Selamat Datang dalam Web Kajian Islam Ala Indonesia (KIAI)

Tauhid: Akar Tradisi Intelektualisme Islam

Setiap masyarakat dalam kehidupannya senantiasa dipenuhi oleh nilai-nilai, aturan-aturan, dan sistem kepercayaan yang mampu membentuk pola berfikir dan berperilaku para anggotanya. Dalam kehidupan sosial, biasanya seperangkat nilai, aturan, dan kepercayaan itu akan teralirkan dari satu generasi ke generasi melalui suatu proses sosialisasi yang pada akhirnya membentuk suatu tradisi di tengah masyarakat. Itu sebabnya, sebagai suatu konsep sosio-logis, tradisi biasa diartikan meliputi pandangan dunia (worldview) yang terkait dengan nilai-nilai, aturan-aturan, sistem kepercayaan, dan pola berfikir masyarakat dalam keseluruhan tata cara hidupnya.
Masyarakat muslim adalah suatu kelompok masyarakat yang dikenal memiliki akar-akar tradisi yang kokoh, karena Islam yang mereka peluk menjadi bagian dari mata rantai sistem kepercayaan universal yang telah ada--mungkin--ratusan abad sebelumnya, sejak masa Nabi Adam. Pandangan ini didasarkan pada penegasan berbagai surat di dalam al-Qur’an, bahwa para nabi dan rasul terdahulu mewariskan paham Ketuhanan Yang Maha Esa (tawhid) kepada umatnya masing-masing sebagaimana Nabi Muhammad mengajarkannya pada umat Islam. Kokohnya akar tradisi ini juga dikarenakan al-Qur’an secara tegas memerintahkan orang-orang Islam agar menjadikan tawhid sebagai titik temu (kalimah sawa’) dan pandangan hidup bersama di antara sesama agama samawi. Dengan kata lain, Tuhan menegaskan kepada umat Islam agar terus menghidupkan tauhid itu sebagai akar-akar tradisinya, yang menjadi sumber nilai, aturan, norma, dan landasan kepercayaan hidup di berbagai fase sejarah dan dalam sistuasi sosio-kultural apapun.


Bagi umat Islam, tauhid memang merupakan kesadaran beragama yang paling fundamental, sehingga aktivitas apapun dalam kehidupan mereka harus senantiasa dinafasi oleh prinsip dan semangat tersebut. Dalam banyak literatur sejarah disebutkan bahwa keberhasilan umat Islam mengembangkan dakwah dan kekuatan peradabannya pada abad ke 7–14 M. tidak terlepas dari kuatnya semangat mereka untuk mempertahankan citra tauhid tersebut. Sebaliknya, ketika pamor peradaban Islam pada akhir abad pertengahan telah meredup, bahkan sebagian orang mungkin menganggapnya telah mati, maka tidak sedikit para ahli dunia Islam yang melihat salah satu faktornya ialah karena melemahnya kekuatan tauhid itu dalam kesadaran hidup masyarakat muslim.
Sebagai pandangan dunia yang ditawarkan oleh Tuhan sendiri, tentu di dalam tauhid itu terdapat kekuatan yang maha dahsyat, apabila sejumlah nilai, ajaran, dan semangat yang ada di dalamnya dilaksanakan sepenuhnya dan sungguh-sungguh. Selain itu, Islam sebagai suatu agama yang secara tegas mendeklarasikan tauhid sebagai fondasi keimanan juga menjamin kebahagiaan dan kesejahteraan hidup seluruh umat manusia, ketika seluruh ajaran-ajarannya dilaksanakan secara konsisten. Perkembangan masyarakat muslim, sebagaimana ditengarai oleh para pemerhati dunia Islam, setidaknya bisa dijadikan saksi sejarah mengenai relevansi pandangan dunia tauhid sebagai kekuatan dalam peradaban umat manusia.
Bagi umat Islam, semangat tauhid yang terkemas dalam ungkapan persaksian berbentuk negasi-konfirmasi (la ilaha illallah, yang artinya tidak ada Tuhan selain Allah) seharusnya memang dapat menjadi kekuatan mereka dalam menjawab berbagai tantangan sejarah dan problematika sosial, sebab ia memiliki makna esensial, yaitu membebaskan manusia dari berbagai bentuk otoritas dan petunjuk yang datang dari selain Allah. Dengan mengatakan la ilaha illallah, maka yang semestinya ada dalam kesadaran seseorang adalah, bahwa hanya Allah yang memiliki kemutlakan dan segala bentuk nilai atau kualitas yang bukan milik-Nya adalah nisbi. Dengan kata lain, tauhid menghendaki kepada setiap muslim agar menjadikan Allah semata sebagai pusat kesadaran spiritual, individual, sosial, moral, maupun intelektualnya. Kesetiaannya kepada Allah seyogyanya melampaui segala-galanya. Ketaatan, kepasrahan, cinta, pengabdian, dan kemauan yang keras semuanya dialirkan sejalan dengan kehendak dan tuntunan-Nya.
Al-Faruqi setidaknya menemukan dalam pandangan dunia tauhid itu adanya tiga prinsip dalam memahami realitas, kebenaran, dan sejarah umat manusia. Pertama, bahwa yang ada (being) atau realitas itu secara umum hanya terdiri dari dari dua jenis, yaitu Tuhan dan selain Tuhan. Di dalam Islam, realitas yang pertama sudah jelas, Dia adalah Allah yang Mahamutlak, Mahakuasa, Mahaesa, dan tidak ada sekutu bagi-Nya. Sedangkan realitas selain Tuhan yang dimaksudkan adalah segala ciptaan-Nya yang bersifat materi maupun immateri seperti manusia, tumbuhan, hewan, tata surya, jin dan malaikat, surga dan neraka, serta segala sesuatu yang bersifat menjadi, karena apa pun esensinya mereka itu adalah ciptaan. Dalam perspektif tauhid, kedua jenis realitas tadi sejauh menyangkut wujud, ontologi, atau eksistensinya adalah mutlak berbeda, sebab Pencipta secara ontologis tidak dapat dirubah menjadi makhluk, dan sebaliknya makhluk juga tidak dapat melampaui dan merubah dirinya menjadi atau merasa sebagai Pencipta. Inilah yang dimaksudkan oleh al-Faruqi dengan prinsip dualitas.
Kedua, Di antara kedua jenis realitas tersebut terdapat hubungan yang bersifat maknawi yang mensyaratkan adanya kekuatan pemahaman pada diri manusia untuk memahami kehendak mutlak Tuhan yang tertulis di dalam wahyu (al-Qur’an) maupun yang hanya dapat diketahui melalui pengamatan terhadap alam semesta. Manusia untuk keperluan ini sudah dibekali oleh Tuhan dengan suatu faklutas pengetahuan yang memiliki fungsi-fungsi gnosiologis seperti mengingat, membayangkan, membuat alasan, melakukan pengamatan merasakan, memahami, dan seterusnya. Inilah yang dimaksudkan dengan prinsip ideasional.
Ketiga, melalui pemahaman terhadap kehendak mutlak Tuhan yang tertulis dalam firman-Nya maupun yang terbentang nyata di alam raya seorang muslim diharapkan dapat menangkap hakekat makro-kosmos yang tidak lain adalah adanya tujuan (teleologis) yang mendasari keberadaannya. Bahwa segala yang ada dan gerak-gerak di alam semesta ini terlaksana demi melayani tujuan Penciptanya dan melakukannya sesuai rencana-Nya. Tanpa adanya prinsip teleologis tersebut maka tidak mungkin adanya segala sesuatu di alam ini berada pada kondisinya yang teratur, memiliki jarak dan ukuran yang tepat, serta sesuai dengan atau memenuhi kebutuhan manusia sepanjang sejarahnya. Atas dasar prinsip ini pula dunia disebut dengan “kosmos”, yakni ciptaan yang teratur, bukan “kekacauan”. Tertib di alam semesta ini, dalam logika kalam kaum Mu’tazilah, memberikan gambaran yang nyata tentang adanya ‘inayah al-Ilahiy yang dipandang sebagai manifestasi dari keadilan Tuhan kepada manusia. Jika demikian, maka harus pula disadari oleh setiap insan tauhid bahwa pemahaman terhadap hukum kosmos pada prinsipnya merupakan suatu keniscayaan guna menangkap pola-pola tujuan, kehendak, dan keadilan Tuhan yang menyatu dalam hakikat segala sesuatu di alam raya.
Al-Qur’an sejak 15 abad yang lalu menegaskan, bahwa penciptaan alam semesta dan pada segala sesuatu yang ada di dalamnya terdapat tanda-tanda kekuasaan-Nya. Satu di antara sekian banyak tanda-tanda itu adalah, bahwa alam semesta dalam realitasnya menampakkan adanya keterkaitan di antara unsur-unsurnya yang membentuk jaringan kesatuan dan kesimbangan melalui hukum-hukum kosmos. Jaringan kesatuan dan keseimbangan antar-anasir alam itu misalnya dapat kita saksikan dalam rotasi benda-benda angkasa yang beredar sesuai dengan orbit atau lintasannya. Bumi yang menjadi tempat tinggal makhluk hidup dan tata surya lainnya masing-masing bergerak saling mengitari pusatnya sejak milyaran tahun yang lalu. Sampai saat ini mereka masih saja beredar sesuai dengan hukum-hukum yang berlaku bagi dirinya tanpa ada penyimpangan sedikitpun.
Menurut Ibnu Rusyd, saling keterkaitan dan kesesuaian hukum-hukum kosmos yang berlaku di alam itu meniscayakan adanya pencipta (fa’il) yang menghendaki tujuan tersebut, sebab tidak mungkin adanya kesesuaian itu terjadi secara kebetulan. Selain itu, seperti penuturan al-Faruqi di atas, al-Kindi jauh sebelumnya pernah menegaskan bahwa segala sesuatu yang ada di alam semesta ini tidak ada yang tercipta secara sia-sia dan bergerak tanpa adanya tujuan. Semuanya, menurut filosof muslim pertama di dunia Arab itu, tercipta dan bergerak sesuai dengan Hikmah al-Ilahiy dan ‘Illah Gha’iyah (sebab tujuan) tersebut, yakni Tuhan itu sendiri. Dari sini, dapat dipahami bahwa saling keterkaitan antar-anasir alam yang membentuk jaringan kesatuan melalui hukum-hukum kosmos itu tidak lain merupakan manifestasi dari ketunggalan sumber dan asal-usul metafisiknya, yaitu Allah Swt.
Oleh karena itu, bagi umat Islam semangat untuk menemukan kebenaran melalui ilmu pengetahuan dipahami sebagai bagian yang tak terpisahkan dari kesadaran tawhid. Di sini, Ilmu pengetahuan diposisikan sebagai salah satu pendekatan yang dapat mengantarkan seseorang sampai pada Keesaan Realitas Transenden, sedangkan kesadaran tawhid merupakan paradigma dari metode ilmiah dalam seluruh wilayah ilmu pengetahuan umat Islam. Dengan demikian, relasi agama dan ilmu pengetahuan di dalam Islam bisa diibaratkan dua sisi mata uang yang berbeda tetapi tidak dapat saling dipisahkan. Penggunaan rasio atau ilmu pengetahuan tidak dapat dipisahkan dari keimanan kepada Allah Yang Transenden, dari ajaran-ajaran, aturan-aturan, nilai-nilai dan prinsip-prinsip umum yang diberitakan kepada manusia melalui wahyu Ilahi. Kecuali itu, ilmu pengetahuan juga dikembangkan dengan mewarisi keseluruhan budaya kemanusiaan setelah dipisahkan benar dari salahnya, baik dari buruknya, atau yang haq dari bathil-nya. Dengan lain ungkapan, sains di dalam Islam sangat memperhatikan agama demikian juga sebaliknya, karena sains merupakan jalan untuk memahami kesatuan realitas kosmos yang telah diberitakan agama.
Dengan kesadaran tawhid dan pendekatan ilmiah itu menjadikan Islam tumbuh sebagai kekuatan peradaban dunia yang secara gemilang mampu menjembatani wilayah-wilayah peradaban lokal menjadi peradaban mondial. Hal ini sebagaimana dinyatakan Nurcholish, bahwa masyarakat Islam adalah kelompok manusia pertama yang merubah ilmu pengetahuan dari sebelumnya bersifat parokialistik, bercirikan kenasionalan dan terbatas hanya pada daerah atau bangsa tertentu menjadi pandangan dunia yang kosmopolit dan universal. Ini terbukti betapa banyak para ilmuwan kelas dunia saat itu lahir dari dunia Islam yang karya-karyanya menjadi “bidan” bagi kelahiran ilmu pengetahuan dan peradaban Barat modern. Dalam hal ini Komaruddin mengingatkan bahwa filsafat Yunani dan kemajuan kajian ilmiah di Barat merupakan kontribusi penting intelektual muslim yang diakui dalam dunia kesarjanaan.

