus menerus. Perhatikan pernyataan Ibnu Rusyd berikut ini:
….Sesungguhnya setiap yang baru adalah mumkin sebelum barunya, karena yang mumkin itu menghendaki sesuatu yang berada dengannya, dan yang mumkin adalah tempat penerimaan bagi sesuatu yang mumkin saja. Oleh karena itu, segala sesuatu yang bersifat mumkin dari segi penerimaannya, maka mesti diyakini bahwa ia juga mumkin dari segi fa’il…karena jelas bahwa sesungguhnya setiap satu bagian dari segala yang ada ini merupakan kerusakan (fasad) bagi sebagian yang lain, dan kerusakannya itu juga menjadi sebab bagi adanya yang selainnya lagi. Jika tidak demikian, adanya sesuatu itu bisa jadi bukan berasal dari sesuatu yang lain. Padahal, makna penciptaan itu sendiri adalah merubah sesuatu yang potensial menjadi aktual. Oleh karena itu, sesuatu yang tiada tidak mungkin berubah menjadi ada, dan tidak mungkin pula yang tiada tersebut disifati dengan ada. Yang saya maksudkan dengan perkataan tersebut adalah sesungguhnya alam ini diciptakan tetapi kekal, sebab adanya alam di sini berasal dari sesuatu yang dihasilkan karena adanya bentuk yang saling berlawanan, yaitu bentuk-bentuk yang berganti-ganti.
Menurut ‘Imarah, dalam filsafat Ibnu Rusyd sebenarnya kontinyuitas, keazalian dan keabadian merupakan bagian dari aktivitas penciptaan, yakni merubah wujud potensial menjadi wujud aktual. Kekekalan wujud alam terkait erat dengan wujud al-Fa’il al-Awwal yang kadim. Sesungguhnya Pencipta Yang Esa, jika Dia memang azali maka perbuatan-Nya yang memberikan makna bagi keseluruhan mawjudat adalah perbuatan yang kekal, azali dan tidak ada dalam suatu masa selain masa ini. Maka, sesungguhnya fa’il yang perbuatannya berkaitan dengan maf’ul, ketika ia keluar dari potensialitas ke aktualitas adalah fa’il yang muhdats dharuriy. Sedangkan al-Fa’il al-Awwal, maka dalam diri-Nya terdapat adanya keterkaitan dengan maf’ul secara kekal.
Konsep penciptaan alam secara terus menerus ini, menurut Ibnu Rusyd, jauh lebih mulia dari pada penciptaan yang sempurna secara sekaligus tanpa ada pengulangan. Sebab, fa’il dalam perspektif ini tidak hanya bermakna sebagai pencipta alam, tetapi lebih dari itu sebagai pemelihara dan penggerak alam sebagai ciptaan-Nya secara terus menerus. Proses penciptaan, pemeliharaan dan penggerakan ini berlangsung sejak zaman tak bermula sampai tak terhingga. Dengan demikian, alam adalah taqaddum zamaniy walaupun ia memiliki ‘illah yang menciptakannya, yakni Allah Swt. yang sama sekali tidak akan pernah mengabaikannya. Jadi, alam dalam pengertian ini adalah qadim yang senantiasa baru.
Dalam teori Ibnu Rusyd terlihat dengan jelas bahwa keseluruhan alam semesta ini tidak diciptakan, tidak diwujudkan dan tidak dibarukan dalam suatu rentang waktu yang telah ditetapkan. Tetapi, sesungguhnya penciptaan yang tergambar dalam kata-kata (ijad, khalq, tahawwul, tabdil, taghayyur, tathawwur dan sebagainya) merupakan proses penciptaan yang bersifat azali, abadi dan berlangsung secara terus menerus. Adapun yang dimaksud dengan huduts-nya alam, sebenarnya bukan huduts bi al-jins (baru karena genusnya), atau huduts bi al-dzat (baru karena zatnya). Tetapi, huduts dalam pengertian ini adalah huduts bi al-ajza’ (baru karena bagian-bagiannya). Sebab, materi alam ini kadim dan alamnya sendiri adalah azali. Kecuali itu, adanya alam dan kerusakannya yang abadi dan berlangsung terus menerus itu yang membedakan-nya dari baru dalam arti yang sebenarnya. Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam Tahafut al-Tahafut:
Arah keluarnya yang baru dari yang (kadim pertama) bukan dikarenakan ia adalah baru, tetapi karena ia azali genusnya dan baru bagian-bagiannya. Hal itu dikarenakan adanya suatu anggapan bahwa setiap fa’il yang kadim apabila keluar darinya sesuatu yang baru, maka dia bukan fa’il yang kadim pertama lagi, sebab perbuatan fa’il itu mesti berpegang kepada yang kadim pertama.
