Selamat Datang dalam Web Kajian Islam Ala Indonesia (KIAI)

TRADISI PERGURUAN TINGGI: Merawat Suasana Akademik dengan Budaya Menulis

Dalam suatu perjalanan ke luar kota bersama Pak Imam—sapaan akrab Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim Malang—beberapa bulan yang silam, ada satu di antara banyak topik pembicaraan yang mengesankan dan masih segar di ingatan saya. Peraih penghargaan Musium Rekor Indonesia (MURI) sebanyak tiga kali tersebut kala itu berujar, “menulis sesungguhnya bersifat niscaya bagi setiap orang, karena mereka hidup bersama orang lain dengan menggunakan alat komunikasi yang disebut bahasa. Sederhananya, di dalam bahasa itu ada sejumlah huruf, kata, kalimat, gagasan, dan pesan-pesan. Nah, semua itu manakala berdiri sendiri-sendiri, maka tidak akan pernah membentuk pengertian-pengertian. Oleh karena itu, agar kelangsungan hidup masyarakat manusia ini bisa terus dipelihara, lanjutnya, maka anasir bahasa tersebut harus disatukan dan dipertemukan, sehingga masing-masing bisa saling ‘beranak-pinak’ dan membentuk hubungan-hubungan dan pola-pola bahasa yang bisa dimengerti dalam kehidupan bersama”. Sampai di sini, kemudian saya teringat pada nasehat para pinisepuh, jika ingin mencari pasangan hidup lihatlah yang bersangkutan—salah satunya—dari tutur bahasanya, karena ia adalah cermin kepribadiannya. Jika pitutur ini dapat dibenarkan, maka kemampuan seseorang dalam merangkai kata untuk menyampaikan gagasan dan pesan secara lisan atau tulisan, dengan demikian, adalah salah satu faktor yang ikut menentukan derajat mobiltas dan akseptabilitasnya sebagai makhluk sosial.