Relevansi Tauhid dalam Struktur Pengetahuan Masyarakat Muslim
1. Makna-makna Tauhid
Istilah tawhid merupakan kata benda kerja (verbal noun) aktif, yakni memerlukan pelengkap penderita atau obyek, sebagai derivasi atau tashrif dari kata wahhada-yuwahhidu yang artinya menyatukan atau mengesakan. Dalam makna generiknya, kata tawhid juga bisa digunakan untuk arti mempersatukan hal-hal yang terserak-serak atau terpecah-pecah. Misalnya, penggunaan dalam Bahasa Arab, tawhid al-kalimah kurang lebih berarti mempersatukan paham, atau dalam ungkapan lain tawhid al-quwwah berarti mempersatukan kekuatan.
Namun, di dalam al-Qur’an tidak dijumpai secara langsung kata tawhid yang dipakai untuk mengungkapkan keesaan Allah. Sebab, kata tawhid ini digunakan sebagai istilah teknis oleh para teolog muslim (mutakallimin) untuk paham Ketuhanan Yang Maha Esa atau monoteisme. Al-Quran hanya menggunakan kata ahad yang diterjemahkan dengan kata esa, terambil dari akar kata wahdat yang berarti kesatuan, seperti juga kata wahid yang berarti satu. Kata ini sekali berkedudukan sebagai nama dan sekali sebagai sifat bagi sesuatu. Apabila ia berkedudukan sebagai sifat, maka ia hanya digunakan untuk Allah Swt. semata.
Menurut Quraish Shihab, kata ahad walaupun dari segi bahasa memiliki kesamaan akar dengan kata wahid, tetapi masing-masing memiliki makna dan penggunaan tersendiri. Kata ahad hanya digunakan untuk sesuatu yang tidak dapat menerima penambahan baik dalam benak apalagi dalam kenyataan, sehingga ketika berfungsi sebagai sifat, kata ini tidak termasuk dalam rentetan bilangan. Berbeda halnya dengan kata wahid (satu) yang dapat ditambah sehingga menjadi dua, tiga dan seterusnya, meskipun penambahan itu hanya dalam benak pengucap atau pendengarnya.
Itulah sebabnya, ketika al-Kindi hendak menyatakan keesaan Allah dengan menggunakan kata wahid, tetapi yang tidak menerima penjumlahan ataupun pengurangan, maka ia menyebut-Nya dengan al-Haqq al-Wahid. Bagi filosof muslim pertama di dunia Arab ini, keesaan Allah memang tidak berkonotasi bilangan, artinya jika dijumlah atau dikurang dengan bilangan lain maka tidak akan menyebabkan terjadinya perubahan pada diri-Nya. Interpretasi lain mengenai makna tauhid tersebut juga tampak dari wacana kaum fuqaha’ (ahli jurisprudensi Islam) teolog muslim, para sufi (ahli tasawuf) maupun filosof muslim. Pada semua kawasan tersebut pemahaman tauhid sangat berkaitan dengan upaya memahasucikan Allah Swt. dari segala sesuatu yang dapat mengotori makna keesaan-Nya. Namun, karena disiplin keilmuan Islam tradisional ini memiliki kerangka berfikirnya masing-masing maka formula konvensional tauhid yang terdapat dalam kalimat la ilaha illallah dipahami dan diberikan arti secara beragam.
Para fuqaha’ cenderung memberikan makna harfiah dengan mengartikan formula tauhid tersebut sebagai “tidak ada Tuhan yang wajib disembah kecuali Allah”. Dengan pengertian seperti ini para ahli jurisprudensi Islam menegaskan kepada kita tentang status kehambaan manusia di hadapan Sang Pencipta. Oleh karena itu, bagi mereka keyakinan terhadap ke-Esaan Allah harus diwujudkan dalam kesungguhan manusia untuk hanya “menghamba” (beribadah) kepada-Nya. Dengan menegaskan status kehambaannya itu di hadapan Allah, maka seseorang akan mencapai posisi yang lebih tinggi dalam derajat kemanusiannya, karena sesungguhnya setinggi apapun status sosial manusia di dunia ini di mata Allah ia adalah seorang hamba. Namun, jika seseorang menghambakan dirinya kepada selain Allah, maka status kemanusiaannya akan jatuh di bawah apa saja yang disembahnya, karena manusia merupakan ciptaan yang paling mulia di antara ciptaan-ciptaan-Nya yang lain, bahkan bisa melebihi malaikat sekalipun.
Adapun para teolog mencoba memasukkan pengertian-pengertian aqliah (rasional) untuk menetapkan keesaan Allah pada dzat dan perbuatan-Nya dalam menciptakan alam semesta. Dalil-dalil rasional ini mereka susun untuk melindungi ajaran akidah Islam dari serangan penganut agama lain, khususnya Kristen, yang telah memperkuat argumentasi ajaran agamanya dengan logika dan filsafat Yunani. Atas dasar itu, tauhid sebagai prinsip ajaran Islam telah membawa para teolog pada suatu pemikiran bahwa Allah harus benar-benar berbeda dari makhluk. Bagi mereka, hal yang paling membedakannya adalah bahwa Tuhan merupakan satu-satunya Pencipta segala yang ada. Dari itu mereka mengartikan formulasi tauhid di atas sebagai “la qadima illallah” (artinya, tidak ada yang qadim kecuali Allah). Kata qadim dalam teologi Islam berarti sesuatu yang wujudnya tidak mempunyai permulaan dalam zaman, yaitu tidak pernah tidak ada di zaman lampau, dan bisa pula mengandung arti tidak diciptakan. Jadi sederhananya, yang qadim itu hanyalah Tuhan, sedangkan alam (segala sesuatu selain Dia) adalah huduts (dalam arti baru atau diciptakan). Kalau alam ini juga qadim, maka akan membawa pada paham ta’addudul qudama’ (berbilangnya pencipta). Dalam terminologi al-Qur’an paham ini disebut dengan syirk atau politeisme, yakni suatu dosa paling besar yang tidak diampuni oleh Tuhan.
Berbeda dengan fuqaha’ dan kaum teolog, para filosof muslim dan sufi memiliki tafsir mereka sendiri mengenai tauhid. Bagi para filosof,
2. Tauhid dan Hakikat Ilmu Pengetahuan dalam Islam
Tauhid sebagai prinsip yang paling utama dalam ajaran Islam memiliki implikasi yang sangat luas bagi keseluruhan pola dan tata cara hidup masyarakat muslim. Dia bukan saja menjadi kerangka keimanan (frame of faith) bagi umat Islam terhadap Allah Swt., tetapi juga merupakan kerangka pemikiran (frame of thought) dalam menemukan hakikat kebenaran mengenai segala yang ada di alam semesta ini pada seginya yang abstrak, potensial, maupun yang konkret. Dengan demikian, tauhid sebagai kerangka pemikiran merupakan suatu dimensi filosofis tersendiri yang sangat relevan dalam usaha memahami hakikat ilmu pengetahuan.
Pemahaman kembali terhadap hakikat ilmu pengetahuan sangat penting mengingat kehidupan umat manusia dewasa ini sedang berada dalam suatu ironi (keterbalikan) di mana kemiskinan, kelaparan dan kebodohan belum juga segera teratasi; jarak antara si kaya dan si miskin semakin tajam; keadilan dan kejujuran semakin menjadi barang langka; serta kebenaran semakin mudah direkayasa di tengah-tengah perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Fakta-fakta kemanusiaan ini tidak sejalan dengan cita-cita (das sollen) ilmu pengetahuan, karena semula ilmu pengetahuan dan teknologi itu dikembangkan justru demi upaya pembebasan dan memudahkan manusia dalam menghadapi dan menyelesaikan masalah hidup mereka.
Ironi tersebut terjadi karena ilmu pengetahuan semakin menjauh dari seluruh pemahaman yang diperoleh secara refleksif, terlebih yang digali dari penghayatan iman, serta memisahkan keterkaitan antara dunia materi dengan non-materi, dunia fisik dengan non-fisik, dan dunia dengan akhirat. Dengan trend semacam ini, maka secara filsafati sebenarnya ilmu pengetahuan dan teknologi telah membawa manusia ke arah pemahaman kebenaran yang semu, bukan kebenaran hakiki. Lebih jauh dari itu, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi juga membawa bentuk keterasingan dan kehilangan kepekaan atas matra ruhani manusia. Manusia menjadi kehilangan kontak ruhaniahnya dengan dirinya sendiri, manusia lain, alam lingkungan, dan dengan sesuatu yang bersifat transenden.
Oleh karena itu, demi mengurangi kecenderungan negatif tersebut diperlukan usaha dan pemikiran yang sungguh-sungguh untuk menegaskan kembali kedudukan tauhid sebagai frame of thought dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Reposisi tauhid ini diperlukan sebagai sarana masyarakat muslim untuk mengutuhkan pemahaman tentang kebenaran yang hendak dicapai melalui ilmu pengetahuan. Kehadiran tauhid di tengah-tengah pluralitas ilmu pengetahuan dan teknologi ini mengandung arti bahwa pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi harus dilakukan dengan pendekatan interdisipliner atau multidisipliner, diamalkan secara etis, dan tidak bebas nilai (not value free). Sebab, jika objek material ilmu pengetahuan tidak lain adalah alam semesta, maka dalam perspektif tauhid semua unsur-unsur alam semesta tersebut dipahami saling memiliki keterkaitan satu dengan yang lainnya, sehingga membentuk jaringan kesatuan melalui hukum-hukum kosmos yang semuanya itu merupakan manifestasi dari ketunggalan sumber dan asal-usul metafisiknya, yaitu Allah Swt.
Dengan kesadaran yang bersumber dari penghayatan tauhid tersebut membawa kita pada fenomena tumbuhnya kesadaran spiritual baru. Bahwa, manusia mulai menyadari apa yang dipelajari dengan teliti melalui ilmu pengetahuan dan teknologi hanya merupakan satu aspek dari realitas hidup sesungguhnya yang jauh lebih kaya. Masih banyak sisi dari kehidupan yang tidak dapat dijelaskan oleh ilmu pengetahuan maupun teknologi. Indikasinya terlihat dari polemik epistemologis yang terus menggugat legitimasi, validitas, supremasi, akurasi, dan kepastian ilmu. Dengan ilmu pengetahuan yang ada sekarang, manusia ternyata masih bergumul dengan masalah-masalah mendasar seperti metron (tolok ukur), problematika Heraklitos-Parmenides (tunggal-jamak, permanensi-perubahan), serta problema Kant mengenai das ding an sich dan ratio pura. Kenyataan ini dikarenakan manusia dengan ilmu pengetahuan yang dimilikinya merasakan adanya sesuatu yang hilang dari eksistensi dirinya, yakni spiritualitasnya. Hossein Nasr dalam Islam and the Plight of Modern Man menegaskan bahwa akibat masyarakat modern yang mendewakan ilmu pengetahuan dan teknologi menjadikannya berada dalam wilayah pinggiran eksistensi dirinya sendiri dan bergerak menjauh dari pusat, karena pemahaman agama yang berdasarkan wahyu mereka tinggalkan dan hidup dalam keadaan sekuler.
Ketika modernisme meletakkan ilmu pengetahuan dan teknologi lebih dominan dari yang lain, serta agama justru diletakkan pada jenjang terendah dalam struktur pengetahuannya, maka sebagai konskuensi logisnya terjadilah pergeseran nilai-nilai yang terkandung di dalam pandangan hidup, sikap dan perilaku hidup masyarakat, dari derajat yang bersifat kualitatif-spiritual menjadi kuantitatif-material. Pada saat kebenaran pengetahuan agama ditempatkan sedemikian rupa, sehingga kedudukan dan fungsinya dianggap kurang signifikan, maka itulah yang menjadi sebab awal timbulnya kesulitan-kesulitan dalam ilmu pengetahuan untuk menjelaskan realitas dalam hidup dan kehidupan manusia dewasa ini. Misalnya, terhadap pertanyaan apa yang sebenarnya dicari oleh ilmu pengetahuan? Jika jawabannya berupa kebenaran positif (yakni yang konkrit, riil, nyata, dan terukur) yang bermanfaat bagi pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari manusia adalah tidak salah. Tetapi, karena sifatnya yang positivistik tersebut, realitasnya ilmu pengetahuan dan teknologi menjadikan manusia sekadar menikmati sebagian dari hidupnya yang lebih bersifat material hedonistik, sehingga kehidupannya menjadi tidak penuh (kurang makna). Bukankah kenikmatan hidup materialistik itu hanya sebagian kecil saja dari kehidupan yang sesungguhnya?
Oleh karena itu, dalam konteks dunia Islam upaya reposisi tauhid dalam struktur pengetahuan masyarakat muslim sangat diperlukan. Agama harus diletakkan kembali sebagai paradigma ilmu pengetahuan, karena justru agama lah yang menjamin pemenuhan kebutuhan hidup manusia seutuhnya, apabila ajaran-ajarannya dilaksanakan sepenuhnya dan secara sungguh-sungguh. Agama dijadikan sebagai suatu kaidah yang membuka pemecahan alternatif yang mengatasi semua konsep rasional semata. Alasannya sederhana saja, masih banyak yang berada di luar batas kemampuan akal rasional manusia, dan berada di luar batas pengalaman keseharian manusia, dan itu juga realitas atau kebenaran itu sendiri.
Sebagaimana penuturan Aristoteles, bahwa segala sesuatu dalam realitas kehidupan ini selalu memiliki substansi (sifat hakiki) dan aksidensi. Jika segala yang ada (baik yang konkret maupun abstrak) bisa dijadikan sebagai sasaran pokok atau tujuan penyelidikan keilmuan, maka sudah semestinya ilmu pengetahuan itu tidak membatasi diri hanya menghasilkan pengetahuan yang bersifat teoritis, praktis, dan tekonologis, tetapi seharusnya juga mampu menghasilkan pengetahuan yang bersifat filosofis-substansial. Pandangan bapak empirisme Yunani kuno ini juga memberikan gambaran kepada kita, bahwa dengan begitu sesunguhnya ilmu pengetahuan sebagai bagian dari yang ada harus pula dipahami dari segi hakikinya (noumena) maupun gejalanya (fenomena). Berkaitan dengan pembahasan mengenai hakikat ilmu dalam Islam ini dapat dilihat pula dari tiga nilai ilmu pengetahuan itu sendiri, yaitu dari nilai ontologi, epistemologi, dan aksiologinya.
Nilai Ontologi: Tauhid sebagai Pusat Kesadaran Ilmiah
Dalam studi filsafat, ontologi biasa diartikan sebagai metafisika umum (generale metafisics) dan sering juga disebut dengan filsafat pertama. Namun sebagian orang ada yang menyebutnya sebagai “pohon” filsafat, atau filsafat itu sendiri. Sebagai pohon filsafat, maka ontologi mempersoalkan tentang sesuatu di balik segala yang ada, sampai pada keadaannya yang paling hakiki. Yaitu, sampai pada suatu titik abstrak tertinggi dari segala sesuatu (an ultimate nature of everything). Pada titik abstrak tertinggi atau hakikat abstrak terakhir inilah segala sesuatu yang berbeda-beda dan terpisah-pisah jenis, bentuk atau sifatnya akan menemukan kesamaannya dan menyatu dalam substansi. Sebagai misal, para filosof muslim seperti al-Kindi, al-Farabi, Ibnu Sina, al-Ghazali, Ibnu Rusyd, dan sebagainya tersatukan dalam kesamaan sebagai manusia. Sedangkan manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan, dan lain-lain yang berbeda-beda dan terpisah-pisah, menyatu dalam substansi abstrak (jenisnya) sebagai makhluk. Demikian juga semua makhluk dengan bahan dasar penciptaannya masing-masing berasal dan akan kembali pada tujuan yang sama, yaitu Tuhan sebagai Causa Prima, Yang Satu, Yang Absolut, Yang Abadi, dan seterusnya.
Tauhid secara tegas mengajarkan kepada umat Islam agar hanya menjadikan Tuhan sebagai pusat kesadaran intelektual mereka.
Dengan demikian, ontologi sebagai suatu cabang filsafat selaras dengan pandangan dunia tauhid bahwa Tuhan sebagai Pencipta merupakan sebab awal dan akhir sebagai kerangka pemikiran (frame of thought) sebenarnya merupakan suatu pusat kesadaran ilmiah yang sangat mendasar, sebab jauh sebelum manusia mampu berteori mengenai titik abstrak tertinggi dari segala yang ada di alam ini, Allah Swt. sebagaimana tertuang dalam al-Qur’an telah mengisyaratkan nilai ontologis tersebut lewat ajaran tentang tauhid.

