Selamat Datang dalam Web Kajian Islam Ala Indonesia (KIAI)

Dialektika Agama dan Sains

Pendahuluan
Sedikitnya ada dua fenomena menarik dalam realitas kehidupan kontemporer. Pertama, ilmu pengetahuan dengan corak empiris dan metode kuantitatifnya cenderung menduduki “peran utama”. Kedua, pada beberapa kalangan mengalami semacam “kegairahan beragama”.
Fenomena pertama, yang sedikit atau banyak dipengaruhi oleh perkembangan positivisme August Comte dengan hukum tiga tahapnya, telah merombak tatanan kehidupan manusia. Dengan metode ilmiah yang ada di dalamnya, pengetahuan manusia telah dibatasi pada obyek yang dihasilkan oleh observasi inderawi semata. Akibatnya, kebenaran suatu pengetahuan hanya dapat dipahami dalam batas perhitungan kuantitatif dan dalam dunia fisik.


Dengan ciri semacam itu, ilmu pengetahuan memang telah membuat banyak kemajuan di berbagai bidang. Misalnya, dengan teknologi sebagai produk utamanya, manusia telah menciptakan “alam kedua”, sehingga hidupnya tidak lagi sepenuhnya berjalan menurut siklus alamiah yang diatur oleh ritme alam. Dengan ilmu pengetahuan dan teknologi pula, manusia mampu menentukan masa depan dengan caranya sendiri. Menurut Charris Zubair, pendek kata manusia sekarang tidak mungkin melepaskan diri dan hidup tanpa teknologi. Bahkan, dalam banyak hal teknologi seolah sudah “mencampuri” urusan yang di masa silam dianggap sebagai wilayah Tuhan dalam penciptaan.
Namun, perkembangan ilmu pengetahuan positif itu masih menyisakan suatu ironi, bahwa kemiskinan, kelaparan dan kebodohan belum juga segera teratasi. Bahkan, jarak antara si kaya dan si miskin semakin tajam, keadilan dan kejujuran semakin menjadi barang langka, serta kebenaran semakin mudah direkayasa. Fakta-fakta kemanusiaan ini tidak sejalan dengan cita-cita (das sollen) ilmu pengetahuan, karena semula ilmu pengetahuan dan teknologi itu dikembangkan justru demi upaya pembebasan manusia dan memudahkan mereka dalam menghadapi dan menyelesaikan masalah hidup. Kesenjangan tersebut terjadi, menurut Charris, dikarenakan gagasan-gagasan positivistik cenderung untuk menyisihkan seluruh pemahaman yang diperoleh secara refleksif, terlebih yang diperoleh dari penghayatan iman. Selain itu, juga adanya kecenderungan memisahkan--untuk tidak mengatakannya menolak--keterkaitan antara dunia materi dengan non-materi, dunia fisik dengan non-fisik, dan dunia dengan akhirat. Dengan kecenderungan semacam ini, maka secara filsafati sebenarnya sains dan teknologi telah membawa manusia ke arah pemahaman kebenaran semu dan bukan kebenaran hakiki. Lebih jauh dari itu, perkembangan sains dan teknologi juga membawa bentuk keterasingan dan kehilangan kepekaan atas matra ruhani manusia. Manusia menjadi kehilangan kontak ruhaniahnya dengan dirinya sendiri, manusia lain, alam lingkungan, dan dengan sesuatu yang bersifat transenden.
Oleh karena itu, demi mengurangi kecenderungan negatif tersebut diperlukan usaha dan pemikiran yang sungguh-sungguh untuk menegaskan kembali kedudukan filsafat ilmu (philosophy of science) dalam perkembangan sains dan teknologi. Reposisi filsafat ilmu ini diperlukan sebagai sarana untuk mengutuhkan pemahaman tentang kebenaran yang hendak dicapai manusia. Dengan begitu, pada gilirannya kedudukan dan fungsi agama dikukuhkan bukan sebagai bersifat ritual-ceremonial belaka, tetapi merupakan puncak dari penemuan manusia atas kebenaran yang sesungguhnya. Filsafat ilmu bertugas mengantarkan manusia menemukan kebenaran yang utuh. Dengan kata lain, filsafat ilmu tidak hendak membangun mazhab ilmu pengetahuan yang tidak dapat mengapresiasi atau mengakui tingkat kebenaran di luar matra duniawi. Wal hasil, manusia tidak perlu lagi dihadapkan pada kebimbangan antara memilih rasionalisme ataukah agama dan pemahaman ilmiah ataukah religius. Sebab, dalam perspektif filsafat ilmu sesungguhnya persoalan “dilematis” semacam itu memang tidak seharusnya terjadi.
