Setiap masyarakat dalam kehidupannya senantiasa dipenuhi oleh nilai-nilai, aturan-aturan, dan sistem kepercayaan yang mampu membentuk pola berfikir dan berperilaku para anggotanya. Dalam kehidupan sosial, biasanya seperangkat nilai, aturan, dan kepercayaan itu akan teralirkan dari satu generasi ke generasi melalui suatu proses sosialisasi yang pada akhirnya membentuk suatu tradisi di tengah masyarakat. Itu sebabnya, sebagai suatu konsep sosio-logis, tradisi biasa diartikan meliputi pandangan dunia (worldview) yang terkait dengan nilai-nilai, aturan-aturan, sistem kepercayaan, dan pola berfikir masyarakat dalam keseluruhan tata cara hidupnya.
Masyarakat muslim adalah suatu kelompok masyarakat yang dikenal memiliki akar-akar tradisi yang kokoh, karena Islam yang mereka peluk menjadi bagian dari mata rantai sistem kepercayaan universal yang telah ada--mungkin--ratusan abad sebelumnya, sejak masa Nabi Adam. Pandangan ini didasarkan pada penegasan berbagai surat di dalam al-Qur’an, bahwa para nabi dan rasul terdahulu mewariskan paham Ketuhanan Yang Maha Esa (tawhid) kepada umatnya masing-masing sebagaimana Nabi Muhammad mengajarkannya pada umat Islam. Kokohnya akar tradisi ini juga dikarenakan al-Qur’an secara tegas memerintahkan orang-orang Islam agar menjadikan tawhid sebagai titik temu (kalimah sawa’) dan pandangan hidup bersama di antara sesama agama samawi. Dengan kata lain, Tuhan menegaskan kepada umat Islam agar terus menghidupkan tauhid itu sebagai akar-akar tradisinya, yang menjadi sumber nilai, aturan, norma, dan landasan kepercayaan hidup di berbagai fase sejarah dan dalam sistuasi sosio-kultural apapun.
Bagi umat Islam, tauhid memang merupakan kesadaran beragama yang paling fundamental, sehingga aktivitas apapun dalam kehidupan mereka harus senantiasa dinafasi oleh prinsip dan semangat tersebut. Dalam banyak literatur sejarah disebutkan bahwa keberhasilan umat Islam mengembangkan dakwah dan kekuatan peradabannya pada abad ke 7–14 M. tidak terlepas dari kuatnya semangat mereka untuk mempertahankan citra tauhid tersebut. Sebaliknya, ketika pamor peradaban Islam pada akhir abad pertengahan telah meredup, bahkan sebagian orang mungkin menganggapnya telah mati, maka tidak sedikit para ahli dunia Islam yang melihat salah satu faktornya ialah karena melemahnya kekuatan tauhid itu dalam kesadaran hidup masyarakat muslim.
Sebagai pandangan dunia yang ditawarkan oleh Tuhan sendiri, tentu di dalam tauhid itu terdapat kekuatan yang maha dahsyat, apabila sejumlah nilai, ajaran, dan semangat yang ada di dalamnya dilaksanakan sepenuhnya dan sungguh-sungguh. Selain itu, Islam sebagai suatu agama yang secara tegas mendeklarasikan tauhid sebagai fondasi keimanan juga menjamin kebahagiaan dan kesejahteraan hidup seluruh umat manusia, ketika seluruh ajaran-ajarannya dilaksanakan secara konsisten. Perkembangan masyarakat muslim, sebagaimana ditengarai oleh para pemerhati dunia Islam, setidaknya bisa dijadikan saksi sejarah mengenai relevansi pandangan dunia tauhid sebagai kekuatan dalam peradaban umat manusia.
Bagi umat Islam, semangat tauhid yang terkemas dalam ungkapan persaksian berbentuk negasi-konfirmasi (la ilaha illallah, yang artinya tidak ada Tuhan selain Allah) seharusnya memang dapat menjadi kekuatan mereka dalam menjawab berbagai tantangan sejarah dan problematika sosial, sebab ia memiliki makna esensial, yaitu membebaskan manusia dari berbagai bentuk otoritas dan petunjuk yang datang dari selain Allah. Dengan mengatakan la ilaha illallah, maka yang semestinya ada dalam kesadaran seseorang adalah, bahwa hanya Allah yang memiliki kemutlakan dan segala bentuk nilai atau kualitas yang bukan milik-Nya adalah nisbi. Dengan kata lain, tauhid menghendaki kepada setiap muslim agar menjadikan Allah semata sebagai pusat kesadaran spiritual, individual, sosial, moral, maupun intelektualnya. Kesetiaannya kepada Allah seyogyanya melampaui segala-galanya. Ketaatan, kepasrahan, cinta, pengabdian, dan kemauan yang keras semuanya dialirkan sejalan dengan kehendak dan tuntunan-Nya.