Dengan demikian, hukum bagi fa’il yang kadim dan azali juga berlaku bagi perbuatannya yang azali karena dzat atau genusnya. Atas dasar itu, tidak dapat dibenarkan argumen kaum teolog yang mempertahankan ke-qadim-an fa’il dan ke-huduts-an perbuatannya. Alasannya, genus atau dzat sebagai yang dimaksudkan huduts di sini dikarenakan bagian-bagiannya saja.
Senada dengan alasan tersebut, Ibnu Rusyd menambahkan, apabila fa’il melakukan suatu perbuatan maka sesungguhnya ia berhubungan dengan maf’ul dalam segi adanya keterkaitan bahwa maf’ul itu yang tergerakkan. Gerakan dari wujud potensial ke wujud aktual inilah yang dinamakan oleh Ibnu Rusyd dengan huduts. Apabila wujud yang azali itu lebih berhak untuk eksis dari pada maujud yang bukan azali, maka begitu juga sesuatu yang diciptakan sejak azali itu lebih utama untuk menyandang predikat ihdats (penciptaan) dari pada sesuatu yang penciptaannya pada waktu-waktu tertentu saja. Sesungguhnya, gerak perubahan dari wujud potensial ke wujud aktual ini yang dianggap sebagi penciptaan oleh Ibnu Rusyd. Penciptaan menurutnya adalah azali, karena ia tidak diciptakan dalam masa tertentu. Maksud Ibnu Rusyd tentang penciptaan di sini tidak lain adalah penciptaan alam.
Penutup
Dari ulasan filsafat Ibnu Rusyd tentang kosmologi di atas ada kesan bahwa Ibnu Rusyd banyak dipengaruhi oleh madzhab Aristoteles. Dalam konteks ini, Ibnu Rusyd bermaksud meluruskan filsafat “guru pertama” asal Yunani tersebut yang telah disalahmengerti oleh Ibnu Sina, sehingga dikecam Imam al-Ghazali. Tetapi, di balik alasan ini sebenarnya filosof muslim Cordova dan penganut madzhab Maliki di bidang fiqh itu hanya ingin menghidupkan kembali cahaya filsafat yang pada saat itu semakin meredup. Usaha Ibnu Rusyd terbukti tidak sia-sia, sebab setelahnya muncul para filosof muslim seperti Ibnu Thufail, Ibnu Bajah, Ibnu Khaldun dan lain-lain. Bahkan, umat Islam sekarang pun masih dapat menikmati panorama filsafat itu, meskipun tidak seindah di Barat.