Menjadi Akademisi Menjadi Penulis
Khususnya dalam konteks pendidikan tinggi, seni merangkai kata dan menuangkan gagasan dalam bentuk tulisan adalah satu kualifikasi yang selayaknya dimiliki oleh setiap individu. Perguruan tinggi, semisal UIN Maliki Malang ini, sebagai lembaga akademik akan dinilai dari tingkat keahliannya dalam menciptakan suasana dimana setiap individu memiliki kesempatan untuk menerima dan menyampaikan gagasan atau pemikirannya, dan sekaligus mengujinya secara jujur dan terbuka. Indikator suasana akademik semacam ini yang utama ditunjukkan oleh kualitas tulisan ilmiah civitas akademikanya, terutama dosen dan mahasiswa, di dalam maupun di luar kampus.
Perguruan tinggi dengan ragam jenis dan fungsinya, apakah universitas, institut, sekolah tinggi, akademi, ataukah politeknik adalah a higher level of school, yang mencerminkan makna kebesaran. Dalam arti, besar lembaganya, besar jumlah dosen dan mahasiswanya, besar biayanya, besar cita-citanya, dan tentu saja besar juga tanggung jawab dan amanah yang melekat padanya. Dalam suatu adagium kuno dinyatakan, cita-cita dan karunia besar yang dianugerahkan Tuhan kepada siapapun dan apapun akan senantiasa disertai dengan tanggung jawab yang besar pula. Jadi, manakala hari ini atau kapanpun diri kita telah menjadi—maupun dipandang orang lain—besar, maka harus segera disadari bahwa di situ bersemayam makna sebuah tanggung jawab.
Senyatanya, mengelola suatu kebesaran (nama besar) jauh lebih sulit dan membutuhkan kearifan bila dibanding dengan mengampu sesuatu yang kecil. Dalam konteks perguruan tinggi, terlebih yang menyandang nama agama, kata “besar” tersebut juga berhubungan dengan sejumlah kepentingan yang menyertainya, mulai dari institusi kampus, masyarakat, pemerintah, bahkan agama itu sendiri. Nah, Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN)—semisal UIN, IAIN dan STAIN—secara menejerial mengisyaratkan kompleksitas gagasan, pemikiran, ketrampilan, kompetensi, dan kualifikasi akademik lainnya yang diperlukan dalam memenuhi tanggung jawab tersebut.
Menjadi akademisi harus pula menjadi penulis adalah suatu klaim yang memang sepatutnya ditujukan pada segenap insan perguruan tinggi, mengingat antara mereka dan kampus adalah bagian yang tidak dapat saling dipisahkan. Civitas akademika tumbuh dan besar di dalam kampus dan telah menetapkan komitmen pengabdian untuk mengembangkan ilmu dan menjaga nama baik perguruan tingginya. Oleh karena itu, dalam perjalanannya ke depan dosen dan mahasiswa selazimnya senantiasa mempertalikan dirinya dengan idealisme perguruan tinggi. Artinya, menjadi dosen dan mahasiswa yang sempurna harus benar-benar mengerti visi dan misi perguruan tinggi, juga mesti mengerti apa yang ingin diraih dan dicita-citakannya. Menjadi akademisi UIN Maliki Malang bukan sekadar menobatkan diri menjadi mahasiswa dan tenaga pendidik atau menyandang gelar akademik dan sertifikat dosen, lebih dari itu yang bersangkutan juga seyogyanya mengerti jati diri UIN Maliki Malang sebagai PTAIN. Jika tidak, maka akademisi serupa bukan akademisi sejati, karena yang bersangkutan layaknya sebutan Islam KTP, yang mengaku beragama tetapi sesungguhnya tidak pernah memahami dan menjalankan makna-makna terdalam dari agamanya.
Tetapi, kita layak memuji syukur alhamdulillah, bahwa di kampus UIN Maliki Malang ini para pimpinan, dosen, dan mahasiswa masih memiliki kesadaran yang tinggi tentang arti menjadi seorang akademisi. Rektor, dengan aktivitas dan tanggung jawabnya yang sangat besar, masih mampu memberikan semangat dan tauladan menulis secara istiqamah, setiap hari, dan di-upload di website. Para dosen dan mahasiswa juga telah digerakkan secara massif untuk menulis buku dan melakukan penelitian yang hasilnya tentu saja tidak dapat dipandang sebelah mata. Bahkan, tidak sedikit di antara mereka yang buah pikirannya telah menjadi konsumsi publik melalui media cetak dan situs pribadi mereka di dunia maya, dimana gagasan dan pemikiran mereka telah diakses dan dijadikan referensi masyarakat internasional. Dalam setiap kesempatan, dosen dan mahasiswa juga beberapa kali telah menempati posisi terbaik dalam ajang lomba karya tulis ilmiah di tingkat nasional dan regional. Fenomena UIN Maliki Malang ini merupakan gejala positif yang akan menjadi tonggak kebangkitan kembali intelektualisme Islam seperti pernah muncul di Timur Tengah, Eropa, Asia, dan Afrika pada kurun abad ke 7-14 M. yang silam.