Dengan kesadaran yang bersumber dari penghayatan filosofis tersebut membawa kita pada fenomena tumbuhnya kesadaran spiritual baru. Bahwa, manusia mulai menyadari apa yang dipelajari dengan teliti melalui sains dan teknologi hanya merupakan satu aspek dari realitas hidup sesungguhnya yang jauh lebih kaya. Masih banyak sisi dari kehidupan yang tidak dapat dijelaskan oleh sains maupun teknologi. Indikasinya terlihat dari polemik epistemologis yang terus menggugat legitimasi, validitas, supremasi dan kualitas kepastian ilmu. Dengan ilmu pengetahuan yang ada sekarang, manusia ternyata masih bergumul dengan masalah-masalah mendasar seperti “metron” (tolok ukur), “problematika Heraklitos-Parmenides” (tunggal-jamak, permanensi-perubahan), problema Kant mengenai “das Ding an sich” dan “Ratio Pura”. Kenyataan ini dikarenakan manusia dengan sains yang dimilikinya merasakan adanya sesuatu yang hilang dari eksistensi dirinya, yakni spiritualitasnya. Hossein Nasr dalam Islam and the Pligh of Modern Man menegaskan bahwa akibat masyarakat modern yang mendewakan sains dan teknologi menjadikan mereka berada dalam wilayah pinggiran eksistensinya sendiri, bergerak menjauh dari pusat, sementara pemahaman agama yang berdasarkan wahyu mereka tinggalkan dan hidup dalam keadaan sekuler.
Ketika modernisme dengan positivismenya meletakkan ilmu-ilmu positif lebih dominan dari yang lain, maka agama justru terletak pada jenjang terendah dalam struktur ilmu pengetahuan. Ketika kebenaran pengetahuan agama ditempatkan sedemikian rupa, sehingga kedudukan dan fungsinya dianggap kurang signifikan, maka itulah yang menjadi sebab awal tumbuhnya kesulitan-kesulitan dalam ilmu pengetahuan untuk menjelaskan realitas dalam kehidupan manusia dewasa ini. Oleh karena itu, dalam konteks dunia Islam, upaya restrukturisasi ilmu pengetahuan manusia mutlak diperlukan. Agama harus diletakkan kembali sebagai paradigma sains, karena justru agama lah yang mengantarkan manusia pada kebenaran Ilahiyah. Agama dijadikan sebagai suatu kaidah yang membuka pemecahan alternatif yang mengatasi semua konsep rasional semata-mata. Alasannya sederhana saja, masih banyak yang berada di luar batas kemampuan akal rasional manusia, dan berada di luar batas pengalaman keseharian manusia, dan itu adalah kebenaran.
Kedudukan Agama dalam Perkembangan Sains
Pengaruh perkembangan Ilmu pengetahuan (sains) di akhir abad ke-16 telah menciptakan persepsi masyarakat Barat berbeda dari pada saat-saat ditanamkan dasar-dasar paradigmatiknya. Jika filsafat dapat dipahami sebagai manifestasi kegiatan intelektual, maka tradisi ilmiah dalam kehidupan masyarakat Barat modern tidak lain merupakan kelanjutan dari perjalanan panjang kehidupan orang-orang Yunani Kuno.
Dengan demikian, seperti dikemukakan oleh Koento Wibisono , pada awal kelahirannya ilmu pengetahuan yang sesungguhnya identik dengan filsafat itu mempunyai corak mitologik. Pada perkembangan berikutnya, melalui para filsuf pra-Socrates filsafat mengalami demitologisasi dan pada puncaknya berkembang menjadi “ilmu pengetahuan”. Sampai di sini hingga pasca Arsitoteles, meskipun filsafat berkembang menjadi ajaran praktis, namun pada masa Agustinus dan Thomas Aquinas filsafat berjalan seiring dengan agama.