Baca Selengkapnya »»

Posisi Strategis Pesantren sebagai Locus Humaniora

Pesantren, sebagaimana tampak dari kajian para ahli, memiliki posisi sentral dan strategis dalam kehidupan masyarakat. Posisi ini terkait dengan keberadaan pesantren sebagai tempat bermuaranya kreativitas budaya masya-rakat pedesaan. Horikoshi menunjukkan bahwa peran pesantren bagi kehidupan masyarakat di pedesaan sangat penting dan akan tetap potensial, karena selain dari keberadaannya yang tersebar merata di Jawa dan kebanyakan terletak di Jawa Timur, juga dari tradisinya yang mempunyai bentuk tersendiri. Dari sudut pandang tradisi tersebut, bahkan, para ahli itu melihat kedudukan pesantren sebagai subkultur dalam kebudayaan Jawa sangat jelas.
Kedudukan tradisi pesantren sebagai subkultur tersendiri di antaranya dapat dilihat dari kaitan pendidikan humaniora, yang mengajarkan nilai-nilai kemanusiaan--sebagai bagian integral dalam sistem budaya Jawa--dengan konsep-konsep epistemologis dari sistem pengetahuan pesantren. Dalam konteks ini pesantren menunjukkan kandungan nilai-nilai subkultur yang penuh kearifan (wisdom), sehingga Kuntowijoyo menyebutnya sebagai salah satu loci pendidikan humaniora pada masyarakat Jawa. Menurutnya, meskipun selalu ditemukan kandungan pendidikan secara lintas subkultur, namun pesantren bersama-sama dengan istana dan perguruan--sebagai dua locus pendidikan humaniora lainnya--adalah yang secara keseluruhan membentuk budaya Jawa.