Perguruan Tinggi dan Akademik: Seperti Jasad dan Ruh
Jadi, salah satu indikasi yang membedakan perguruan tinggi dengan sekolah dan lembaga-lembaga sosial lainnya sekali lagi adalah adanya suasana yang menjamin setiap orang di dalamnya untuk menerima dan menyampaikan gagasan dan pemikiran, serta sekaligus mengujinya secara jujur dan terbuka. Hanya atas dasar ketersediaan suasana seperti inilah, suatu perguruan tinggi, apapun jenisnya, dapat disebut sebagai lembaga akademik. Atas dasar itu, orang-orang yang saling berinteraksi di dalamnya berdasarkan norma, kaidah, nilai, dan aturan-aturan tertentu dinamakan dengan insan akademik atau civitas akademika. Adapun sistem etika yang mendasari interaksi dan komunikasi di antara penghuni perguruan tinggi itu disebut dengan etika akademik. Bertolak dari semuanya itu, maka siapapun yang merasakan suasana tersendiri di dalam suatu kampus yang sarat dengan kreativitas, produktivitas, rasionalitas, moralitas, dan estetika, maka itulah cerminan suasana akademik yang seharusnya memancar dari perguruan tinggi. Hubungan antara perguruan tinggi dengan akademik seperti ini bisa diibaratkan dengan jasad dan ruhnya.
Gambaran mengenai jasad tanpa ruh, sebagaimana kita ketahui dalam kenyataan, sebaik dan segagah apapun dia, maka setiap orang hanya mengenalinya sebagai mayat atau jenazah. Di dalam ajaran Islam, perlakuan yang baik terhadap jenazah adalah dengan sesegera mungkin memakamkannya di tempat “peristirahatan” yang terakhir. Sebaliknya ruh, tanpa jasad tidak akan eksis dan tidak dikenali oleh orang-orang terdekatnya sekalipun, semasa hidup di alam kenyataan. Begitu juga dengan akademik sebagai ruh perguruan tinggi, jika ia bersemayam pada diri individu-individu di luar kampus, maka ia—setidaknya pada bagian besarnya—hanya dikenal masyarakat sebagai milik pribadi, bukan lembaga tempat ia mengabdi di perguruan tinggi.
Semua masyarakat mengetahui, bahwa dalam konstalasi pendidikan nasional, PTAI sejak kelahirannya telah berfungsi sebagai lembaga keilmuan dan sekaligus keagamaan. Sampai sekarang fungsi tersebut masih tampak nyata dan menjadi ciri khasnya. Sebagai lembaga keilmuan, ada tiga hal utama yang menjadi misi PTAI, yang dikenal dengan tri dharma perguruan tinggi, yaitu melaksanakan pendidikan dan pengajaran, penelitian, dan pengabdian pada masyarakat. Sedangkan sebagai lembaga keagamaan, misi utama PTAI adalah memelihara dan mengembangkan nilai-nilai keislaman sebagai fondasi keilmuan dan kehidupan berbangsa dan bernegara dalam konteks keindonesiaan.
Dengan demikian, dosen dan mahasiswa sebagai unsur utama civitas akademika di dalam PTAIN, memiliki beragam peran, dari peran sebagai akademisi, pendidik, peneliti, sarjana, dan agamawan, hingga pembimbing utama masyarakat menuju kemajuan dan perkembangan. Dosen dan mahasiswa adalah saka guru masyarakat, yang harus siap tampil secara mandiri maupun kelembagaan dalam mengelola basis sosial PTAIN (masyarakat, madrasah, masjid, pesantren, dan lain-lain). Dalam sejarahnya, kebesaran PTAIN dibangun dan dikembangkan oleh civitas akademikanya, dibantu dan didukung oleh pemerintah dan masyarakat. Melalui berbagai kegiatan yang bersifat simbiose mutualistis dengan pemerintah dan masyarakat itulah PTAIN memiliki peran yang signifikan dalam proses pembangunan bangsa dalam mewujudkan masyarakat Indonesia yang terdidik dan berperadaban.
Berdasarkan atas peran dan posisi strategis PTAIN dalam kehidupan sosial-kemasyarakatan tersebut, maka dosen dan mahasiswa harus senantiasa istiqamah menghayati dan melaksanakan makna-makna akademik, sebagai ruh kehidupannya. Civitas akademika yang tidak mau atau tidak mampu menghayati dan melaksanakan ruh akademik ini, maka mereka akan tereliminasi dengan sendirinya dari masyarakat, baik di dalam maupun di luar perguruan tingginya. Oleh karena itu, harus segera disadari bahwa menjadi insan akademik sesungguhnya tidaklah mudah, tidak sekadar mengaku atau mendapatkan pengakuan sebagai dosen dan memiliki kartu identitas mahasiswa. Seseorang yang terlanjur mendapatkan identitas sebagai dosen dan mahasiswa PTAIN, harus bisa dijadikan panutan dalam bidang keagamaan, memiliki wawasan keilmuan yang luas, berbudi pekerti luhur, dan profesional di bidangnya. Wallahu A’lam bi al-Shawab

Baca Selengkapnya »»

  ©by M. Lutfi Mustofa 2009

Kembali ke ATAS