Apapun pandangan filosofis yang ada dalam tulisan ini hanyalah wujud dari ketidakberdayaan seorang hamba untuk memahami kemahabesaran Tuhannya. Oleh karena itu, sama sekali Ibnu Rusyd juga tidak bermaksud mengatakan bahwa pemikirannya adalah realitas penciptaan alam yang sebenarnya. Filsafat Ibnu Rusyd tentang kosmologi ini tidak lebih dari sekadar hasil ijtihad seorang manusia. Hakikat kebenarannya hanya Allah Swt. yang mengetahui dan memilikinya. Wallahu a’lam bi al-shawab

Baca Selengkapnya »»

MADRASAH AND CONTEMPORARY CHALLENGE: Considering the Concept of Islamic Education Based on Integration

Abstract:
The contemporary fenomena that characterized by social change has pressured academic community into awareness of the need of self-adjusment, structurally or culturally. Without any exception, Islamic scholls also confronted with the problem of continuity and change as a logical consquency of its position in history and social life. Moreover, the acceleration of technology of communi-cation, transportation, and information as the most prominent fenomena in this globalization era has impacted to human’s life. One of the most serius problem is, on account of the foundation of modern sciences and technology tends to degrade the roles of religion, so it brings the inclination of seeing life in a secular way. That’s way, to the Islamic school its problems is not only catch up on behind, more than this how to answer that contemporary challenge without redoing the same mistakes in the past. But to answer that problem shortly, Islamic schools must make balance both on the fundamental changes on institutional vision and mission, and also scientific ethos. That vision and mission of Islamic schools have to reflect a worldview supporting the growth and development of deep and strong scientific ethos appropriate with Islamic teachings. In the term of Nurcholish Madjid, that ethos must be able to look at an organic relation between science and faith, or faith and science.


Keyword: Madrasah, Contemporary Challenge, Concept of Integration, and Islamic Education
Introduction
The rapid growth of social change is one of many characteristics that can be seen by the society in this contemporary era of life. This fact, will bring the education world to an awareness of the need of self-adjusment, structurally or culturally. Eventhough, adaptation, according to Friere, is a form of a most fragile self defense, but this is needed by the education world in order to not to lose its context and empiric meaning. Nevertheless, adaptation is not the only way, because with adaptation only, the education could not change the world. Because, education, as one of humanization process, intend human to be the subject. To be the subject in its relationship with the world, quoting Friere, is “to name”. “To name” is “to act” temporarilly to the world by creating a culture.
Within the current of the social change, acceleration of communication technology, transportation, and information are the most prominent fenomena. In Ahmed and Donnan’s term, this fenomena is called globalization, because the borders of culture, time, and teritory of countries and nations are fading away. This creates a smaller and reachable world. With this condition, globalization has impacts to human’s life. One of them is the inclination of seeing life in a secular way. According to Gellner, this happens because the foundation of new science and technology tends to degrade the role of religion. In the context of education, the opinion that separates science from religion has a strong implication. For instance, this will create many forms of reductionism toward cognitive, affective, and psycho-motoric domain in education or ontologic, epistemologic, and axiologic aspects in the science construction.
That is the reason why it is not relevant not to create science and religion dialectics in our recent history. Because, when every education theory and paradigm is not able to explain the fenomena around them, in the reality some countries in secular social-politics are moving “right”. This fenomena, according to Johnson, shows the mark of the rise of collective consciousness that understands the important role of religion in social-cultural aspect of a country.
What matters now is how Islamic education works for the dialectic mixture of science and religion, visa versa. When both of them show different trends, is it possible that dialectic comes into practical reality in Islamic schools (Madrasah)? Is it true that both of them can ”get along”? If true, how can it works epistemologically and what kind of instruments are needed on lerning process? These are the challenges that have to be answered by Madrasah and such Islamic education in higher level.
Islamic Education, Modernity, and Science
The development of science in the end of 16th century had created different perception for western society than on its first era pioneered by Greek. Because, if science is “son” of philosophy, so the science tradition in modern western society was a continuation of ancient Greek tradition.
Thus, according to Wibisono, science which is identical with philosophy, still had the color of myth in its first era. Then, in the times of pre-Socrates philosophers, philosophy was demythologized and then “science” was being born. From here until Aristotle, eventhough philosophy developed into a practical teaching, at the times of Augustinus and Thomas Aquinas philosophy had been developed to be alongside with religion.
The meet of philosophy and religion found its strong foundation when it was held by moslem philosophers in 9-13th century. On that era, many fields of science were being born, such as: astronomy, medic, psychology, biology, algebra, geometry, art, architecture, etc. This development was not only because of the dynamic character in Helenism tradition, but it was because moslems on that era had scientific spirit and behavior which was inherited from the teaching of their religion. Such as: the spirit to honour logical thinking and searching of truth, and also the spirit to honour empiric evidence which was inherited from Prophet Ibrahim As., and Prophet Muhammad Saw.