Al-Faruqi setidaknya menemukan dalam pandangan dunia tauhid itu adanya tiga prinsip dalam memahami realitas, kebenaran, dan sejarah umat manusia. Pertama, bahwa yang ada (being) atau realitas itu secara umum hanya terdiri dari dari dua jenis, yaitu Tuhan dan selain Tuhan. Di dalam Islam, realitas yang pertama sudah jelas, Dia adalah Allah yang Mahamutlak, Mahakuasa, Mahaesa, dan tidak ada sekutu bagi-Nya. Sedangkan realitas selain Tuhan yang dimaksudkan adalah segala ciptaan-Nya yang bersifat materi maupun immateri seperti manusia, tumbuhan, hewan, tata surya, jin dan malaikat, surga dan neraka, serta segala sesuatu yang bersifat menjadi, karena apa pun esensinya mereka itu adalah ciptaan. Dalam perspektif tauhid, kedua jenis realitas tadi sejauh menyangkut wujud, ontologi, atau eksistensinya adalah mutlak berbeda, sebab Pencipta secara ontologis tidak dapat dirubah menjadi makhluk, dan sebaliknya makhluk juga tidak dapat melampaui dan merubah dirinya menjadi atau merasa sebagai Pencipta. Inilah yang dimaksudkan oleh al-Faruqi dengan prinsip dualitas.
Kedua, Di antara kedua jenis realitas tersebut terdapat hubungan yang bersifat maknawi yang mensyaratkan adanya kekuatan pemahaman pada diri manusia untuk memahami kehendak mutlak Tuhan yang tertulis di dalam wahyu (al-Qur’an) maupun yang hanya dapat diketahui melalui pengamatan terhadap alam semesta. Manusia untuk keperluan ini sudah dibekali oleh Tuhan dengan suatu faklutas pengetahuan yang memiliki fungsi-fungsi gnosiologis seperti mengingat, membayangkan, membuat alasan, melakukan pengamatan merasakan, memahami, dan seterusnya. Inilah yang dimaksudkan dengan prinsip ideasional.
Ketiga, melalui pemahaman terhadap kehendak mutlak Tuhan yang tertulis dalam firman-Nya maupun yang terbentang nyata di alam raya seorang muslim diharapkan dapat menangkap hakekat makro-kosmos yang tidak lain adalah adanya tujuan (teleologis) yang mendasari keberadaannya. Bahwa segala yang ada dan gerak-gerak di alam semesta ini terlaksana demi melayani tujuan Penciptanya dan melakukannya sesuai rencana-Nya. Tanpa adanya prinsip teleologis tersebut maka tidak mungkin adanya segala sesuatu di alam ini berada pada kondisinya yang teratur, memiliki jarak dan ukuran yang tepat, serta sesuai dengan atau memenuhi kebutuhan manusia sepanjang sejarahnya. Atas dasar prinsip ini pula dunia disebut dengan “kosmos”, yakni ciptaan yang teratur, bukan “kekacauan”. Tertib di alam semesta ini, dalam logika kalam kaum Mu’tazilah, memberikan gambaran yang nyata tentang adanya ‘inayah al-Ilahiy yang dipandang sebagai manifestasi dari keadilan Tuhan kepada manusia. Jika demikian, maka harus pula disadari oleh setiap insan tauhid bahwa pemahaman terhadap hukum kosmos pada prinsipnya merupakan suatu keniscayaan guna menangkap pola-pola tujuan, kehendak, dan keadilan Tuhan yang menyatu dalam hakikat segala sesuatu di alam raya.