Kajian-kajian terkini tentang masyarakat Jawa menunjukkan, bahwa studi tentang Jawa memang tidak bisa dipisahkan dari pemahaman secara memadai terhadap Islam. Kegagalan riset Geertz, kalau dapat dipandang demikian, tentang “agama” Jawa ialah karena kecerobohannya dalam menilai status Islam secara simpang siur, dan tidak melihatnya sebagai sebuah tradisi muslim yang besar. Islam yang sudah dipeluk sejak abad ke-13 M. telah menjadi bagian dari mata rantai sejarah Jawa, sehingga merupakan pusat tradisi yang kokoh. Kekokohan tradisi Islam ini salah satu faktornya yang terpenting adalah ia dipandang memiliki ajaran kesamaan yang mampu mencairkan tatanan hirarkis masyarakat, sehingga dapat diintegrasikan ke dalam pola budaya, sosial, dan politik sampai ke daerah-daerah pedalaman Jawa.
Perlunya Produksi dan Reproduksi Humaniora Pesantren
Pendekatan dalam mengajarkan Islam dengan mengedepankan wajah budaya itu pada perjalanan sejarahnya merupakan tradisi yang berkembang di pesantren. Melalui tradisi pesantren itulah beberapa unsur budaya Jawa tetap terpelihara, meskipun dengan cara mensubordinasikannya ke dalam nilai-nilai Islam. Suatu cara dalam mengintrodusir Islam yang sering dikritik kelompok modernis sebagai sinkretik, lemah, dan tidak konsisten. Namun, dengan cara itu Islam di Jawa justru mengalami kemajuan yang meyakinkan dan menjadi alternatif terhadap keseluruhan pandangan dunia masyarakat Jawa.
Banyak ahli melihat kedatangan Islam ke Jawa melalui Gujarat adalah dalam suatu bentuk yang sangat dipengaruhi oleh sufisme, dengan akhlakul karimah (budi luhur) sebagai cita-cita utama dari nilai-nilai kemanusiaannya, yang ekuivalen dari laku utama dalam tradisi Jawa. Hal ini merupakan faktor yang menguntungkan bagi masuknya agama Islam, karena ia dapat diterima dan diintegrasikan dengan mudah ke dalam sistem struktur Jawa. A.H. Johns berpendapat bahwa tradisi pesantren itulah yang paling menentukan watak kerajaan-kerajaan Islam, dan yang memegang peranan paling penting bagi penyebaran Islam sampai ke pelosok-pelosok.
Nilai-nilai kemanusiaan pesantren dengan akhlakul karimah sebagai cita-cita utamanya itu, secara terus menerus dibentuk melalui pemahaman literal tentang ajaran Islam, pola kepemimpinan kiai-ulama, mata pelajaran formal yang digali dari berbagai kitab kuning (literatur Islam klasik), serta pola kehidupan kultural yang terefleksi dari upacara-upacara dan pengalaman keagamaan ataupun kemanusiaan di lingkungan pesantren. Pemahaman literal tentang ajaran Islam dalam literatur klasik merupakan sumber pengambilan nilai, dan pola kepemimpinan kiai-ulama adalah model implementasinya dalam kehidupan nyata. Adapun kehidupan kulturalnya merupakan sarana pendidikan humaniora tersendiri yang secara informal telah banyak memberi pengalaman kemanusiaan kepada para santri dan masyarakat pesantren.
Apabila banyak ahli melihat kehidupan masyarakat pedesaan di Jawa dipenuhi dengan nilai-nilai humaniora, maka pemandangan tersebut terbentuk bukan sepenuhnya karena sifat alami dari masyarakat agraris, namun juga merupakan hasil asimilasinya dengan pendidikan humaniora pesantren. Seperti diakui oleh Kuntowijoyo, bahwa melalui pola komunikasi kiai-santri, tradisi pesantren itu terpelihara hingga ke desa-desa. Hubungan antara pesantren dan pedesaan selalu terjaga karena sejumlah santri, yang pada umumnya berasal dari desa, selalu berhubungan dengan kiai sekalipun telah lama meninggalkan masa pendidikan formalnya di pesantren. Selain itu, hubungan pesantren dan nilai-nilai humanioranya itu dengan pedesaan juga terpelihara melalui ikatan persaudaraan tarekat. Hampir setiap pesantren di Jawa dicirikan dengan keterkaitannya dalam jalinan mata rantai tarekat. Bagi pesantren, tarekat yang kaya dengan nilai-nilai etik dan memiliki tingkat kedisiplinan yang keras merupakan pendidikan humaniora tersendiri yang efektif bagi para santri. Dari bentuk-bentuk hubungan antara guru (mursyid) dan murid (salik) yang bukan saja bersifat kemanusiaan, namun juga spiritual (ketuhanan) karena diikat oleh sebuah perjanjian setia (bai’at) menjadikan tarekat ini sebagai media komunikasi dan sarana dakwah yang sangat kuat dan efektif. Oleh karena itulah, nilai-nilai kemanusiaan pesantren yang sangat kuat diwarnai oleh akhlakul karimah dari gerakan tarekat ini dapat bersemayam di kalangan masyarakat pedesaan.
Kandungan nilai-nilai subkultur pesantren tersebut, menurut Dhofier, sejak awal merupakan kerangka sistem pendidikan Islam tradisional di Jawa, yang memperoleh perhatian besar dari para pengkaji Islam di Indonesia. Bahkan dalam perkembangan kontemporer, pesantren bukan saja menarik perhatian para islamisist namun juga indosianist. Hal terakhir ini disebabkan oleh kenyataan, bahwa tradisi pesantren itu sangat kompleks sehingga ia juga sering dilihat sebagai entitas politik yang sangat besar, karena para kiai sebagai pemimpinnya memiliki pengaruh dan kharisma yang kuat di masyarakat. Karena perkembangan kontemporer Islam di Indonesia yang cenderung diwarnai--sebagai akibat dari fenomena reformasi--oleh isu-isu politik itulah, sehingga jarang sekali orang yang melihat pesantren sebagai medium budaya dalam kehidupan masyarakat Jawa. Suatu fungsi pesantren yang untuk sekarang ini, menurut Abdurrahman, “diredupkan” oleh peranan politiknya.
Produksi dan reproduksi humaniora di pesantren merupakan aspek yang sangat fundamental, karena keduanya merupakan proses dinamis yang ada dari dan dalam pesantren. Dalam perspektif Giddens, reproduksi hubungan dan praktik sosial sekaligus merupakan suatu proses produksi, sebab ia tidak dilakukan oleh subyek yang pasif. Menurutnya, struktur merupakan suatu medium dan juga sekaligus hasil (outcome), sebab suatu struktur sosial dapat dipandang sebagai sistem aturan dan sumber yang diproduksi oleh agensi manusia, di mana proses dan hasil produksi tersebut hanya mungkin terjadi bila tersedia struktur yang menjadi mediumnya. Dalam konteks ini, pesantren sebagai suatu sistem budaya merupakan medium sekaligus hasil yang diproduksi oleh individu-individu di dalamnya.
Dalam pengertian yang lebih luas, proses produksi dan reproduksi itu juga merupakan suatu proses yang memiliki relevansi yang tinggi dalam studi Islam di Indonesia, khususnya tentang pesantren di Jawa, karena perubahan sosial yang begitu cepat disadari atau tidak telah membawa pesantren pada suatu kesadaran tentang perlunya proses penyesuaian diri secara struktural maupun kultural. Meskipun adaptasi itu sendiri, menurut Freire, merupakan bentuk pertahanan diri yang paling rapuh, tetapi pesantren di Jawa Timur melihat hal ini tetap diperlukan agar pendidikan pesantren dalam perkem-bangannya tidak kehilangan konteks dan makna empiriknya. Namun, tentu saja tidak melulu beradaptasi, karena hanya dengan adaptasi, pendidikan tidak akan mampu mengubah dunia. Sebab, pendidikan sebagai suatu proses humanisasi menghendaki agar manusia menjadi subyek. Menjadi subyek dalam kaitannya dengan dunia, meminjam istilah Freire, adalah memberi arti temporal terhadap dunia dengan melakukan proses produksi dan reproduksi budaya.
Lebih dari itu, adaptasi tersebut sangat diperlukan bukan saja agar pesantren tetap survive, namun karena proses teknologisasi telah mengubah hakikat manusia itu sendiri. Manusia tidak hanya mengalami mekanisasi dalam hari-hari kerja maupun waktu luangnya, tetapi juga telah kehilangan kualitas kepribadiannya. Di tengah situasi tidak terelakkannya human technique ini, Jaques Ellul menaruh harapan besar pada agama sebagai jalan pembebasan dari kungkungan teknik. Jika analisa Ellul tersebut dapat dibenarkan, tanpa perlu menunggu Indonesia menghadapi gejala depersonalisasi dan dehumanisasi tersebut, maka diperlukan adanya lingkungan sosial yang mampu menumbuhkan kesadaran tentang perlunya humanisme baru, yang mengajarkan kearifan (wisdom), mendidik bagaimana menjadi manusia. Di sinilah pesantren sebagai locus pendidikan humaniora dapat menjadi kekuatan dalam melakukan proses produksi maupun reproduksi semesta simbolik.
Akan tetapi, proses produksi dan reproduksi semesta simbolik itu akan disertai dengan konskuensi-konskuensi. Misalnya, proses reproduksi terhadap foto biasanya memang memberikan kemungkinan hasil yang lebih baik dari gambar aslinya. Namun, di sana tentu saja ada beberapa dimensi asalnya yang hilang atau mengalami perubahan. Begitu pula kemungkinannya yang akan terjadi pada proses reproduksi budaya di pesantren, ada dimensi-dimensi asal yang dimungkinkan hilang atau setidaknya mengalami pemudaran. Atas dasar itu, dengan memakai ketiga aspek dalam sistematika William di atas, kajian ini selain untuk mendalami proses pelembagaan humaniora di pesantren; bentuk-bentuk atau kandungan pendidikan humaniora tersebut; dan efek psiko-sosial yang dikehendaki dari pendidikan humaiora pesantren terhadap kehidupan masyarakat; juga untuk menelusuri unsur-unsur humaniora apa saja yang hilang dari pesantren sebagai akibat dari proses reproduksi budaya dimaksud.
Humaniora Pesantren dalam Perspektif Teoritik dan Praktik