The spirit of science from the moslem on that era, according to Bakar, actually was born from their awareness of tawhid. To moslems, the awareness of God’s oneness is the most fundamental awareness of religion. Thus, every activities (religious or cultural) in their lives are breathed by that monotheism principle.
Because of this spirit of tauhid, there is an opinion in Islam that every objective reality of this universe is a one whole unity. Cosmos, which is consists of physic and non-phisyc reality, is understood to be related every one and another, and form a united network through cosmis laws, as a manifestation of oneness of source and metaphysical origin, Allah SWT. In Islam, the unity of cosmos is an obvious evidence of Allah’s SWT oneness. Thus, spirit of science in searching of truth is not something that goes against the teaching of Islam, because it is the unseparated part of the spirit of tawhid. With this spirit, science becomes one of many instruments that take human to Oneness of Transcendence Reality itself. On the other hand, tawhid conciousness is a source of science spirit in every fields of moslem’s science.
We can see that the relationship between religion and science in Islam is like two-sided coins, different but unseparated. The utilizing of ratio and science can not be separated from faith in Allah The Trancendence, from the teachings, rules, values, and general principles which were told to humans by revelations. Aside from that, science in Islam is also developed by inheriting whole human’s culture after distinguishing right and wrong, good and bad, or haq and bathil. In other words, science in Islam gives great attention to religion, visa versa. Because science is the way to understand the unity of cosmos which was told by religion.
That spirit of tawhid and scientific exploration made Islam grew as world civilization power which was able to bridge and related local civilization fields to become a worldwide civilization. This was what as said by Nurcholish, that moslem society was the first humans that changed science from its first characteristics of parokialistic, nationalistic, and restricted only for certain regions or nations, to become cosmopolitans and universal. This was proved by the reality that there were many world-class scholars came from Islamic world, and their works influenced and incited the birth of western modern civilization. Because of that reason, we can understand Komaruddin statement that said that Greek philosophers and rational-empiric discourses developed in western society is no other than intelectual moslem’s important contribution that is admited in science world.
Nevertheless, due to many complex reasons (which are impossible to be discussed here) Islamic civilization can not be preserved by moslem society on mid-century. Science’s spirit and ethos of this generation slowly degrade. Even, in the same time this degradation got worser and science tradition then moved from east to west.
Philosophy as an activity that can be counted as logic, which by Aristotle was poietic science, practical science (in normative meaning like ethics and politic), and theoritic science, began to reducted.
It is indeed that teoritic science was viewed as the most significant which by the founding father of empirism was divide into physics, mathematics, and first philosophy (metaphysic). But, moslem scholars on that time gave attention only for metaphysics. Even on this field, moslems was facing a great polemics. They became tired and absolutely left this field.
On the other hand, in west, pioneered by Renaissance (15th century) and aufklarung (18th century) greek philosophy lernt by western scholars from moslem philosphers entered a new phase, got progressive, and modern. In the “touch” of Copernicus, Galilei Galileo, Kepler, Descartes, Kant, etc philosophy had given broad and deep influence for the development of western civilization.
As what was happened to Islamic world, Greek philosophic thought had helped the west to to find the meaning of freedom in humanity. With that freedom, especially in thinking, the west that was far from civilization in 10th century , began to experienced the important process of humanization. However, because of traumatic experience towards church, that did not give rooms for logical thinking outside bible, western people aimed this freedom toward secularism. According to Koento, that was a life of human freedom from colony and sub colony of religion and church.
This kind of philosophy that moved toward secularism, not only cause the religion to be abandoned, but also, on its radical concequences, even doubted the existance of God. In this context, an obvious indication can be seen on Friederich Nietzsche’s statement that said, “God is dead”. When the time comes, this phenomenon will create a world without God, or without religion. Or at least religion will be regarded as personal matter.