Al-Qur’an sejak 15 abad yang lalu menegaskan, bahwa penciptaan alam semesta dan pada segala sesuatu yang ada di dalamnya terdapat tanda-tanda kekuasaan-Nya. Satu di antara sekian banyak tanda-tanda itu adalah, bahwa alam semesta dalam realitasnya menampakkan adanya keterkaitan di antara unsur-unsurnya yang membentuk jaringan kesatuan dan kesimbangan melalui hukum-hukum kosmos. Jaringan kesatuan dan keseimbangan antar-anasir alam itu misalnya dapat kita saksikan dalam rotasi benda-benda angkasa yang beredar sesuai dengan orbit atau lintasannya. Bumi yang menjadi tempat tinggal makhluk hidup dan tata surya lainnya masing-masing bergerak saling mengitari pusatnya sejak milyaran tahun yang lalu. Sampai saat ini mereka masih saja beredar sesuai dengan hukum-hukum yang berlaku bagi dirinya tanpa ada penyimpangan sedikitpun.
Menurut Ibnu Rusyd, saling keterkaitan dan kesesuaian hukum-hukum kosmos yang berlaku di alam itu meniscayakan adanya pencipta (fa’il) yang menghendaki tujuan tersebut, sebab tidak mungkin adanya kesesuaian itu terjadi secara kebetulan. Selain itu, seperti penuturan al-Faruqi di atas, al-Kindi jauh sebelumnya pernah menegaskan bahwa segala sesuatu yang ada di alam semesta ini tidak ada yang tercipta secara sia-sia dan bergerak tanpa adanya tujuan. Semuanya, menurut filosof muslim pertama di dunia Arab itu, tercipta dan bergerak sesuai dengan Hikmah al-Ilahiy dan ‘Illah Gha’iyah (sebab tujuan) tersebut, yakni Tuhan itu sendiri. Dari sini, dapat dipahami bahwa saling keterkaitan antar-anasir alam yang membentuk jaringan kesatuan melalui hukum-hukum kosmos itu tidak lain merupakan manifestasi dari ketunggalan sumber dan asal-usul metafisiknya, yaitu Allah Swt.
Oleh karena itu, bagi umat Islam semangat untuk menemukan kebenaran melalui ilmu pengetahuan dipahami sebagai bagian yang tak terpisahkan dari kesadaran tawhid. Di sini, Ilmu pengetahuan diposisikan sebagai salah satu pendekatan yang dapat mengantarkan seseorang sampai pada Keesaan Realitas Transenden, sedangkan kesadaran tawhid merupakan paradigma dari metode ilmiah dalam seluruh wilayah ilmu pengetahuan umat Islam. Dengan demikian, relasi agama dan ilmu pengetahuan di dalam Islam bisa diibaratkan dua sisi mata uang yang berbeda tetapi tidak dapat saling dipisahkan. Penggunaan rasio atau ilmu pengetahuan tidak dapat dipisahkan dari keimanan kepada Allah Yang Transenden, dari ajaran-ajaran, aturan-aturan, nilai-nilai dan prinsip-prinsip umum yang diberitakan kepada manusia melalui wahyu Ilahi. Kecuali itu, ilmu pengetahuan juga dikembangkan dengan mewarisi keseluruhan budaya kemanusiaan setelah dipisahkan benar dari salahnya, baik dari buruknya, atau yang haq dari bathil-nya. Dengan lain ungkapan, sains di dalam Islam sangat memperhatikan agama demikian juga sebaliknya, karena sains merupakan jalan untuk memahami kesatuan realitas kosmos yang telah diberitakan agama.
Dengan kesadaran tawhid dan pendekatan ilmiah itu menjadikan Islam tumbuh sebagai kekuatan peradaban dunia yang secara gemilang mampu menjembatani wilayah-wilayah peradaban lokal menjadi peradaban mondial. Hal ini sebagaimana dinyatakan Nurcholish, bahwa masyarakat Islam adalah kelompok manusia pertama yang merubah ilmu pengetahuan dari sebelumnya bersifat parokialistik, bercirikan kenasionalan dan terbatas hanya pada daerah atau bangsa tertentu menjadi pandangan dunia yang kosmopolit dan universal. Ini terbukti betapa banyak para ilmuwan kelas dunia saat itu lahir dari dunia Islam yang karya-karyanya menjadi “bidan” bagi kelahiran ilmu pengetahuan dan peradaban Barat modern. Dalam hal ini Komaruddin mengingatkan bahwa filsafat Yunani dan kemajuan kajian ilmiah di Barat merupakan kontribusi penting intelektual muslim yang diakui dalam dunia kesarjanaan.