Istilah humaniora merupakan turunan dari bahasa Latin kuno humanus yang berarti manusiawi, berbudaya, dan halus. Dalam bahasa Inggris, searti dengan istilah the humanities, yang bisa berarti nilai kita sebagai homo humanus atau manusia berbudaya. Encyclopaedia Britannica mengartikan the humanities sebagai sejenis pengetahuan yang berkenaan dengan nilai-nilai manusia dan ekspresi-ekspresi dari jiwanya. Ada juga sebagian orang yang mendefinisikan humaniora sebagai seperangkat sikap dan perilaku moral manusia terhadap sesamanya.
Sejalan dengan pengertian literal istilah humaniora di atas, pembagian Kuntowijoyo tentang adanya tiga lingkungan tempat manusia hidup, yaitu lingkungan material, lingkungan sosial, dan lingkungan simbolik mungkin dapat membantu dalam memperjelas maksud yang dikehendaki dari penggunaan istilah ini. Lingkungan material adalah lingkungan buatan manusia, seperti rumah, jembatan, sawah, dan peralatan-peralatan. Lingkungan sosial ialah organisasi sosial, stratifikasi, sosialisasi, gaya hidup dan sebagainya. Adapun lingkungan simbolik ialah sesuatu yang meliputi makna dan komunikasi, seperti kata, bahasa, mite, nyayian, seni, upacara, tingkah laku, benda-benda, konsep-konsep, dan sebagainya. Sedangkan Cassier, sebagaimana dikutip Kuntowijoyo, menambahkan bentuk-bentuk simbolik itu juga meliputi agama, filsafat, ilmu, dan sejarah. Dalam konteks ini, humaniora dipahami sebagai sebuah kerangka pendidikan (liberal education) yang mengajarkan perihal wisdom, yakni mendidik bagaimana menjadi manusia. Ta’rif terhadap humaniora seperti ini sejalan dengan maksud yang dikehendaki dari lingkungan simbolik tersebut, sebab mendidik bagaimana menjadikan manusia manusiawi, dalam arti berbudaya, adalah sutau sikap atau tindakan yang sarat dengan makna.
Oleh karena itu, semua bentuk-bentuk simbol di atas merupakan obyek kajian humaniora, karena salah satu fokus kajiannya memang sekitar masalah makna, yakni nilai-nilai intrinsik dari suatu simbol. Dengan demikian, humaniora berkepentingan dengan kesinambungan lingkungan simbolik di atas, sebab seperti ditegaskan Huizinga, humaniora juga merupakan sebuah ilmu yang committed, dalam arti ia juga berkepentingan terhadap kelangsungan hidup obyeknya. Atas dasar itu, humaniora bukan saja mempelajari dan merepro-duksi simbol, namun juga harus menyadari bagaimana simbol-simbol dipro-duksi oleh individu dan masyarakat.
Kerangka pendidikan humaniora dimaksud secara sosiologis memiliki kedekatan dengan dunia pesantren, sebab ia merupakan cultural engineering masyarakat Jawa, yang erat kaitannya dengan latar belakang struktural sebuah masyarakat agraris. Sedangkan pesantren merupakan sumber penting bagi pendidikan humaniora masyarakat agraris di pedesaan. Tidak diragukan lagi bahwa pesantren merupakan lingkungan sosial yang kaya dengan sumber-sumber makna dan simbol itu. Dalam artikel, The Principles of Education in Pesantren, Mastuhu menjelaskan bahwa tujuan utama dari pendidikan di pesantren adalah mencari wisdom berdasarkan ajaran Islam untuk meningkat-kan pemahaman tentang makna hidup serta merealisasikan tanggung jawab dan tertib sosial.
Selain dari mata ajaran keislaman yang ada di dalamnya, makna dan simbol itu juga mengalir dari upacara-upacara dan kesenian yang memberikan pengalaman keagamaan dan kemanusiaan khas pesantren. Gambaran perihal pendidikan kemanusiaan, misalnya terlukiskan dengan baik dalam cerita pendek Djamil Suherman, Umi Kalsum, yang mengungkap kisah upacara mauludan di pesantren. Dalam karya Saifudin Zuhri, Guruku Orang-orang dari Pesantren, tampak pula bahwa upacara manakiban yang dilaksanakan di pesantren untuk memperingati sejarah Syekh Abdul Qadir al-Jailani juga sarat dengan muatan spiritual dan nilai-nilai kemanusiaan.
Dari bidang kesenian, makna dan simbol-simbol pendidikan humaniora pesantren misalnya tercermin dalam seni musik gambus, pembacaan Kitab Barzanji, dan seni bela diri (pencak strom atau karomah). Ketiga bentuk seni pesantren tersebut tidak diragukan telah menciptakan jenis kepribadian yang tersendiri bagi para santri maupun masyarakat pedesaan pesantren. Musik gambus dan pembacaan Barzanji, misalnya, merupakan sebuah pernyataan estetik kaum santri yang mencerminkan cita-cita hidup pesantren yang kaya dengan muatan etik dan teologis. Begitu juga dari seni beladiri pencak strom atau silat karomah terpantul etika kewiryaan atau keberanian dalam menegak-kan kebenaran yang dijunjung tinggi oleh para santri.
Atas dasar itu, Bachtiar menilai kajian Geertz dalam The Religion of Java, telah membuat suatu uraian yang tidak adil mengenai pembentukan simbol pada masing-masing varian masyarakat Jawa, abangan, santri, dan priyayi. Menurutnya, Geertz sama sekali tidak memberikan ruang dalam bukunya itu untuk mengungkap sebagian kecil dari pembentukan makna dan simbol-simbol di kalangan santri, hal yang tidak dilakukannya kepada varian lain, priyayi dan abangan. Untuk priyayi, Geertz memberi ulasan yang luas perihal kesenian klasik dan kontemporer. Sedangkan untuk abangan disebut-kan simbol-simbol berupa magis, mitologi, dan ritual.
Walaupun demikian, terlepas dari beberapa kritik atas kelemahan Geertz dalam memahami apa yang disebutnya sendiri sebagai agama Jawa, studinya tentang Islam dan khususnya perihal pesantren pada tahun 1960-an telah menarik perhatian banyak ahli lainnya kepada posisi istimewa (crucial) kiai dan pesantren dalam penelitian tentang Islam Indonesia.
Setelah studi yang dilakukan oleh Geertz tersebut, banyak ahli dan sarjana yang mengkaji Islam tradisional dengan menggunakan kerangka dan cara yang berbeda-beda. Disparitas metodologis dalam studi tentang Islam Indonesia ini terjadi, karena realitas dan permasalahannya ternyata memang sangat kompleks. Pada tahun 1976, Horikoshi melakukan penelitian tentang peranan kiai (ajengan) di Jawa Barat dalam mempertahankan diri dari berbagai perubahan sosial. Sedangkan Dhofier, dalam disertasinya yang berjudul The Pesantren Tradition: A Study of the Role of the Kiai in Maintenance of the Traditional Ideology of Islam in Java (1980) membahas apa yang disebutnya sendiri sebagai “tradisi pesantren”, dengan fokus utama pada peranan kiai dalam memelihara dan mengembangkan faham Islam tradisional di Jawa.
Dalam disertasinya, Horikoshi melalui pertimbangan teoritis mengenai konsep ‘mediator’ atau perantara dan ‘cultural broker’ atau pialang budaya, bermaksud menunjukkan kelemahan teori ini, sekaligus melukiskan cara dan strategi yang ditempuh ajengan agar dapat terus bertahan dan memecahkan “posisi sulit” yang dihadapinya dengan melakukan adaptasi secara kreatif terhadap kekuatan-kekuatan perubahan. Menurutnya, teori Geertz tentang kiai sebagai “pialang budaya” itu tidak sepenuhnya benar, sebab pada fenomena yang diamatinya kiai sama sekali bukan seperti bendungan yang hanya berperan “menampung” manivestasi budaya baru secara pasif, melainkan justru dia menampilkan diri secara aktif sebagai “agen pembaharuan”. Di antaranya, berdasarkan temuannya di Cipari Garut, Jawa Barat, kiai tampak berperan aktif dalam melakukan seleksi atas nilai-nilai dan sikap positif yang seharusnya dikembangkan oleh masyarakat. Ini artinya, menurut Abdurrahman, para kiai itu telah melakukan skala prioritas sendiri atas perubahan masyarakat dan mengembangkan kepeloporan mereka dalam proses perubahan tersebut.
Sedangkan Dhofier, melalui studi disertasinya tersebut, mengemukakan kerangka pendidikan Islam tradisional pesantren dan pola hubungan kiai-santri di dalamnya. Ia juga mengungkapkan adanya berbagai macam jaringan (network)--seperti jaringan transmisi ilmu, jalinan saling memasok santri di antara pesantren tertentu, dan jaringan kekerabatan antarkiai melalui sistem perkawinan endogamis--yang sengaja diciptakan oleh para kiai sebagai upaya untuk memelihara tradisi pesantren. Selain itu, sebagai fokus utama dari disertasinya, Dhofier secara rinci menguraikan tentang nilai-nilai, pandangan hidup, dan elemen-elemen dalam kehidupan pesantren. Namun, karena pendekatannya yang menekankan pada analisa kelembagaan, sehingga perihal nilai-nilai dan pandangan hidup pesantren itu tidak dilihatnya secara lebih khusus dalam kerangka pendidikan humaniora.
Studi-studi lainnya, seperti dilakukan oleh Mansurnoor (1990), Pradjarta (1994), Endang (1996), dan Mas’ud (1996), tentang kedudukan, peran, dan dinamika yang dimainkan oleh pesantren maupun kiai dalam konteks sosial, budaya, maupun politik menunjukkan arti penting pesantren dalam perkem-bangan modern Islam Jawa. Namun, di antara studi-studi terdahulu tersebut belum ditemukan suatu bahasan yang mendalam perihal pelestarian humaniora di pesantren. Dalam setiap kajian itu, memang disebutkan bahwa pesantren merupakan medium atau institusi budaya yang sarat dengan nilai-nilai, seperti dinyatakan Mas’ud, pelestarian budaya lokal merupakan salah satu ciri yang menonjol dari budaya pesantren. Akan tetapi, semua itu hanya sebatas diasumsikan, dan belum sampai diterangkan secara mendalam. Di sinilah kajian tentang humaniora pesantren menjadi mendesak dilakukan agar dapat memberikan keterangan secara mendalam tentang peran pesantren dalam memelihara humaniora di Jawa.