Because of this reason, it is not a surprise if philosophy and religion stand on their own, each one develop based on its own fundament and direction of thinking. This differentiate process, then, continued with the banishment of philosophy from branches of science, each with their own methodology develop their own speciality intensively.
Started with the detachment of physics and mathematics pioneered by Copernicus (1473-1543), Versalinus (1514-1564) and Isaac Newton (1642-1727), science was ripped from its roots of philosophy. This development especially reached its definitive form when Auguste Comte (1798-1857) with his grand theory, said that human’s mind development and society will reach their peak in positive phase, after they pass teologic and metaphysic phase. The meaning of positive here is the truth must be concrete, exact, accurate, and has function.
With this kind of development, science in western world move remotely from every knowledge that in their opinion are not concrete, inmeasureable, and speculative. With this point of view, not only philosophy became uninteresting in western science, but religion was also viewed out-of-date even unhistoric and necglected. At this point, science development then created a new different western perception from when the paradigm was first planted by its pioneers.
Up to 20th century, western science “revolution” was still happening. Many inventions rearranged previous established theories, but this development still can not move differentiation and de-religion-ism of science which became the characteristic of the so-called modern era.. On one side, western’s opinion and ethics has grew optimism toward science to rise life vitality, but on the other side, pesimism of its negative impact was getting real. This pesimism was not only haunting the consumers, but also the western society as the main producer.
But in the last half of 20th century, science ethics with its point of view began to to face a new trend that gave more attention to spiritual world. John Naisbitt and Patricia Aburdence, in Megatrend 2000 mentioned this fenomena with term : New Age. An era that try to convince many people that the best way of solving social and personal problems--which has become parts of Western’s culture crissis that pushed the birth of New Age--is only when there are lots of people that have reach The Higher Consciousness. By that mean, according to Amin Abdullah, modernism with its tight differentiation character on every fields of life will be out-of-date.
The Need of New Paradigm of Science to Step Out from Differentiation Problem
Science has brought many progression in human’s life. With technology as its main product, humans have created “second realm”, so that their lives is no longer goes within nature rhytm and cycle. With science and technology, humans are able to create their future in their own way. In other words, today’s humans can not freed themselves from technology. Even, in many ways, technology seems to “involve” on matters that were considered as God’s zone.
While problems like poverty, famine, and illiteracy are still survive in social reality. Whereas justice and honesty became rarities, and truth is easy to be distorted. This facts of humanity are not going along with the “dream” of science (das sollen), because at first, science and technolgy were meant to be an effort of human liberation, and as a helping hand in facing their problems. This discrepancy happened, because positivistic ideas tend to eliminate whole understanding obtained reflexively, especially obtained from a comprehension of faith. Aside, there is a trend to separate physical with non-physical world, material and non-material world, mundane and hereafter. With this kind of trend, on a philosophic way, science and technology has brought humans to a fake truth, not the real truth. The development of science and technology also has brought alienation to human’s mind dimension. Humans began to loose contact with their own selves, with other humans, with the nature, and anything transcendence.
Because of that, efforts and thoughts are needed to create new paradigm by asserting philosophy of science in the development of science and technology. This reposition is meant as a medium in perfecting the understanding of truth. That way, the function of religion is not only for ritual-ceremonial, but also as the peak of human’s discovery in searching of the real truth. This is the duty of philosophy of science. In other words, philosophy of science is not meant to create a new school of science that can not appreciate or admit the truth beyond mundane dimension. This will help human to erase their hesitation to choose between rationalism or religion, and between scientific or religious. Because, in the perspective of philosophy of science that “dilematic” problem like that is not supposed to happen.