Relevansi Tauhid dalam Struktur Pengetahuan Masyarakat Muslim
1. Makna-makna Tauhid
Istilah tawhid merupakan kata benda kerja (verbal noun) aktif, yakni memerlukan pelengkap penderita atau obyek, sebagai derivasi atau tashrif dari kata wahhada-yuwahhidu yang artinya menyatukan atau mengesakan. Dalam makna generiknya, kata tawhid juga bisa digunakan untuk arti mempersatukan hal-hal yang terserak-serak atau terpecah-pecah. Misalnya, penggunaan dalam Bahasa Arab, tawhid al-kalimah kurang lebih berarti mempersatukan paham, atau dalam ungkapan lain tawhid al-quwwah berarti mempersatukan kekuatan.
Namun, di dalam al-Qur’an tidak dijumpai secara langsung kata tawhid yang dipakai untuk mengungkapkan keesaan Allah. Sebab, kata tawhid ini digunakan sebagai istilah teknis oleh para teolog muslim (mutakallimin) untuk paham Ketuhanan Yang Maha Esa atau monoteisme. Al-Quran hanya menggunakan kata ahad yang diterjemahkan dengan kata esa, terambil dari akar kata wahdat yang berarti kesatuan, seperti juga kata wahid yang berarti satu. Kata ini sekali berkedudukan sebagai nama dan sekali sebagai sifat bagi sesuatu. Apabila ia berkedudukan sebagai sifat, maka ia hanya digunakan untuk Allah Swt. semata.
Menurut Quraish Shihab, kata ahad walaupun dari segi bahasa memiliki kesamaan akar dengan kata wahid, tetapi masing-masing memiliki makna dan penggunaan tersendiri. Kata ahad hanya digunakan untuk sesuatu yang tidak dapat menerima penambahan baik dalam benak apalagi dalam kenyataan, sehingga ketika berfungsi sebagai sifat, kata ini tidak termasuk dalam rentetan bilangan. Berbeda halnya dengan kata wahid (satu) yang dapat ditambah sehingga menjadi dua, tiga dan seterusnya, meskipun penambahan itu hanya dalam benak pengucap atau pendengarnya.
Itulah sebabnya, ketika al-Kindi hendak menyatakan keesaan Allah dengan menggunakan kata wahid, tetapi yang tidak menerima penjumlahan ataupun pengurangan, maka ia menyebut-Nya dengan al-Haqq al-Wahid. Bagi filosof muslim pertama di dunia Arab ini, keesaan Allah memang tidak berkonotasi bilangan, artinya jika dijumlah atau dikurang dengan bilangan lain maka tidak akan menyebabkan terjadinya perubahan pada diri-Nya. Interpretasi lain mengenai makna tauhid tersebut juga tampak dari wacana kaum fuqaha’ (ahli jurisprudensi Islam) teolog muslim, para sufi (ahli tasawuf) maupun filosof muslim. Pada semua kawasan tersebut pemahaman tauhid sangat berkaitan dengan upaya memahasucikan Allah Swt. dari segala sesuatu yang dapat mengotori makna keesaan-Nya. Namun, karena disiplin keilmuan Islam tradisional ini memiliki kerangka berfikirnya masing-masing maka formula konvensional tauhid yang terdapat dalam kalimat la ilaha illallah dipahami dan diberikan arti secara beragam.
Para fuqaha’ cenderung memberikan makna harfiah dengan mengartikan formula tauhid tersebut sebagai “tidak ada Tuhan yang wajib disembah kecuali Allah”. Dengan pengertian seperti ini para ahli jurisprudensi Islam menegaskan kepada kita tentang status kehambaan manusia di hadapan Sang Pencipta. Oleh karena itu, bagi mereka keyakinan terhadap ke-Esaan Allah harus diwujudkan dalam kesungguhan manusia untuk hanya “menghamba” (beribadah) kepada-Nya. Dengan menegaskan status kehambaannya itu di hadapan Allah, maka seseorang akan mencapai posisi yang lebih tinggi dalam derajat kemanusiannya, karena sesungguhnya setinggi apapun status sosial manusia di dunia ini di mata Allah ia adalah seorang hamba. Namun, jika seseorang menghambakan dirinya kepada selain Allah, maka status kemanusiaannya akan jatuh di bawah apa saja yang disembahnya, karena manusia merupakan ciptaan yang paling mulia di antara ciptaan-ciptaan-Nya yang lain, bahkan bisa melebihi malaikat sekalipun.