Baca Selengkapnya »»

Tradisi Pesantren: Kesinambungan dan Perubahan di Era Kontemporer Indonesia

Dalam pengertian yang paling sederhana, tradisi--seperti dikatakan Shils--berarti segala sesuatu yang disalurkan atau diwariskan dari masa lalu ke masa kini (it is anything which is transmitted or handed down from the past to the present). Semua yang ditransmisikan itu bisa berupa objek fisik ataupun suatu konstruksi budaya, tanpa dipersoalkan berapa lamanya maupun cara diwariskan-nya, secara lisan ataukah tertulis. Menurut Sztompka, yang terpenting bahasan perihal tradisi itu mencakup kesinambungan masa lalu di masa kini ketimbang sekadar menunjukkan fakta bahwa masa kini berasal dari masa lalu.


Dengan demikian, pesantren sebagai lembaga pendidikan tradisional yang menitikberatkan pada pendalaman ilmu-ilmu agama Islam (tafaqquh fiddin) menyiratkan suatu tatanan sosial yang mewarisi kontinuitas tradisi Islam yang telah dialirkan ulama dari masa ke masa, tidak terbatas pada periode tertentu dalam sejarah Islam, seperti periode kaum Salaf, yaitu periode para sahabat Nabi Muhammad dan tabi’in senior. Proses transmisi objek fisik dan konstruksi budaya, atau--meminjam istilah Sztompka--transmisi material dan gagasan yang mencakup bangunan, bentuk arsitektur, maupun sistem kepercayaan, keyakinan, simbol, norma, nilai, aturan, dan ideologi di pesantren tadi, bahkan, harus dipahami sebagai suatu proses dialektis yang boleh jadi melahirkan kesinambungan atau, sebaliknya, justeru perubahan. Hal ini sangat ditentukan oleh kualitas psikologi, berupa sikap dan orientasi pikiran manusia di masa kini dalam memahami tradisi yang berasal dari masa lalu.
Dilihat dari kemunculannya, pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia. Usianya boleh jadi sama tuanya dengan usia Islam di nusantara, sehingga bila kemunculan suatu tradisi itu salah satunya adalah melalui mekanisme “paksaan” individu yang berpengaruh, maka sesungguhnya tradisi pesantren memiliki sumber-sumber klasik yang kaya. Dilihat dari kedekatan hubungan dengan sejarah masuknya Islam ke Jawa, maka pesantren selain men-jadi bagian dari mata rantai pendidikan Islam universal atau--meminjam bahasa Nurcholish--identik dengan makna keislaman, ia juga “mengandung makna ke-aslian Indonesia (pen. Jawa)”, karena pesantren muncul dan berkembang dari pengalaman sosiologis masyarakat lingkungannya (indigenous).
Sebagai lembaga yang identik dengan makna keislaman, pesantren sejak awal berdirinya merupakan lembaga pendidikan agama (tafaqquh fiddin) yang menitikberatkan (takhassus) pada bidang keislaman. Itu sebabnya, yang diajar-kan oleh pesantren pada umumnya adalah ilmu-ilmu keislaman yang mencakup bidang akidah, syari’ah, dan akhlak--masing-masing dengan jabaran ilmunya, seperti ilmu tauhid, fiqh dan ushul fiqh, dan tasawuf--serta ilmu-ilmu yang ber-kaitan, misalnya, ulumul qur’an (dengan segala perinciannya, seperti asbabun nuzul, ilmu ta’wil, nasikh-mansukh dan seterusnya) hadits dan ulumul hadits (dengan pasal-pasal di dalamnya, misalnya, mustholahul hadits, asbabul wurud, rijalul hadits dan seterusnya) serta tarikh, hingga ilmu-ilmu alat sebagai penun-jang, seperti ilmu tajwid, nahwu, sharaf, i’lal, sya’ir/ilmu ‘arudl, ilmu mantiq, falaq, fara’id, hisab, adabul bahtsi wal munadzarah (metode berdiskusi), thibb (pengobatan), dan thobaqat (biografi ulama).
Secara umum, ilmu-ilmu keislaman yang diajarkan oleh pesantren ber-muara dari madzhab ahlu sunnah wa al-jama’ah, suatu faham keagamaan yang pada masa abad pertengahan Islam menjadi bahan kontroversi di antara banyak aliran, karena masing-masing saling mengklaim dirinya sebagai ahlu sunnah wa al-jama’ah, sehingga pengertian istilah ini kemudian menjadi kabur. Ada yang menggunakannya dalam pengertian yang luas (‘am) dan ada pula yang memberi arti terbatas (muqayyad). Dalam artian luas mencakup semua kelompok, selain Syi’ah, sehingga Mu’tazilah pun termasuk di dalamnya, sebagaimana Asy’ariah. Sedang dalam arti terbatas, dikhususkan pada pengikut al-Asy’ari saja, sehingga al-Maturidi pun tidak termasuk. Namun, para kiai atau ulama’ di nusantara, khususnya yang tergabung dalam Jam’iyyah Nahdlatul Ulama, mengartikan faham ahlu sunnah wa al-jama’ah tersebut lebih terbatas lagi, seperti dijelaskan oleh K.H. Bisyri Musthafa, yaitu faham yang berpegang teguh kepada tradisi sebagai berikut:
1. Dalam bidang hukum-hukum Islam, menganut ajaran-ajaran dari salah satu mazhab empat (al-a’immah al-‘arba’ah). Namun, dalam praktek, kiai adalah penganut kuat dari pada madzhab Syafi’i.
2. Dalam soal-soal tauhid, menganut ajaran-ajaran Imam Abu Hasan al-Asy’ari dan Imam Abu Mansur al-Maturidi.
3. Dalam bidang tasawuf menganut dasar-dasar ajaran Imam Abu Qasim al-Junaid al-Baghdadi dan Imam Abu Hamid al-Ghazali.
Dengan komitmen yang tinggi untuk mempertahankan ajaran ahlussun-nah waljama’ah itu, pendidikan keislaman di pesantren didasarkan pada karya-karya intelektual para ulama’ Sunni yang tersebar di berbagai bidang dan ilmu-ilmu keislaman. Terutama Ilmu Aqa’id, yang mencakup Ilmu Tawhid dan Ilmu Ushuluddin, merupakan suatu bidang keilmuan Islam yang mustahil ditinggalkan, karena menjadi tumpuan pemahaman mengenai sendi-sendi paling asasi dalam ajaran agama Islam, yaitu soal kepercayaan, Kemahaesaan Tuhan, dan pokok-pokok ajaran agama. Atas dasar itu, tujuan pengajaran ilmu akidah di pesantren, menurut Nurcholish, adalah untuk menanamkan paham keagamaan yang benar (red. ala ahlussunnah), karena itu pendekatannya pun biasanya doktriner dan tidak jarang juga dogmatis.
Meskipun Ilmu Aqa’id memiliki posisi sentral dalam sistem pengetahuan pesantren, tetapi bila dibanding dengan kajian tentang jurisprudensi Islam (Ilmu Fiqh), maka ia masih kalah mendalam dan meluas. Hal ini selain karena Ilmu Fiqh memiliki kegunaan yang lebih praktis ketimbang Ilmu Aqa’id, sebenarnya juga memperlihatkan betapa watak kajian akidah Islam pada abad pertengahan yang dikotomis-antagonistik telah mendorong pesantren untuk bersikap sangat hati-hati dalam mengajarkan faham, selain ahlussunnah wal jama’ah.
Dengan pengertian seperti dijelaskan K.H. Bisyri Musthafa di atas, penggunaan faham ahlussunnah wal jama’ah merupakan pilihan yang paling sesuai, karena kombinasi antara madzhab al-Asy’ari dan al-Maturidi dinilai dapat menciptakan keseimbangan pada aspek-aspek teologi Islam yang sering diperten-tangkan oleh antaraliran. Atas dasar itu, kajian tentang akidah Islam di pesantren meliputi khazanah kitab dan bahan rujukan yang cukup terbatas, mencakup jenjang-jenjang permulaan dan menengah saja, tanpa atau sedikit sekali menginjak jenjang lebih lanjut (advanced). Misalnya, pada tingkat permulaan biasanya diajarkan Kitab Aqidatul Awam, Khoridatul Bahiyah, al-Jawahirul Kalamiyah, dan Kifayatul Awam. Sedang tingkat menengah dan jenjang lebih lanjut, secara berurutan, adalah Kitab al-Dasuki dan Syarh al-Hikam.
Berbeda halnya dengan bidang fiqh, betapa pun pada disiplin keislaman yang membidangi segi-segi peribadatan dan hukum ini perbedaan antarmadzhab tidak kalah kuatnya dari kawasan akidah, namun ia termasuk ilmu keislaman yang berkategori furu’ (cabang). Sedangkan ahlussunnah wal jama’ah, secara substansial, sebenarnya lebih berkaitan dengan masalah al-ushul (prinsip/pokok) dan tidak berkaitan dengan masalah furu’. Itu sebabnya, kajian tentang Ilmu Fiqh di pesantren meliputi khazanah kitab dan bahan rujukan yang kaya dan beraneka ragam. Begitu kuatnya kajian tentang Ilmu Fiqh ini, sehingga di tengah komunitas pesantren, fiqh bukan hanya berlaku sebagai sebuah norma hukum tetapi juga menjadi corak dari perilaku kaum santri. Bahkan, anggapan tentang pesantren sebagai sebuah subkultur tersendiri, di antaranya, juga karena adanya sebagian konsep fiqh yang telah menyatu dengan kehidupan di dalamnya.
Disiplin keislaman lainnya yang sangat penting dalam pendidikan di pesantren adalah Ilmu Akhlaq. Ajaran-ajaran tentang akhlaq atau moralitas indi-vidu maupun kolektif merupakan alat antisipasi terhadap kebutuhan akan perubahan pandangan dunia yang paling memungkinkan penggunaannya di pesantren. Karena sifatnya yang praktis--dalam arti langsung dipraktekkan dalam kehidupan--apabila pemahaman soal akhlaq ini berorientasi pada aspek-aspek normatifnya yang baku memang bisa mengakibatkan kondisi statis, namun di pesantren ajaran tentang akhlaq itu diarahkan pada wataknya yang antisipatif, sehingga sejumlah prinsip di dalamnya yang secara lentur akan mengarahkan pada perubahan dapat membawa kaum santri pada perubahan itu sendiri.
Memang, sebagaimana dikemukakan Sztompka, bahwa begitu suatu tradisi terbentuk, maka ia dapat mengalami berbagai perubahan, baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Demikian pula halnya yang berlaku pada tradisi pesantren, sebagaimana tesis yang dikemukakan Wahid, bahwa:
Perubahan sosial terjadi dalam tradisi, bukan atas dirinya. Betapapun tradisionalnya suatu masyarakat, ia memiliki kemampuan untuk melakukan perubahan atas pandangan hidupnya. Jika tidak demikian, masyarakat itu sudah mati sejak dini, seperti terbukti dari banyak perkembangan masyarakat. Masyarakat modern manapun, bila diukur dari zamannya sendiri, juga akan mengalami kematian manakala ia dihinggapi kebekuan dan tidak mampu menampung kebutuhan akan perubahan pandangan hidup. Sebaliknya, masyarakat tradisional yang berumur ribuan tahun masih dapat bertahan di panggung sejarah, karena kemampuan melakukan perubahan sosial dalam dirinya.
Namun, perubahan sosial dalam tradisi pesantren itu memang tidak terjadi secara tergesa-gesa, karena pada saat yang bersamaan ia juga dihadapkan pada masalah bagaimana mempertahankan ikatan-ikatan tradisi yang telah ada. Bahkan, jika memungkinkan bagaimana ikatan-ikatan tersebut justeru dimanfaatkan sebagai mekanisme perubahan itu sendiri. Pilihan-pilihan ini merupakan konskuensi logis dari banyaknya tradisi yang dapat mengakibatkan timbulnya benturan antar-tradisi (clash of traditions). Akibat dari benturan itu, hampir tanpa kecuali, setiap tradisi dapat saling mempengaruhi, mendukung, atau memusnahkan. Semua ter-gantung pada kekuatan relatif masing-masing tradisi yang sedang bersaing. Bila kekuatan (artikulasi, daya pikat, cakupan, dan sebagainya) tidak seimbang, maka tradisi yang cukup kuat akan menyerap tradisi saingannya. Namun, apabila tradisi yang berinteraksi hampir sama kuat maka--walaupun unsur-unsur pokok masing-masing dipertahankan--akan terjadi percampuran tradisi, yang pada ujungnya menyebabkan perubahan di kedua pihak.
Dalam konteks Indonesia modern, perubahan-perubahan dalam tradisi pesantren--seperti perubahan sistem pendidikan dari mengajarkan agama secara tradisional melalui kajian kitab kuning ke arah diperkenalkannya madrasah yang menggunakan sistem klasikal dan dilengkapi dengan pengetahuan umum-- adalah sebagian contoh dari proses percampuran tradisi tersebut. Walaupun dengan diperkenalkannya madrasah, pesantren masih dapat mempertahankan unsur pokok dan ciri utama tradisinya, namun sistem pendidikan kolonial Belanda yang membawa nilai-nilai baru telah memaksa kaum santri menguji kemampuan-nya untuk melakukan perubahan atas pandangan dunianya agar sistem pendidikan pesantren dapat bertahan di tengah percaturan tradisi modern. Oleh karena itu, bagi dunia pesantren, usaha-usaha perubahan dalam dirinya bisa diartikan sebagai komitmen menjaga kontinuitas tradisi itu sendiri.
Selain ilmu-ilmu agama Islam di atas yang digunakan secara kreatif oleh kalangan pesantren untuk mengantisipasi kebutuhan akan perubahan, karakter eksistensialnya sebagai lembaga yang “mengandung makna keaslian Indonesia (indigenous)” juga merupakan faktor penting yang membuat pesantren mampu bertahan hingga saat ini. Dari sudut pandang ini, seperti dikemukakan Azyumardi, pesantren muncul dan berkembang dari pengalaman sosiologis masyarakatnya, sehingga antara keduanya terjalin hubungan yang sangat erat.
Hubungan pesantren dan masyarakatnya itu telah dimulai sejak lama, kira-kira sejak kedatangan Islam di nusantara pada abad ke-13 M. Secara historis, sebagaimana para ahli melihatnya, bahwa kedatangan Islam ke Jawa melalui Gujarat adalah dalam suatu pola-pola dakwah yang dapat diterima dan diintegrasikan dengan mudah ke dalam sistem struktur Jawa. Hal ini lantas memberikan keuntungan tersendiri kepada para penyeru agama Islam ketika itu, yaitu dalam hal mendirikan pusat-pusat pendidikan keagamaan mereka tinggal meneruskan dan mengislamkan lembaga pendidikan yang sudah ada pada masa kekuasaan Hindu-Budha.
Pesantren adalah sebuah contoh lembaga pendidikan keagamaan pada masyarakat Jawa yang diteruskan dan diislamkan oleh para mubaligh Islam tersebut. Dalam hal ini A.H. Johns berpendapat, memang tradisi pesantren itulah yang paling menentukan watak kerajaan-kerajaan Islam, dan yang memegang peranan paling penting bagi penyebaran Islam sampai ke pelosok-pelosok. Dengan begitu, dapat dimengerti apabila pada perkembangan selajutnya antara sistem budaya Jawa dengan konsep-konsep epistemologis dari sistem pengetahuan pesantren terjalin hubungan yang sangat erat, sehingga membentuk sebuah sub-kultur tersendiri dalam kehidupan masyarakat Jawa..
Kajian-kajian terkini tentang masyarakat Jawa menunjukkan, bahwa studi tentang Jawa memang tidak bisa dipisahkan dari pemahaman secara memadai tentang pesantren. Kegagalan riset Geertz, kalau dapat dipandang demikian, tentang “agama” Jawa ialah karena kecerobohannya dalam menilai status pesantren secara simpang siur, dan tidak melihatnya sebagai sebuah tradisi muslim yang besar. Kebesaran tradisi Islam tradisional ini selain karena ia sudah dikenal sejak lama, juga dipandang memiliki ajaran kesamaan yang mampu mencairkan tatanan hirarkis masyarakat, sehingga dapat diintegrasikan ke dalam pola budaya, sosial, dan politik sampai ke daerah-daerah pedalaman Jawa.
Di antara ajaran pesantren tersebut adalah nilai-nilai kemanusiaan dengan akhlakul karimah sebagai cita-cita utamanya yang secara terus menerus dibentuk melalui pemahaman literal tentang ajaran Islam, pola kepemimpinan kiai-ulama, mata pelajaran formal yang digali dari berbagai kitab kuning (literatur Islam klasik), serta pola kehidupan kultural yang terefleksi dari upacara-upacara dan pengalaman keagamaan ataupun kemanusiaan. Pemahaman literal tentang ajaran Islam dalam literatur klasik merupakan sumber pengambilan nilai, dan pola kepemimpinan kiai-ulama adalah model implementasinya dalam kehidupan nyata. Adapun kehidupan kulturalnya merupakan sarana pendidikan humaniora tersendiri yang secara informal telah banyak memberi pengalaman kemanusiaan kepada para santri dan masyarakat pesantren.
Apabila banyak ahli melihat kehidupan masyarakat pedesaan di Jawa dipenuhi dengan nilai-nilai humaniora, maka pemandangan tersebut terbentuk bukan sepenuhnya karena sifat alami dari masyarakat agraris, namun juga merupakan hasil asimilasinya dengan pendidikan humaniora pesantren. Seperti diakui oleh Kuntowijoyo, bahwa melalui pola komunikasi kiai-santri, tradisi pesantren itu terpelihara hingga ke desa-desa. Hubungan antara pesantren dan pedesaan selalu terjaga karena sejumlah santri, yang pada umumnya berasal dari desa, selalu berhubungan dengan kiai sekalipun telah lama meninggalkan masa pendidikan formalnya di pesantren. Selain itu, hubungan pesantren dan nilai-nilai humanioranya itu dengan pedesaan juga terpelihara melalui ikatan persaudaraan tarekat.
Hampir setiap pesantren di Jawa dicirikan dengan keterkaitannya dalam jalinan mata rantai tarekat. Bagi pesantren, tarekat yang kaya dengan nilai-nilai etik dan memiliki tingkat kedisiplinan yang keras merupakan pendidikan humaniora tersendiri yang efektif bagi para santri. Dari bentuk-bentuk hubungan antara guru (mursyid) dan murid (salik) yang bukan saja bersifat kemanusiaan, namun juga spiritual (ketuhanan) karena diikat oleh sebuah perjanjian setia (bai’at) menjadikan tarekat ini sebagai media komunikasi dan sarana dakwah yang sangat kuat dan efektif. Oleh karena itulah, nilai-nilai kemanusiaan pesantren yang sangat kuat diwarnai oleh akhlakul karimah dari gerakan tarekat ini dapat bersemayam di kalangan masyarakat pedesaan.
Kandungan nilai-nilai subkultur pesantren tersebut, menurut Dhofier, sejak awal merupakan kerangka sistem pendidikan Islam tradisional di Jawa, yang memperoleh perhatian besar dari para pengkaji Islam di Indonesia. Bahkan dalam perkembangan kontemporer, pesantren bukan saja menarik perhatian para islamisist namun juga indosianist. Hal terakhir ini disebabkan oleh kenyataan, bahwa tradisi pesantren itu sangat kompleks sehingga ia juga sering dilihat sebagai entitas politik yang sangat besar, karena para kiai sebagai pemimpinnya memiliki pengaruh dan kharisma yang kuat di masyarakat. Karena perkembangan kontemporer Islam di Indonesia yang cenderung diwarnai--sebagai akibat dari fenomena reformasi--oleh isu-isu politik itulah, sehingga jarang sekali orang yang melihat pesantren sebagai medium budaya dalam kehidupan masyarakat Jawa. Suatu fungsi pesantren yang untuk sekarang ini, menurut Abdurrahman, “diredupkan” oleh peranan politiknya.