Awareness that comes from comprehension of philosophy will bring us to a phenomenon of the growth of a new spiritual understanding. Human will begin to realize that what they have learned from science and technology is just one side from life reality that is richer. There are many parts of life that can not be explained with science and technology. The indicator is the presence of epistologic polemic that always questions science’s legitimacy, validity, supremacy, and quality. With today’s science, humans are still tangled with basic problems such as: “metron”, “Heraklitos-Permenides Problems” (singular-plural, permanent-alteration), Kant’s problem about “das Ding an sich” and “Radio Pura”. These facts occurred because humans with their science have lost spiritualism in their existance. Nasr in Islam and the Pligh of Modern Man said that humans are on the margin of their existance because they have made science and technology as God, move far away from the center. While they leave revelation-based religion-understanding and live on secularism.
When modernism with its positivity puts positive science more dominan than others, religion becomes placed on a lowest structure. In this certain place where its position and function are not significant, it becomes initial difficulties of science to explain reality in humans’ life. Because of this reason, in Islam, a restructurization of science is absolutely needed. Religion must be put back as paradigm of science, because religion is the one who will take humans to the truth of divinity. Religion is looked as a principle that can give alternative solutions to solve every rational concept. The reason is simple, there are many things beyond our mind’s abilities, and beyond our daily experience, and these are the truth.
To be free from dicotomy in their life, modern humans need to integrate values and meanings which are combined with science. For this need, there is only one subject that can teach and offer those values, religion. It is not hyperbolic because religion is indeed a source of meanings and values which is important and can be translated to development.
Integrative view like this is due to a posivistical science that tend to reduct nature reality, including human as a living creature. For instance, in cosmology, science always put it away from its spiritual elements such as: God, angels, soul, etc. Universe is considered created without creator, and is arranged by an autunomous law of nature, steady and can not be changed by outside powers. Science’s opinion about humans, which by religion viewed as creautures with soul, mind, spirit, etc., is just viewed as physical creatures with complicated nerves system, who have no souls as immaterial substance. Here, humans do not have speciality, as what was given by philosophy as microcosmos; or by religion, as God representatives on earth.
In Golshani’s opinion, neglection of science’s limitation and refusal of philosophy and religion in science is naivete. To him, science can not be separated with values, scientific works are filled with philosophic and religious opinions, and metaphysic has an important role almost at all scientific activities levels. In other words, according to Goshani, it is too simple to think that philosophic and ideologic commitment will never be a part of science structure.
Moreover, Golshani said the opinion that views scientific activities to be free from values is just a myth. This is based on following reasons:
1. Scientific acitivity is a goal that aiming effort. This means some values has roles as guidance. For instance, the searching of truth is a value that becomes principle that aim many scientists
2. All scientific activities include some value judgements :
 Some ethics like honesty, justice, and integrity function as quality supervision mechanism on scientific efforts.
 Value judgement is able to form scientist’s research or their theories options. For instance, Einstein and Heisenberg emphasize on their simplicity of physic’s theories. While Dirac emphasize on the beauty of the theories. The pragmatic consideration is many people’s criteria for theories’ options.
To answer the problem of dichotomy such that madrasah take up the strategic position. Therefore, madrasah must articulate itself to make science more integral on future. In the context of Islamity and Indonesia, however, the problem is not only catch up on behind, more than this how to answer that contemporary challenge without redoing the same mistakes. Within the current of this, Madrasah has opportunity to make harmony between science and religion.
Ofcourse, this work is not readily available like wink or leaf through the hand. One of the problems, on account of Wibisono statement, that educative institution in Indonesia unheard of in account of century, so hasn’t placed the scientific tradition yet appropriately. Besides that, in the context of founding story, madrasah has a unique condition different from educative institutions else in general. First, It setted up not to aim at fulfill the need of academic only, but also religion, ideology, and politic. Second, as a continuation of such founding motive, the management of madrasah has been done by Department of Religious Affairs (Depag), not managed by Department of National Education (Depdiknas), the real institution in position to manage all educative institutions.