Pertemuan antara filsafat dengan agama tersebut menemukan batu pijakannya, sehingga mendorong lahirnya berbagai bidang ilmu pengetahuan seperti astronomi, kedokteran, psikologi, biologi, aljabar, geometri, arsitektur dan sebagainya, pada saat berada dalam perawatan para fiolosof muslim di abad 9 – 13 M. Perkembangan pesat ini bukan semata-mata dikarenakan potensi dinamis yang terkandung dalam tradisi intelektual Helenisme tersebut, tetapi lebih disebabkan keadaan umat Islam pada saat itu telah memiliki sikap dan semangat berpikir ilmiah yang diwarisi dari ajaran agama. Misalnya, semangat menghormati penalaran, mencari kebenaran dan objektivitas serta penghormatan terhadap bukti-bukti empiris seperti diwarisi dari tradisi Nabi Ibrahim dan Muhammad Saw. Filsafat Yunani di sini hanya berperan mengembangkan isi dan membangun kerangka metodologi ke dalam semangat berfikir intelektual muslim pada saat itu.
Semangat ilmiah para ilmuwan muslim itu, menurut penuturan Osman Bakar, sesungguhnya mengalir dari kesadaran mereka akan tawhid. Bagi umat Islam, kesadaran akan Keesaan Tuhan merupakan kesadaran beragama yang paling fundamental. Sehingga, aktivitas apapun (keagamaan maupun kebudayaan) dalam kehidupan mereka senantiasa dinafasi oleh prinsip dan semangat monotheisme tersebut.
Atas dasar semangat tawhid itu, maka di dalam Islam berlaku pandangan bahwa realitas objektif alam semesta ini merupakan satu kesatuan. Kosmos yang terdiri dari bukan saja berbagai realitas fisik tetapi juga non fisik dipahami saling berkaitan dan membentuk jaringan kesatuan melalui hukum-hukum kosmos sebagai manifestasi dari ketunggalan sumber dan asal- usul metafisiknya, yakni Allah Swt. Dalam Islam, kesatuan kosmos ini merupakan bukti yang jelas akan keesaan-Nya. Oleh karena itu, semangat ilmiah dalam ilmu pengetahuan untuk mencari kebenaran bukanlah sesuatu yang bertentangan dengan agama karena merupakan bagian yang tak terpisahkan dari semangat tawhid. Dengan semangat ilmiah tersebut, ilmu pengetahuan menjadi salah satu instrumen yang dapat mengantarkan seseorang sampai pada Keesaan Realitas Transenden itu sendiri. Sebaliknya, kesadaran tentang Keesaan Allah (tawhid) merupakan sumber dari semangat ilmiah dalam seluruh wilayah ilmu pengetahuan umat Islam.
Dengan demikian, relasi agama dan ilmu pengetahuan (sains) di dalam Islam bisa diibaratkan dua sisi mata uang yang berbeda tetapi tidak dapat saling dipisahkan. Penggunaan rasio atau ilmu pengetahuan tidak dapat dipisahkan dari keimanan kepada Allah Yang Transenden, dari ajaran-ajaran, aturan-aturan, nilai-nilai dan prinsip-prinsip umum yang diberitakan kepada manusia melalui wahyu Ilahi dalam pengertiannya yang paling universal. Kecuali itu, ilmu pengetahuan di dalam Islam juga dikembangkan dengan mewarisi keseluruhan budaya kemanusiaan setelah dipisahkan benar dari salahnya, baik dari buruknya, atau yang haq dari bathil-nya. Dengan lain ungkapan, sains di dalam Islam sangat memperhatikan agama demikian juga sebaliknya, karena ilmu pengetahuan merupakan jalan untuk memahami kesatuan realitas kosmos yang telah diberitakan agama.
Dengan semangat gerakan tawhid dan eksplorasi ilmiah pada awal perkembangannya itu menjadikan Islam tumbuh sebagai kekuatan peradaban dunia yang secara gemilang mampu menjembatani dan menghubungkan wilayah-wilayah peradaban lokal menjadi peradaban mondial. Hal ini sebagaimana dinyatakan Nurcholish Madjid, bahwa masyarakat Islam adalah kelompok manusia pertama yang merubah ilmu pengetahuan dari sebelumnya bersifat parokialistik, bercirikan kenasionalan dan terbatas hanya pada daerah atau bangsa tertentu menjadi pandangan dunia yang kosmopolit dan universal. Ini terbukti betapa banyak para ilmuwan kelas dunia pada saat itu yang lahir dari dunia Islam yang karya-karyanya menjadi “bidan” bagi kelahiran ilmu pengetahuan dan perdaban modern Barat. Oleh sebab itu, dapat dimengerti pernyataan Komaruddin Hidayat, bahwa filsafat Yunani dan kajian rasional-empiris yang berkembang di Barat tidak lain merupakan kontribusi penting intelektual muslim yang diakui dalam dunia kesarjanaan.
