Selamat Datang dalam Web Kajian Islam Ala Indonesia (KIAI)

Membangun Mutu Akademik: Belajar dari Tradisi "Kritik Psikologi"

Empirisis ternama di era Barat modern, Francis Bacon (1561-1626), pernah berujar “what is founded on nature grows and increases, while what is founded on opinion varies”. Adagium filosofis ini mengingatkan civitas akademika di setiap perguruan tinggi, tidak terkecuali Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim Malang, bahwa kunci pertumbuhan dan kemajuan ilmu pengetahuan terletak pada kesanggupan para dosen dan mahasiswanya untuk menyediakan ruang yang cukup luas bagi lahirnya beraneka ragam pendapat, gagasan, dan pemikiran.

Warna-warni (heteroglossia) pemikiran tersebut dalam sejarah perkembangan ilmu pengetahuan terbukti telah memainkan peranan penting dalam menyediakan alat intelektual yang sangat membantu perkembangan beberapa disiplin ilmu. Misalnya, dalam kancah perbincangan Psikologi, gerakan intelektual semacam itu telah melahirkan kesadaran untuk mengabsahkan perbedaan dan bahkan kontradiksi epistemologis, ontologis, hingga pandangan dunia etika-politis yang turut menentukan kemajuan Psikologi sejak paroh kedua abad ke-18 hingga abad ke-19 M. Tidak sedikit tokoh-tokoh Barat ternama bermunculan di akhir abad ke-19 berikut karya-karya dan pengikut utama mereka, seperti Imanuel Kant, F. A. Lange, Johanes Muller, Wilhelm Dilthey, Karl Marx, Lev Vygotsky, dan Klaus Holzkamp. Jadi, di sinilah terletak rahasianya, kenapa perguruan tinggi disebut sebagai lembaga akademik, karena dia dipandang sebagai arena perhelatan masyarakat terdidik atau berilmu yang sanggup untuk--bukan hanya menyampaikan kebenaran--tetapi juga bersedia mendengarkan pendapat dan pandangan orang lain yang memiliki pula peluang atas kebenaran.
Sejarah perkembangan disiplin Psikologi menunjukkan, bahwa kemajuan-kemajuan yang dicapai selama paling tidak dua ratus tahun, bukan hanya dapat dilihat dari adanya akumulasi fakta-fakta, penyelesaian masalah, induksi, dan eksplanasi atas berbagai anomali pengetahuan, tetapi lebih dari itu dinamika kajian di kawasan lain seperti Sosiologi, Politik, dan Ekonomi merupakan faktor-faktor yang secara signifikan turut mempertajam pemahaman teoritis dan dinamika praktis dalam disiplin Psikologi. Tokoh-tokoh penting bagi kemajuan Psikologi di atas sebenarnya bukan para sarjana yang lahir dari rahim disiplin ini, sebaliknya mereka adalah pemikir-pemikir eksternal yang juga menekuni bidang ilmu sosial lainnya. Pengalaman serupa termasuk yang dialami oleh masyarakat Muslim di era dan di belahan dunia yang lain, tepatnya di abad ke-9-14 M. di Timur Tengah. Di tengah-tengah peradaban Mediteranian inilah disiplin Psikologi mengalami kemajuan yang sangat pesat melalui pemikiran tokoh-tokoh agama yang ahli di bidang filsafat dan ilmu pengetahuan. Ibnu Sina, al-Razi, Ibnu Miskawaih, al-Ghazali, al-Halabi, Ali bin Abbas, al-Jaghmini, al-Jurjani, dan lain-lain merupakan figur-figur agamawan dan juga intelektual yang telah memperkaya khazanah Psikologi melalui masterpiece mereka masing-masing, sebagai hasil dari proses kritik dan pergumulan intelektual selama berabad-abad.
Oleh karena itu, S. J. Gould (1996:25) pernah mengisyaratkan tentang pentingnya tradisi kritik dalam ilmu pengetahuan, karena ia memang dapat mendorong ke arah kemajuan, “science moves forward as much by critiquing the conclusions of others as by making novel discoveries”. Dalam sejarah perkembangan disiplin Psikologi, tradisi ktitik dimaksud telah menjadi suatu usaha positif yang mampu menyediakan alat intelektual dalam mengidentifikasi kesalahan-kesalahan dan menyediakan gagasan-gagasan tentang bagaimana kekurangan dalam disiplin ini dapat dikaji. Beberapa usaha yang telah dilakukan oleh para tokoh ilmu sosial di atas telah mampu menciptakan mazhab “Kritik Psikologi” tersendiri yang sekalipun tidak menjadi arus utama (mainstream) dalam pembelajaran Psikologi di kebanyakan perguruan tinggi, namun mampu menyajikan suatu landasan berfikir atau kajian baru atas kelemahan teori-teori Psikologi (metatheoretical task) dan membuka program-program penelitian yang baru di belantara kajian Psikologi. Mazhab Kritik Psikologi dimaksud di antaranya adalah Marxist, Feminist, Postmodern, dan Postcolonial. Jadi tradisi Kritik Psikologi dapat dipahami sebagai kewajiban intelektual (intellectual obligation) yang mengacu pada kegiatan refleksi secara jujur dan terbuka, sehingga Psikologi sebagai suatu disiplin memiliki kesanggupan untuk menyelami berbagai permasalahannya, bahkan ketika berbagai jalan keluar dari persoalan-persoalan tersebut tidak tersedia di dalamnya.
Bertolak dari pengalaman-pengalaman yang terjadi dalam tradisi kritik Psikologi seperti itulah, maka manakala dilakukan refleksi terhadap usaha membangun mutu akademik di UIN Maliki Malang dapat diambil beberapa pelajaran penting. Pertama, perguruan tinggi, sebagai lembaga akademik, hanya akan memiliki keunggulan apabila di dalamnya tersedia suasana yang menjamin setiap civitas akademikanya untuk menyampaikan dan menerima pendapat, gagasan, pemikiran, dan ilmu pengetahuan, serta sekaligus mengujinya secara jujur dan terbuka. Kedua, kekuatan perguruan tinggi, sebesar apapun reputasinya di mata masyarakat, tetapi jika dosen dan mahasiswanya ternyata tidak mampu menujukkan kemandirian atau otonomi intelektualnya, maka kebesaran tersebut tidak akan pernah bertahan di tengah gencarnya perubahan sosial. Ketiga, sejarah perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya disiplin Psikologi, telah membuktikan bahwa terjadinya pergeseran pola pikir atau paradigma keilmuan bukan menjadikannya terpuruk, sebaliknya justru telah turut memperkokoh tradisi dan kesanggupannya dalam menjawab berbagai persoalan. Oleh karena itu, manakala pertumbuhan dan perkembangan disiplin Psikologi tersebut digerakkan oleh para tokoh utama intelektualnya, maka kemajuan dan keunggulan UIN Maliki Malang kedepan tentunya juga mengandaikan hadirnya top leader yang memiliki kapasitas sebagai seorang intelektual yang memiliki daya juang dalam melakukan pembaruan dan menciptakan kesempatan pada pihak lain untuk berfikir dan berbuat. Sikap tersebut merupakan refleksi dari integritas dirinya sebagai seorang intelektual serta keluasan kedalaman pengetahuannya atas dunia pendidikan tinggi yang sarat dengan muatan keilmuan. Wallahu a’lam bi al-shawab.

Baca Selengkapnya »»

  ©by M. Lutfi Mustofa 2009

Kembali ke ATAS