The implication of founding story of madrasah such this, not only contribute to all educations cost taken from religious sector, not from budget of education, so It position at the point not different from “majlis taklim”, pilgrimate, mosque, and so on. But, also to be one factor of creating dualism system in education, there are intitutions of education in safing-guard on Depag and Diknas. Department of National Education is building up schools, concern SD (Basic Education), SMP (Junior High School), Senior High School (SMU), and University, whereas Department of Religious Affairs is managing Islamic school (madrasah) concerns Madrasah Ibtidaiyah, Tsanawiyah, Aliyah, IAIN, STAIN, UIN/UIIS, PTAIS, and Pesantren. This dualism, according to Mastuhu, has created an attitude both of Depag and Diknas claim each other, that their education system as the best. Then, that dualism of education protection also create an image, that “religious education” hobble around without scientific and technological approach, whereas “national education” has no religious and ethics values in running education.
Therefore, to enhance Islamic schools roles in development process, the Department of Religious Affairs should minimize the dualism by making development concept of integral Islamic school (madrasah terpadu). It means, that the main pilot project of madrasah today is how do they teach students all sciences, like economic, chemistry, physics, mathematic, biology, technic etc. with religious (Islamic) perspective, and visa versa, learning all religious subjects with scientific and technological approach.
Surely, the development programme will have no any significance if not shortly balanced with the fundamental change on institutional vision and mission, and also scientific ethos. That vision and mission of Islamic schools have to reflect a worldview supporting the growth and development of deep and strong scientific ethos appropriate with Islamic teachings. In the term of Nurcholish Madjid, that an ethos to be able to look at an organic relation between science and faith, or faith and science.
Without that, the institutional development of Islamic schools as not enough as answering the historical challenge of modern era by importing sciences and thechnology from the West ad hoc, and based on expediency only. In the context of coming off the dualism crisis of educational system, so the development means to narrow the only scope of it activities, from the begining between the two departments become within It. Even, in the last context, it also be meant that development will only add the new problems for Islamic schools.
In account of such scientific ethos can’t be formally constructed through learning only in classes, so it obligates an academic sphere that creating space for rational and moral increase by supporting the intellectual (cognitive) and religiousity (affective) of the students. For the need of this, so the model of integration between formal Islamic education (madrasah) system and traditional Islamic education (pesantren) is the most appropriate option, because by integrating system of madrasah and pesantren that, according to Muhammad Hatta, can be able to well internalize religious values and ethics will help madrasah to receive scientific ethos that able to look at the organic relation between science and faith, visa versa above.
Besides that, the spirit and soul or Islamic scientific ethos based on faith and cosmopolite or universal stylize should color the curriculum of Islamic school. Without this serius enterprise, such Koento Wibisono’s statement, Islamic shools, such scholls in general, will become institution has no commitment to the enlightment, progress, and reform. The scientific integration not more than “imitation” only, because framed to the development of methodology based on paradigm and Western theories only.
Someone’s way construct a building, according to illustration of Arief Furqan, so the curriculum is that blue print. If the design in that blue print is good, may be the building also will be good, (ofcourse, this also be influenced by the quality of the worker and its material). But, because the curriculum repair doesn’t even fell enough, so on much less factors else that supporting to the successful of eduction, such silabus, teaching and learning process, human resources, environment, learning facilities, and leadership all of this must be reconstructed with the spirit and ethos of Islamity and modernity.
Conclusion
From above discussion, we can conclude that through philosophic arguments and latest inventions of science, the dichotomy opinion about science and religion must be corrected. Because, latest discovery on Quantum, for instance, at least has destroyed materialists’ assumption that the world is only material. Whereas, quantum physics has prove that physical element in an atom, is very unsignificant compared with its non-material element, which is the most extensive part of atoms that build this universe. This means, science, that view the world and its contents is physical and ca only be understood with observation of sensory perception is not completely true. On the contrary, with the latest inventions and discoveries on science and the development of philosophy theories, religion is slowly but sure begin to show the truth of itself. Because of this reason, religion and science certainly must have functional and dialectic relationship in an understandable framework that can be understood by human’s logic. This is because science that is based on observation of sensory perception, philosophy that based on logic, and religion that based on revelation is tend to complement each other.