Namun, karena berbagai sebab yang cukup kompleks (yang tidak mungkin dibahas di sini) peradaban Islam tersebut tidak dapat dipertahankan oleh masyarakat muslim abad pertengahan. Semangat dan etos ilmiah umat Islam generasi ini perlahan-lahan mulai mengalami pergeseran paradigma. Bahkan, pada saat yang bersamaan pergeseran itu semakin menggejala lalu berubah menjadi perpindahan tradisi ilmiah dari Timur ke Barat.
Filsafat sebagai kegiatan yang bisa dipertanggungjawabkan secara akliah, yang oleh Aristoteles dibagi menjadi ilmu pengetahuan poietis (terapan), ilmu pengetahuan praktis (dalam arti normatif seperti etika dan politik) serta ilmu pengetahuan teoritik, mulai tereduksi dan dikaji bagian yang tersebut belakangan.
Memang, ilmu pengetahuan teoritik dipandang sebagai paling signifikan, yang oleh founding father faham empirisme itu dibagi menjadi ilmu alam, ilmu pasti dan filsafat pertama yang kemudian dikenal sebagai metafisika. Namun, para intelektual muslim kala itu tidak lagi memperhatikan yang lainnya kecuali bagian metafisikanya saja. Bahkan pada bagian yang terakhir ini pun hampir-hampir umat Islam dihadapkan pada polemik berkepanjangan yang akhirnya merasa jenuh lalu menjauhinya sama sekali.
Sebaliknya di Barat, dipelopori oleh gerakan Renaissance pada abad ke 15 kemudian disempurnakan oleh gerakan Aufklarung pada abad ke 18, filsafat Yunani yang dipelajari para sarjana Barat melalui karya-karya para filosof muslim memasuki tahap yang baru dan lebih maju atau modern. Dalam sentuhan tangan dingin “anak-anak” Renaissance dan Aufklarung seperti Copernicus, Galilei Galileo, Kepler, Descartes, Immanuel Kant dan lain-lain filsafat telah memberikan pengaruh yang amat luas dan mendalam terhadap perkembangan pemikiran dan peradaban Barat.
Sebagaimana terjadi di dunia Islam, pemikiran filosofis warisan Yunani itu telah membantu Barat menemukan makna kebebasan dalam kemanusiaannya. Dengan kebebasan itu, terutama dalam pemikiran, perlahan Barat yang pada abad ke-10 jauh dari peradaban intelektual mulai menapak dan merasakan pentingnya proses civilization. Hanya, dikarenakan pengalaman traumatik terhadap gereja yang tidak menyediakan ruang gerak bagi pemikiran di luar Bibel, maka mereka mengarahkan kebebasan itu ke arah hidup “sekuler”. Meminjam pengertian Koento, yaitu suatu kehidupan pembebasan dari kedudukan manusia yang semula merupakan koloni dan sub koloni agama dan gereja.
Dengan arah filsafat yang cenderung pada kehidupan sekuler itu bukan saja mengakibatkan ditinggalkannya agama, tetapi pada konsekuensi radikalnya, bahkan sampai meragukan eksistensi Tuhan. Dalam hal ini indikasi yang paling nyata tercermin dalam pernyataan Friedrich Nietzsche, bahwa setidaknya di dunia Barat “Tuhan telah mati”. Fenomena seperti ini apabila tidak segera disadari maka pada saatnya akan melahirkan dunia tanpa Tuhan dan tanpa agama. Atau, paling tidak agama hanya ditempatkan sebagai urusan pribadi.
Oleh karena itu, tidak mengherankan jika filsafat dan agama di Barat masing-masing berdiri mandiri dan berkembang menurut dasar dan arah pemikirannya sendiri-sendiri. Proses diferensiasi ini, kemudian, dilanjutkan dengan ditinggalkannya filsafat oleh ilmu-ilmu cabang yang dengan metodologinya masing-masing mengembangkan spesialisasinya sendiri-sendiri secara intens.