Adapun para teolog mencoba memasukkan pengertian-pengertian aqliah (rasional) untuk menetapkan keesaan Allah pada dzat dan perbuatan-Nya dalam menciptakan alam semesta. Dalil-dalil rasional ini mereka susun untuk melindungi ajaran akidah Islam dari serangan penganut agama lain, khususnya Kristen, yang telah memperkuat argumentasi ajaran agamanya dengan logika dan filsafat Yunani. Atas dasar itu, tauhid sebagai prinsip ajaran Islam telah membawa para teolog pada suatu pemikiran bahwa Allah harus benar-benar berbeda dari makhluk. Bagi mereka, hal yang paling membedakannya adalah bahwa Tuhan merupakan satu-satunya Pencipta segala yang ada. Dari itu mereka mengartikan formulasi tauhid di atas sebagai “la qadima illallah” (artinya, tidak ada yang qadim kecuali Allah). Kata qadim dalam teologi Islam berarti sesuatu yang wujudnya tidak mempunyai permulaan dalam zaman, yaitu tidak pernah tidak ada di zaman lampau, dan bisa pula mengandung arti tidak diciptakan. Jadi sederhananya, yang qadim itu hanyalah Tuhan, sedangkan alam (segala sesuatu selain Dia) adalah huduts (dalam arti baru atau diciptakan). Kalau alam ini juga qadim, maka akan membawa pada paham ta’addudul qudama’ (berbilangnya pencipta). Dalam terminologi al-Qur’an paham ini disebut dengan syirk atau politeisme, yakni suatu dosa paling besar yang tidak diampuni oleh Tuhan.
Berbeda dengan fuqaha’ dan kaum teolog, para filosof muslim dan sufi memiliki tafsir mereka sendiri mengenai tauhid. Bagi para filosof,
2. Tauhid dan Hakikat Ilmu Pengetahuan dalam Islam
Tauhid sebagai prinsip yang paling utama dalam ajaran Islam memiliki implikasi yang sangat luas bagi keseluruhan pola dan tata cara hidup masyarakat muslim. Dia bukan saja menjadi kerangka keimanan (frame of faith) bagi umat Islam terhadap Allah Swt., tetapi juga merupakan kerangka pemikiran (frame of thought) dalam menemukan hakikat kebenaran mengenai segala yang ada di alam semesta ini pada seginya yang abstrak, potensial, maupun yang konkret. Dengan demikian, tauhid sebagai kerangka pemikiran merupakan suatu dimensi filosofis tersendiri yang sangat relevan dalam usaha memahami hakikat ilmu pengetahuan.
Pemahaman kembali terhadap hakikat ilmu pengetahuan sangat penting mengingat kehidupan umat manusia dewasa ini sedang berada dalam suatu ironi (keterbalikan) di mana kemiskinan, kelaparan dan kebodohan belum juga segera teratasi; jarak antara si kaya dan si miskin semakin tajam; keadilan dan kejujuran semakin menjadi barang langka; serta kebenaran semakin mudah direkayasa di tengah-tengah perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Fakta-fakta kemanusiaan ini tidak sejalan dengan cita-cita (das sollen) ilmu pengetahuan, karena semula ilmu pengetahuan dan teknologi itu dikembangkan justru demi upaya pembebasan dan memudahkan manusia dalam menghadapi dan menyelesaikan masalah hidup mereka.
Ironi tersebut terjadi karena ilmu pengetahuan semakin menjauh dari seluruh pemahaman yang diperoleh secara refleksif, terlebih yang digali dari penghayatan iman, serta memisahkan keterkaitan antara dunia materi dengan non-materi, dunia fisik dengan non-fisik, dan dunia dengan akhirat. Dengan trend semacam ini, maka secara filsafati sebenarnya ilmu pengetahuan dan teknologi telah membawa manusia ke arah pemahaman kebenaran yang semu, bukan kebenaran hakiki. Lebih jauh dari itu, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi juga membawa bentuk keterasingan dan kehilangan kepekaan atas matra ruhani manusia. Manusia menjadi kehilangan kontak ruhaniahnya dengan dirinya sendiri, manusia lain, alam lingkungan, dan dengan sesuatu yang bersifat transenden.