Bibliografi
Abdullah, Amin, “Reintegrasi Epistemologi Keilmuan Umum dan Agama,” dalam PERTA: Jurnal Komunikasi Perguruan Tinggi Islam, Vol. V/No. 1/2002, (Jakarta: Ditperta Depag RI dan LP2AF, 2002)
Ahmed, Akbar S. and Donnan, Hastings. “Islam in the Age of Postmodernity”, in Islam, Globalization and Postmodernity, ed. Akbar S. Ahmed and Hastings Donnan. New York: Routledge, 1994.
Baharuddin, Azizan. “Thinking Science in the Muslim World: Integrating Science and Religion for Development,” in International Conference on Religion and Science in the Post-Colonial World, Yogyakarta: Universitas Gajah Mada, 2-5 Januari, 2003.
Bakar, Osman. Tauhid dan Sains: Esai-esai tentang Sejarah dan Filsafat Sains Islam. Bandung: Pustaka Hidayah, 1994.
Capra, Fritjof. The Turning Point: Science, Society and the Rising Culture. London: Fontana Paperbacks, 1985.
Charris Zubair, Achmad. “Landasan Aksiologi Ilmu Pengetahuan” Paper for Conference in Faculty of Philosophy UGM, Yogyakarta, Oktober 1997.
Cox, Harvey. The Secular City. London: Billing Sons Ltd., 1985.
Golshani, Mehdi. “Science and the Sacred: Sacred Science vs. Secular Science,” Paper for International Conference on Religion and Science in the Post-Colonial World, Yogyakarta: Universitas Gajah Mada, 2-5 Januari, 2003.
Hidayat, Komaruddin. “Ketika Agama Menyejarah,” PERTA: Jurnal Komunikasi Perguruan Tinggi Agama Islam, Vol. V/No.1/2002.
Ismail, Faisal. Percikan Pemikiran Islam. Yogyakarta: Bina Usaha, 1984.
Johnson, Benton. Religion and Politics in America: The Last Twenty Years, in The Sacred in a Secular Age, ed. Phillipe E. Hammond. London: University of California Press, 1985.
Kartanegara. Mulyadi, “Ketika Sains Bertemu Filsafat dan Agama,” Relief, Vol. 1, No. 1, Januari 2003.
----------------. Menembus Batas Waktu Panorama Filsafat Islam. Bandung: Mizan, 2002.
Madjid, Nurcholis. Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan. Bandung: Mizan, 1987.
----------------. Kaki Langit Peradaban Islam. Jakarta: Paramadina, 1997.
Munawar Rachman, Budhy. Islam Pluralis: Wacana Kesetaraan Kaum Beriman. Jakarta: Paramadina, 2001.
Nakosteen, Mehdi. Kontribusi Islam atas Dunia Inetelektual Barat-Deskripsi Analisis Abad Keemasan Islam. Surabaya: Risalah Gusti, 1996.
Nasution, Harun. Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran. Bandung: Mizan, 1996.
Pranarka, A.M.W. “Pendekatan Multi Interdisiplin Sebuah Refleksi Kefilsafatan,” Paper for Conference, Faculty of Philosophy UGM, Yogyakarta, Oktober 1997.
Schuon, Fritjof. Logic and Transcendence. London: Perenial Books Ltd., 1975.
Syukur, M. Amin. Menggugat Tasawuf: Sufisme dan Tanggung Jawab Sosial Abad 21, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999.
Van Buren, Paul M. The Secular Meaning of the Gospel Based on an Analysis of Its Language. London: Billing and Sons Ltd., 1965.
Wibisono Siswomihardjo, Koento. “Gagasan Strategik tentang Kultur Keilmuan pada Pendidikan Tinggi,” in Aktualisasi Filsafat: Upaya Mengukir Masa Depan Peradaban, peny. Achmad Charris Zubair dkk., Journal of Philosophy, Specific Edition. Yogyakarta: Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada, 1997.

Baca Selengkapnya »»

  ©by M. Lutfi Mustofa 2009

Kembali ke ATAS