Baca Selengkapnya »»

Keadilan Gender dalam Islam; (Suatu Epilog Metodologi )

Keadilan gender merupakan persoalan yang penting, bukan karena ia terus diperdebatkan dan ditulis oleh para sarjana, tetapi ruang batin manusia sejak awal memang telah dipenuhi oleh kearifan perenial ini. Manusia selama ia masih manusiawi, nuraninya tidak akan pernah membenarkan berbagai bentuk penindasan terhadap sesamanya. Oleh karena itu, ketika manusia dalam pengalaman eksistensialnya menjumpai kesenjangan antara kaum adam dan hawa pada lingkup ekonomi, sosial, politik, hukum, budaya, dan spiritual, tentu saja menyita perhatian para elite-intelektual mereka. Namun, jauh sebelum perjuangan terhadap kemerdekaan perempuan diproklamasikan oleh masyarakat modern, sebenarnya Islam telah menyerukan agar manusia tidak membuat disparitas gender di antara mereka.


“Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa- bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal”. (QS. al-Hujurat:13)
Pandangan Islam terhadap adanya kaum laki-laki dan perempuan jelas tidak pernah membedakannya dari segi jenis kelamin, melainkan lebih kepada komitmen mereka dalam menegakkan moralitas Ilahiah. Namun, sejauh ini perspektif Islam terhadap persoalan tersebut kurang dipahami dan tidak direpresentasikan secara baik oleh umat Islam sendiri. Tidak sedikit dari para sarjana yang keliru dalam memahami perspektif Islam tersebut, memperkuat asumsi mereka hanya dengan melihat praktek-praktek budaya lokal di berbagai daerah. Bahkan, kesalahan ini semakin lengkap dengan adanya kecenderungan dalam menempatkan pemahaman hukum (juristic interpretations) seolah identik dengan Islam itu sendiri.
Atas dasar kekeliruan itulah, ada suatu dorongan akan kebutuhan untuk mengklarifikasi persoalan ini dalam bingkai sumber-sumber utama Islam. Klarifikasi ini dimaksudkan agar menjadi jelas bagaimana pandangan Islam yang sejatinya mengenai keadilan gender. Bagaimana sebenarnya Islam memposisikan kaum perempuan itu secara terhormat dalam teks-teks sucinya adalah suatu konsep yang perlu dimengerti, dan bagaimana para ilmuwan memahami teks-teks suci tersebut merupakan persoalan selanjutnya. Menurut Nasr Hamid, teks bukan unsur utama dalam membangun peradaban, melainkan dialektika manusia dengan realitas pada satu sisi dan dengan teks pada lain sisi justeru yang lebih menentukan. Apabila teks di sini dapat dipahami sebagai representasi agama, dan hasil dialektika umat dengan teks merupakan manifestasi budayanya, maka ketika mengkaji persoalan diskriminasi gender pada tataran agama, meminjam penjelasan Ninian Smart, diperlukan adanya pembedaan secara vertikal maupun horisontal terhadap agama dan budaya. Secara vertikal, menghendaki agar agama dan budaya itu dibedakan secara substansial. Sedangkan secara horisontal, meniscayakan adanya metodologi atau pendekatan untuk keperluan interpretasi dan pemahaman.
Suatu Kerangka Metodologi
Menempatkan Islam dalam sebuah perbincangan tentang persoalan-persoalan sosial seperti ini bukanlah pekerjaan yang mudah. Upaya tersebut meniscayakan adanya pembedaan secara jelas antara ajaran-ajaran normatif Islam dengan beraneka ragam praktek-praktek budaya para pemeluknya, yang boleh jadi konsisten atau tidak konsisten dengan ajaran-ajaran Islam. Untuk itu, diperlukan pembahasan tentang ajaran-ajaran normatif Islam yang memandang keberadaan dan peran perempuan di masyarakat sebagai kriteria utama dalam menilai praktek-praktek masyarakat muslim dan untuk mengevaluasi kepatuhan mereka terhadap Islam.
Dalam rangka mengidentifikasi makna Islam ini, perlu dibedakan secara tegas antara sumber utama Islam (primary source of Islam)--al-Qur’an dan Sunnah--dengan pemikiran fiqh para sarjana muslim (ulama’) dalam memandang persoalan-persoalan yang spesifik. Selain itu, proses mengeluarkan hukum-hukum dari sumber utama itu juga harus difahami sebagai fungsi kemanusiaan (ijtihadiy). Artinya, bahwa setiap gagasan dan pemikiran yang timbul dari proses interpretasi teks selalu dipengaruhi oleh kondisi kesejarahan, sosial, dan kebudayaan. Dengan demikian, gagasan dan pemikiran manusia itu menjadi tidak bersifat otoritatif dan finalistik dalam pandangan wahyu. Produk ijtihadiy dalam bidang apapun, selama mesin produksinya adalah manusia--siapapun dia--maka sifat kebenarannya tetap saja relatif. Relatifitas gagasan dan pemikiran manusia ini membawa pada konskuensi, bahwa setiap rumusan intelektualisme Islam mengenai persoalan kesejarahan apapun harus selalu diposisikan terbuka terhadap berbagai koreksi dan perubahan.
Di sisi lain, al-Qur’an sebagai sumber pandangan hidup masyarakat muslim pada realitasnya selain memiliki dimensi normatifnya sendiri juga memuat dimensi kesejarahan, sehingga membuatnya dapat diinterpretasi sesuai dengan semangat dan kebutuhan manusia dalam periode sejarah serta konteks sosial manapun. Abdullah Darraz, sebagaimana dikutip Quraish Shihab, menggambarkan keluwesan redaksi al-Qur’an itu bagaikan intan yang setiap sudutnya memancarkan cahaya yang berbeda dengan apa yang terpancar dari sudut-sudut lain, dan tidak mustahil jika seseorang mempersilakan orang lain memandangnya, maka ia akan melihat lebih banyak dari apa yang ia lihat. Arkoun lebih jauh menjelaskan bahwa jika al-Qur’an dapat dibaca, maka tentunya dapat pula ditafsirkan dengan berbagai pendekatan dan cara. Kaum muslim yang berpegang pada satu pembacaan atau penafsiran tertentu saja, sesungguhnya mereka tidak menyadari berbagai kerumitan dalam memahami al-Qur’an dan mengabaikan kedalaman serta kekayaannya. Itu sebabnya, ulama terus melakukan penafsiran terhadap al-Qur’an. Penafsiran yang mereka lakukan dari generasi ke generasi terus pula mengalami perubahan dan perkembangan corak, kodifikasi maupun metodenya.
Oleh karena itu, dalam proses interpretasi terhadap sumber utama Islam di atas setidaknya dapat memperhatikan hal-hal berikut ini:
1. Konteks pernyataan atau perintah di dalam al-Qur’an maupun Sunnah. Terkait dengan al-Qur’an, hal ini mencakup konteks surat maupun ayat seperti yang tercatat, dan juga perspektif umum Islam, ajaran-ajaran, dan pandangan dunianya. Aplikasi yang sama juga dapat diberlakukan pada pembacaan teks-teks sunnah Nabi.
2. Peristiwa pewahyuan, yakni latar belakang sejarah yang menyajikan alasan-alasan atau sebab-sebab utama yang mendasari turunnya wahyu. Hal ini dapat membantu menjelaskan makna suatu ayat dalam al-Qur’an maupun peristiwa atau kejadian yang menyertai pernyataan atau tindakan Nabi Muhammad Saw.
3. Peranan sunnah dalam menjelaskan dan mendefinisikan makna teks al-Qur’an.
Menurut Amina Wadud, agar pembacaan terhadap al-Qur’an memiliki makna bagi kehidupan perempuan di era modern, maka selain pemahaman terhadap konteks saat al-Qur’an diwahyukan, pengertian terhadap komposisi gramatikal teks saat menuturkan pesan, dan teks secara keseluruhan yang menjadi pandangan dunia (weltanschauung) Islam mengenai perempuan juga mesti diperhatikan, sehingga posisi kaum perempuan dalam kitab suci dapat dicerna secara memadai. Kecuali itu, sebagaimana Fazlur Rahman, bagi Amina meskipun suasana umum maupun khusus yang melatari penurunan wahyu berlaku tertentu, namun pesan yang terkandung di dalamnya jelas tidak terbatas pada waktu atau suasana historis tersebut. Agar seorang pembaca dapat mengungkap makna sebenarnya suatu teks dalam al-Qur’an, maka ia harus memahami maksud ungkapan-ungkapan tersebut menurut waktu dan suasana penurunannya.
Untuk dapat memahami makna yang menjelaskan maksud dari prinsip dan ketetapan suatu ayat atau surat dalam al-Qur’an, maka seseorang perlu merujuk kepada sunnah. Salah satu prosedur penafsiran terhadap al-Qur’an yang kerap dilupakan oleh para pejuang feminis modern. Padahal sunnah yang autentik merupakan sumber utama ajaran Islam yang kedua, setelah al-Qur’an. Sunnah memainkan peran penting dalam memberikan arti, menjelaskan, dan mengelaborasi teks al-Qur’an. Misalnya, rukum Islam yang kedua, shalat, disebutkan di dalam al-Qur’an namun tanpa ada perincian tentang tata cara pelaksanaannya. Perincian mengenai tata cara melaksanakan sholat tersebut justru diperoleh dari Nabi Muhammad berdasarkan bimbingan Jibril.
Oleh karena itu, sebagaimana penuturan Badawi, sikap tidak peduli atau mengabaikan terhadap sunnah dapat membawa pada kesalahan yang serius dalam menafsirkan al-Qur’an. Pada saat yang sama, pemaknaan secara literal atau leksikal tentang suatu istilah yang dipakai dalam al-Qur’an mungkin juga bukan merupakan pemaknaan yang tepat jika Nabi telah memberikannya arti tertentu. Kesalahan juga bisa berlipat-lipat ketika pendefinisian secara literal yang keliru diterjemahkan dari teks Arab al-Qur’an yang asli ke dalam bahasa lain, yang boleh jadi kata-kata yang dipakai memiliki konotasinya sendiri.
Pembacaan secara harfiah (literal) dan parsial terhadap teks-teks suci, seperti al-Qur’an dan Hadis telah memberikan kesan terhadap Islam sebagai agama yang turut berpartisipasi dalam pembentukan dan pengabadian budaya patriarkhi yang bias gender. Misalnya, penafsiran terhadap ayat 34 dari Surat an-Nisa’ dan ayat 228 dari Surat al-Baqarah, hampir kebanyakan penafsir klasik maupun modern melegitimasi superioritas kaum laki-laki dalam perspektif Islam. Padahal, jika pengertian kedua ayat tersebut dikon-firmasikan terhadap ayat lainnya dan pada pandangan umum al-Qur’an tentang manusia, maka keduanya sama sekali tidak dimaksudkan oleh Tuhan untuk menegaskan bahwa kaum perempuan berada pada posisi subordinat di hadapan laki-laki, apalagi untuk membenarkan tindakan kekerasan suami pada istrinya.