Diawali oleh lepasnya ilmu-ilmu alam atau fisika dan matematika yang dimotori oleh Copernicus (1473-1543), Versalinus (1514-1564) dan Issac Newton (1642-1727) ilmu pengetahuan mulai tercerabut dari akar filosofisnya. Khususnya perkembangan ini semakin mencapai bentuknya secara definitif saat Auguste Comte (1798-1857) dengan grand theory-nya menetapkan bahwa perkembangan berfikir manusia dan masyarakat akan mencapai puncaknya pada tahap positif, setelah melampaui tahap teologik dan metafisik. Istilah positif di sini mengandung arti bahwa yang benar dan nyata haruslah konkrit, eksak, akurat dan memberi manfaat.
Dengan perkembangan seperti itu, maka ilmu pengetahuan di Barat cenderung menjauh dari berbagai pengetahuan yang menurut dunianya dianggap tidak konkret, tidak terukur dan spekulatif. Atas dasar itu, bukan saja filsafat lantas menjadi tidak menarik di mata ilmu pengetahuan karena wataknya yang spekulatif, tetapi juga pengetahuan agama yang dipandang out of date bahkan ahistoris cenderung diabaikan. Di sinilah perkembangan ilmu pengetahuan itu kemudian menciptakan persepsi masyarakat Barat berbeda dari saat-saat ditanamkan dasar-dasar paradigmatiknya.
Sampai memasuki abad 20, “revolusi” ilmu pengetahuan di Barat masih terus berlangsung, berbagai penemuan telah merombak teori-teori yang sudah mapan sebelumnya, tetapi perkembangan itu belum sampai menggeser paradigma diferensiasi atau “deagamaisasi” ilmu pengetahuan yang menjadi ciri era modern tersebut. Memang, pada satu pihak etos dan cara pandang Barat modern seperti itu telah menumbuhkan optimisme terhadap ilmu pengetahuan dalam meningkatkan fasilitas hidup, namun di pihak lain pesimisme terhadap dampak negatif yang ditimbulkannya juga semakin nyata. Pesimisme itu bukan saja telah menghantui para konsumennya, tetapi terutama kepada masyarakat Barat sendiri sebagai produsen utamanya.
Namun pada paroh terakhir aba ke 20, etos keilmuan dengan cara pandang seperti itu mulai dihadapkan pada kecenderungan baru yang lebih memperhatikan dunia spiritual. John Naisbitt dan Patricia Aburdence, dalam Megatrend 2000 menyebutnya dengan istilah New Age. Suatu era yang berusaha meyakinkan banyak orang bahwa cara yang paling tepat dalam memecahkan berbagai persoalan personal dan sosial--yang telah menjadi bagian dari krisis kebudayaan Barat yang mendorong kemunculan New Age--hanya akan terselesaikan, apabila ada cukup orang mencapai apa yang disebut The Higher Consciousness. Dengan demikian, seperti penuturan Amin Abdullah, modernisme dengan ciri diferensiasinya yang sangat ketat dalam berbagai bidang kehidupan boleh dibilang sudah tidak lagi sesuai dengan semangat zaman.
Integrasi Agama dan Sains sebagai Suatu Keniscayaan
Pengamatan Naisbitt dan Patricia di atas ada relevansinya dengan pandangan Capra, bahwa untuk keluar dari belenggu dikotomi dalam kehidupannya, manusia modern dituntut dapat mengintegrasikan nilai-nilai dan makna-makna yang dikombinasikan dengan pengetahuan (sains). Untuk keperluan ini, menurut Azizan, hanya ada satu subyek yang dapat mengajarkan dan menawarkan nilai-nilai tersebut, yaitu agama. Hal ini tidak berlebihan, karena agama memang merupakan sumber makna dan nilai-nilai yang kita pandang penting dan dapat diterjemahkan melalui pembangunan.