Oleh karena itu, demi mengurangi kecenderungan negatif tersebut diperlukan usaha dan pemikiran yang sungguh-sungguh untuk menegaskan kembali kedudukan tauhid sebagai frame of thought dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Reposisi tauhid ini diperlukan sebagai sarana masyarakat muslim untuk mengutuhkan pemahaman tentang kebenaran yang hendak dicapai melalui ilmu pengetahuan. Kehadiran tauhid di tengah-tengah pluralitas ilmu pengetahuan dan teknologi ini mengandung arti bahwa pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi harus dilakukan dengan pendekatan interdisipliner atau multidisipliner, diamalkan secara etis, dan tidak bebas nilai (not value free). Sebab, jika objek material ilmu pengetahuan tidak lain adalah alam semesta, maka dalam perspektif tauhid semua unsur-unsur alam semesta tersebut dipahami saling memiliki keterkaitan satu dengan yang lainnya, sehingga membentuk jaringan kesatuan melalui hukum-hukum kosmos yang semuanya itu merupakan manifestasi dari ketunggalan sumber dan asal-usul metafisiknya, yaitu Allah Swt.
Dengan kesadaran yang bersumber dari penghayatan tauhid tersebut membawa kita pada fenomena tumbuhnya kesadaran spiritual baru. Bahwa, manusia mulai menyadari apa yang dipelajari dengan teliti melalui ilmu pengetahuan dan teknologi hanya merupakan satu aspek dari realitas hidup sesungguhnya yang jauh lebih kaya. Masih banyak sisi dari kehidupan yang tidak dapat dijelaskan oleh ilmu pengetahuan maupun teknologi. Indikasinya terlihat dari polemik epistemologis yang terus menggugat legitimasi, validitas, supremasi, akurasi, dan kepastian ilmu. Dengan ilmu pengetahuan yang ada sekarang, manusia ternyata masih bergumul dengan masalah-masalah mendasar seperti metron (tolok ukur), problematika Heraklitos-Parmenides (tunggal-jamak, permanensi-perubahan), serta problema Kant mengenai das ding an sich dan ratio pura. Kenyataan ini dikarenakan manusia dengan ilmu pengetahuan yang dimilikinya merasakan adanya sesuatu yang hilang dari eksistensi dirinya, yakni spiritualitasnya. Hossein Nasr dalam Islam and the Plight of Modern Man menegaskan bahwa akibat masyarakat modern yang mendewakan ilmu pengetahuan dan teknologi menjadikannya berada dalam wilayah pinggiran eksistensi dirinya sendiri dan bergerak menjauh dari pusat, karena pemahaman agama yang berdasarkan wahyu mereka tinggalkan dan hidup dalam keadaan sekuler.
Ketika modernisme meletakkan ilmu pengetahuan dan teknologi lebih dominan dari yang lain, serta agama justru diletakkan pada jenjang terendah dalam struktur pengetahuannya, maka sebagai konskuensi logisnya terjadilah pergeseran nilai-nilai yang terkandung di dalam pandangan hidup, sikap dan perilaku hidup masyarakat, dari derajat yang bersifat kualitatif-spiritual menjadi kuantitatif-material. Pada saat kebenaran pengetahuan agama ditempatkan sedemikian rupa, sehingga kedudukan dan fungsinya dianggap kurang signifikan, maka itulah yang menjadi sebab awal timbulnya kesulitan-kesulitan dalam ilmu pengetahuan untuk menjelaskan realitas dalam hidup dan kehidupan manusia dewasa ini. Misalnya, terhadap pertanyaan apa yang sebenarnya dicari oleh ilmu pengetahuan? Jika jawabannya berupa kebenaran positif (yakni yang konkrit, riil, nyata, dan terukur) yang bermanfaat bagi pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari manusia adalah tidak salah. Tetapi, karena sifatnya yang positivistik tersebut, realitasnya ilmu pengetahuan dan teknologi menjadikan manusia sekadar menikmati sebagian dari hidupnya yang lebih bersifat material hedonistik, sehingga kehidupannya menjadi tidak penuh (kurang makna). Bukankah kenikmatan hidup materialistik itu hanya sebagian kecil saja dari kehidupan yang sesungguhnya?