Baca Selengkapnya »»

Polemik Metodologis dalam Studi Agama

Sebagaimana dirasakan beberapa kalangan akademisi, bahwa penjelasan terhadap agama dalam berbagai literatur kesarjanaan menunjukkan adanya kesulitan yang amat berat. Bahkan, pada beberapa kasus sering penjelasan tentang agama itu justru mendistorsi bagian-bagiannya yang penting dan keliru dalam memberikan makna terhadap gejala-gejalanya. Dalam hal ini, Crapps menuturkan, ketika agama dibawa pada kerangka berfikir abad pencerahan, pemahaman terhadapnya bukan saja telah diatur-atur oleh teori dan metodologi, tetapi juga telah dipotong-potong.
Atas dasar itu, ada sebagian orang yang mempertanyakan akurasi pendekatan ilmiah dalam studi agama, jika hasilnya justru semakin menjauhkan dari hakikatnya. Bahkan, tidak jarang yang menganggapnya sebagai absurdity (kemustahilan) serta tidak menyenangkan. Tidak disukai, karena studi ilmiah agama hanya memberikan efek dingin terhadap apa yang seharusnya hangat dan menggetarkan.


Walaupun begitu, tidak sedikit pula yang optimistis dengan penjelasan ilmiah terhadap agama. Smart misalnya, meskipun masih berusaha memahami keraguan tersebut, ia tidak bisa membenarkannya. Baginya, kesan dingin itu muncul karena pendekatan dimana seorang sarjana berurusan dengan agama, secara ilmiah namun hangat, belum sepenuhnya dipahami. Smart menegaskan bahwa ilmu pengetahuan itu harus sesuai dengan obyeknya. Misalnya, ilmu-ilmu humaniora harus berurusan dengan perasaan batin, karena manusia tidak bisa dipahami jika sentimen-sentimen dan sikapnya tidak dipahami pula.
Oleh karena itu, menurut Amin, diperlukan prasyarat tertentu atau training yang memadai dalam melakukan studi ilmiah tentang realitas keberagamaan manusia. Namun, Amin segera menggaris-bawahi bahwa perlunya pendekatan keilmuan terhadap fenomena keberagamaan manusia, tidak dengan sendirinya meniscayakan neutral value dalam studi agama. Sebaliknya, studi ilmiah terhadap agama perlu memihak pada tatanan nilai kehidupan kemanusiaan universal yang damai, sejuk, ramah dan berbobot spiritual-keagamaan.
Pandangan seperti ini diperlukan agar studi keislaman tidak terbawa-bawa kembali pada suatu pandangan sekuler yang melandasi studi keagamaan pada masa-masa enlightenment. Di mana semua fenomena keagamaan (termasuk keimanan) dipahami sebagai bentukan sosial, sehingga implikasinya keberadaan suatu agama ditentukan oleh faktor-faktor sosial, budaya dan sejarah yang menyertainya. Ini yang dimaksud oleh Peter Berger, sebagai hasil dari studi agama yang menggunakan pendekatan methodological atheism.
Pada konteks ini, Charles J. Adams menunjukkan kecermatan-nya dengan mengisyaratkan perlunya pendekatan filologi dan sejarah, keilmuan sosial dan fenomenologi, tetapi tanpa menafikan pendekatan “normatif” atau keagamaan.
Menurut Yinger, selama ini studi agama sering terbentur pada rintangan pertama, yaitu problem definisi (many studies of religion stumble over the first hurdle, the problem of definition). Oleh karena itu, langkah pertama yang ditempuh Adams dengan menjelaskan terlebih dulu istilah kunci, yakni Islam dan agama, merupakan pilihan yang tepat. Salah seorang staff pengajar Institute of Islamic Studies, McGill University ini menjelaskan konsep agama dari dua perspektif, yakni inward experience dan outward behavior.
Dengan dua perpspektif ini, Adams tampak berupaya mengurangi sedapat mungkin pendefinisian agama yang reduksionis. Pendekatan ini terbukti memang cukup efektif untuk mencakup beberapa dimensi agama yang dikemukakan oleh tokoh-tokoh lain. Di antaranya, analisis religion commitment Glock dan Stark, bahwa keberagamaan seseorang muncul dalam lima dimensi, yakni ideologis, intelektual, eksperiensial, ritualistik dan konsekuensial. Perspektif Adams di atas mencakup kelima dimensi keberagamaan ini. Termasuk empat dimensi agama dari Ninian Smart, yaitu ritual, naratif, pengalaman dan doktrinal. Begitu juga dengan definisi agama dari Glossop yang diartikan sebagai perhatian manusia (human concern) yang melibatkan lebih dari sekedar muatan intelektual. Agama mencakup perasaan-perasaan, upacara-upacara, praktek-praktek tertentu dan bukan hanya seperangkat kepercayaan. Atau juga dari Yinger, yang mendefiniskan agama sebagai “sebuah sistem kepercayaan dan peribadatan, yang dengan cara itu sekelompok orang berjuang menghadapi problem kehidupan manusia yang tertinggi” (a system of beliefs and practices by means of which a group of people strugle with ultimate problem of human life).
Setelah problem definitif tersebut, studi ilmiah agama dihadapkan pada persoalan teoritis-metodologi. Dalam hal ini, Smart mengingatkan, secara metodologis, teori agama harus bersifat agnostic, dalam arti tidak mengukuhkan dan tidak pula menolak peristiwa transenden maupun yang imanen.
Pandangan Smart ini mengisyaratkan perlunya pendekatan yang tidak semata-mata teologis maupun scientific dalam studi agama. Melainkan sudah semestinya mengarah pada usaha mengkombinasi-kan berbagai pendekatan, yang dalam kategori Adams mengambil tipologi “normatif” dan “deskriptif”. Kombinasi berbagai pendekatan ini pada dasarnya merupakan konsekuensi dari studi ilmiah agama. Dalam pengertian ini, studi agama itu merupakan studi aspektual dan lintas budaya. Artinya, di dalam studi agama harus ada titik temu antara agama dengan aspek-aspek kehidupan manusia, seperti politik, ekonomi, pengalaman keagamaan, nilai-nilai, institusi dan seterusnya. Budaya manusia adakalanya harus bersentuhan dengan agama, dan studi agama harus sering mengkontemplasikan fakta-fakta budaya, politik dan ekonomi.
Menurut Nasr, bahwa yang membangun peradaban umat manusia bukanlah teks, melainkan dialektika manusia dengan realitas pada satu sisi dan dengan teks pada lain sisi. Dari sini lalu timbul kesadaran akan perlunya kombinasi antara “studi teks” dan “kajian tradisi” dalam studi keagamaan. Untuk tujuan ini maka suka atau tidak suka, diperlukan adanya metodologi ilmu-ilmu sosial.
Sejalan dengan Nasr, Smart menyatakan ada tiga model penjelasan dimensional studi agama. Pertama, membedakan agama dan budaya secara vertikal maupun horisontal. Secara vertikal menghendaki agar agama dan budaya itu dibedakan secara substansial. Sedangkan secara horisontal, meniscayakan adanya pendekatan untuk keperluan interpretasi dan pemahaman. Diantara pendekatan itu adalah sosial dan humaniora, seperti sejarah dan filologi. Kedua, persinggungan dengan dimensidimensi sosiologi, antropologi, sejarah, filologi, seni, musikologi dan studi ritual yang lain. Ketiga, dimensi perbandingan. Hal ini diperlukan mengingat ketika berbicara tentang agama dalam beberapa pengertian, kita pasti memerlukan perbandingan, sebab kategori agama yang sebenarnya adalah bersifat lintas budaya.
Adapun secara Antropologis, peneliti harus melihat agama dan praktik-praktik pertanian, kekeluargaan, politik, magic dan pengobatan “secara bersama-sama”. Oleh karena itu, agama tidak bisa dilihat sebagai sistem otonom yang tidak terpengaruh oleh praktik-praktik sosial yang lain.
Atas dasar itu, Barbour dalam bukunya Issues in Science and Religion, mengutarakan perlunya rekonstruksi hubungan antara filsafat, teologi dan studi agama. Sebab, selama ini ketiganya terbiasa sibuk dengan dunianya masing-masing. Kurang ada kesediaan untuk saling menyapa, sehingga perkembangan wacananya tidak melampaui batas spektrum mereka sendiri. Oleh karena itu, diperlukan adanya step point yang mempertemukan langkah mereka.
Studi ilmiah agama merupakan wadah yang tepat bagi perjumpaan berbagai disiplin ilmu dan aliran-aliran filsafat. Terlebih dalam konteks “era baru” yang ditandai dengan mulai besarnya perhatian manusia terhadap persoalan spiritualitas. Pada era yang oleh Harvey Cox diindikasikan dengan munculnya kecenderungan untuk “turning to the East” ini banyak orang di Barat ramai-ramai mencari apa yang disebut dengan The Higher Consciousness.
Dalam konteks itulah, studi keagamaan sepanjang tidak menampilkan bentuk kajian yang bersifat dikotomis-antogonistik, tetapi lebih aspektual, dimensional, komprehensif dan holistis, maka akan memiliki makna signifikan bagi pengembangan ilmu-ilmu keislaman. Melalui bentuk kajian keislaman seperti ini, maka menurut Amin, setidaknya ada beberapa masukan penting. Pertama, dapat meningkatkan kualitas diskursus keilmuan dalam bidang keagamaan yang selama ini sudah berjalan. Kedua, akan membantu menjernihkan duduk perkara kebragamaan manusia. Ketiga, dapat mengantarkan peminatnya memasuki wilayah sosiologi ilmu pengetahuan agama. Keempat, melalui pndekatan sosiologi itu, umat beragama dapat dibantu untuk melakukan struktur fundamental pemikiran teologis yang rigid dan mewaspadai implikasi dan konsekuensinya.
Khusus bagi pengembangan studi keislaman terutama di PTAIN/S, studi keagamaan ini merupakan momentum bagi usaha-usaha intelektual untuk lebih memahami the rich of Islamic heritage. Bagaimanapun, hakikat dan watak Islam berbeda dengan agama-agama dunia mana pun. Terutama, terletak pada persoalan sumber dan kedudukan al-Qur’an sebagai wahyu Tuhan yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. Pada gilirannya, hal ini sangat berpengaruh terhadap perumusan hakikat dan watak kebenaran dalam Islam itu sendiri.
Terutama jika mengingat bahwa dunia Islam sampai hari ini juga belum sepenuhnya berhasil menjawab “ujian epistemologis” yang sangat berat. Bagaimana konsepsi wahyu Tuhan (revelation) mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan di seputar epistemologi, sehingga menjadi pandangan dunia baru yang lebih memadai.
Melalui pendekatan-pendekatan studi keagamaan seperti digagas para intelektual dalam bidang ini akan mendorong studi keislaman segera beranjak dari pendekatan dikotomis-antagonistik menuju dialektis-integralistik. Walaupun demikian, kerja ini pun pada prosesnya akan menjadi persoalan yang sangat rumit. Setidaknya jika menggunakan kerangka penjelasan Waardenburgh, kerumitan itu muncul dalam dua hal. Pertama, dalam melakukan penjarakan atau objektivasi terhadap objek kajian. Kedua, adanya aspek-aspek sakral, suci dan agung di dalam agama. Menempatkan aspek-aspek sakral agama ini pada posisi neutral jelas akan dianggap sebagai bentuk reduk-sionisme agama.
Oleh karena itu, meskipun studi keagamaan ini memberikan makna yang positif bagi perkembangan studi keislaman ke depan, masih diperlukan kesabaran dan kehati-hatian dalam menjalankannya. Keberagamaan muslim yang terus mengalami ongoing process pada saatnya juga akan sampai pada kesadaran akan pentingnya sebuah perubahan.

Baca Selengkapnya »»

  ©by M. Lutfi Mustofa 2009

Kembali ke ATAS