Pandangan integratif seperti ini disebabkan sains modern yang positivistik cenderung melakukan reduksi terhadap realitas alam, termasuk manusia sebagai makhluk hidup. Misalnya, ketika berbicara tentang kosmologi, sains senantiasa melepaskannya dari unsur-unsur spiritualnya seperti Tuhan, malaikat ruh dan sebagainya. Alam semesta diapahami sebagai yang terjadi dengan sendirinya dan diatur oleh sebuah hukum alam yang mandiri, tetap dan tidak bisa diubah oleh kekuatan-kekuatan di luar dirinya. Begitu juga tentang manusia, yang sering dipandang agama dan filsafat memiliki dimensi luhur seperti jiwa, hati, ruh dan sebagainya, dipersepsi sains hanya sebagai makhluk fisik atau bilogis dengan sistem syaraf yang sangat rumit, tetapi tidak menghasilkan jiwa sebagai substansi immaterialnya. Di sini, manusia menjadi tidak memiliki keistimewaan, seperti yang diberikan oleh filsafat, sebagai mikrokosmos; atau oleh agama, sebagai wakil Tuhan di bumi.
Dalam penilaian Golshani, pengabaian terhadap keterbatasan sains dan pengingkaran peranan filsafat dan agama dalam sains itu merupakan pemahaman yang naif. Baginya, sains tidak dapat dipisahkan dari nilai-nilai sepenuhnya, kerja ilmiah banyak diisi dengan perkiraan filosofis dan religius, dan metafisika memainkan peranan sangat penting hampir pada semua level aktivitas ilmiah. Tegasnya, menurut Golshani, terlalu sederhana untuk berfikir bahwa komitmen filosofis dan ideologis tidak akan pernah masuk ke dalam struktur ilmu pengetahuan.
Lebih dari itu, lanjut Golshani, pandangan bahwa aktvitas ilmiah adalah bebas nilai hanyalah mitos belaka. Hal ini didasarkan pada beberapa alasan sebagai berikut:
1. Aktivitas ilmiah adalah sebuah tujuan – yang mengarahkan suatu usaha. Ini berarti bahwa beberapa nilai mengambil peran sebagai pembimbing di dalamnya. Misalnya, pencarian kebenaran merupakan nilai yang menjadi prinsip dalam mengarahkan banyak ilmuwan.
2. Semua aktivitas ilmiah melibatkan beberapa pertimbangan nilai (value judgments):
Beberapa kode etik seperti kejujuran, keadilan dan fungsi integritas sebagai mekanisme pengawasan kualitas dalam usaha ilmiah.
Pertimbangan nilai dapat membentuk garis penelitian seorang ilmuwan atau pilihan teori-teorinya. Misalnya, Einstein dan Heisenberg memiliki tekanan khsusu pada kesederhanaan teori fisikanya. Sedangkan Dirac menekankan pada keindahan teori fisikanya. Pertimbangan-pertimbangan pragmatisnya adalah beberapa kriteria orang lain untuk pilihan teori-teori.
Penutup
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa melalui argumen-argumen filosofis dan penemuan mutakhir tentang sains, berfikir dikotomis tentang agama dan sains memang sudah saatnya dikoreksi kembali. Sebab, penemuan mutkahir di bidang fisika kuantum, misalnya, setidaknya telah meruntuhkan asumsi kaum materialis bahwa dunia ini hanyalah bersifat materi belaka. Padahal, fisika kuantum membuktikan bahwa unsur fisik yang terdapat dalam sebuah atom sangat tidak signifikan bila dibanding dengan unsur non-materinya, yang merupakan bagian paling ekstensif dari atom-atom yang menyusun alam semesta ini. Ini artinya, anggapan sains bahwa alam dengan segala isinya bersifat fisik dan hanya dapat dipahami melalui observasi inderawi semata menjadi tidak sepenuhnya benar. Sebaliknya, dengan adanya penemuan-penemuan mutakhir dalam bidang sains serta perkembangan teori-teori kefilsafatan, agama perlahan-lahan juga mulai menemukan batu pijakan untuk kebenaran yang diberitakannya. Oleh karena itu, antara agama dan sains memang sudah semestinya terjalin hubungan fungsional dan dialektis dalam kerangka yang bisa dipahami oleh akal rasional manusia. Hal ini dikarenakan antara sains yang berpijak pada observasi inderawi, dan filsafat yang mengutamakan rasional, agama yang bersandar pada wahyu memiliki kecenderungan untuk saling melengkapi.

0 komentar:

  ©by M. Lutfi Mustofa 2009

Kembali ke ATAS