Oleh karena itu, dalam konteks dunia Islam upaya reposisi tauhid dalam struktur pengetahuan masyarakat muslim sangat diperlukan. Agama harus diletakkan kembali sebagai paradigma ilmu pengetahuan, karena justru agama lah yang menjamin pemenuhan kebutuhan hidup manusia seutuhnya, apabila ajaran-ajarannya dilaksanakan sepenuhnya dan secara sungguh-sungguh. Agama dijadikan sebagai suatu kaidah yang membuka pemecahan alternatif yang mengatasi semua konsep rasional semata. Alasannya sederhana saja, masih banyak yang berada di luar batas kemampuan akal rasional manusia, dan berada di luar batas pengalaman keseharian manusia, dan itu juga realitas atau kebenaran itu sendiri.
Sebagaimana penuturan Aristoteles, bahwa segala sesuatu dalam realitas kehidupan ini selalu memiliki substansi (sifat hakiki) dan aksidensi. Jika segala yang ada (baik yang konkret maupun abstrak) bisa dijadikan sebagai sasaran pokok atau tujuan penyelidikan keilmuan, maka sudah semestinya ilmu pengetahuan itu tidak membatasi diri hanya menghasilkan pengetahuan yang bersifat teoritis, praktis, dan tekonologis, tetapi seharusnya juga mampu menghasilkan pengetahuan yang bersifat filosofis-substansial. Pandangan bapak empirisme Yunani kuno ini juga memberikan gambaran kepada kita, bahwa dengan begitu sesunguhnya ilmu pengetahuan sebagai bagian dari yang ada harus pula dipahami dari segi hakikinya (noumena) maupun gejalanya (fenomena). Berkaitan dengan pembahasan mengenai hakikat ilmu dalam Islam ini dapat dilihat pula dari tiga nilai ilmu pengetahuan itu sendiri, yaitu dari nilai ontologi, epistemologi, dan aksiologinya.
Nilai Ontologi: Tauhid sebagai Pusat Kesadaran Ilmiah
Dalam studi filsafat, ontologi biasa diartikan sebagai metafisika umum (generale metafisics) dan sering juga disebut dengan filsafat pertama. Namun sebagian orang ada yang menyebutnya sebagai “pohon” filsafat, atau filsafat itu sendiri. Sebagai pohon filsafat, maka ontologi mempersoalkan tentang sesuatu di balik segala yang ada, sampai pada keadaannya yang paling hakiki. Yaitu, sampai pada suatu titik abstrak tertinggi dari segala sesuatu (an ultimate nature of everything). Pada titik abstrak tertinggi atau hakikat abstrak terakhir inilah segala sesuatu yang berbeda-beda dan terpisah-pisah jenis, bentuk atau sifatnya akan menemukan kesamaannya dan menyatu dalam substansi. Sebagai misal, para filosof muslim seperti al-Kindi, al-Farabi, Ibnu Sina, al-Ghazali, Ibnu Rusyd, dan sebagainya tersatukan dalam kesamaan sebagai manusia. Sedangkan manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan, dan lain-lain yang berbeda-beda dan terpisah-pisah, menyatu dalam substansi abstrak (jenisnya) sebagai makhluk. Demikian juga semua makhluk dengan bahan dasar penciptaannya masing-masing berasal dan akan kembali pada tujuan yang sama, yaitu Tuhan sebagai Causa Prima, Yang Satu, Yang Absolut, Yang Abadi, dan seterusnya.
Tauhid secara tegas mengajarkan kepada umat Islam agar hanya menjadikan Tuhan sebagai pusat kesadaran intelektual mereka.
Dengan demikian, ontologi sebagai suatu cabang filsafat selaras dengan pandangan dunia tauhid bahwa Tuhan sebagai Pencipta merupakan sebab awal dan akhir sebagai kerangka pemikiran (frame of thought) sebenarnya merupakan suatu pusat kesadaran ilmiah yang sangat mendasar, sebab jauh sebelum manusia mampu berteori mengenai titik abstrak tertinggi dari segala yang ada di alam ini, Allah Swt. sebagaimana tertuang dalam al-Qur’an telah mengisyaratkan nilai ontologis tersebut lewat ajaran tentang tauhid.
Baca Selengkapnya »»