Selamat Datang dalam Web Kajian Islam Ala Indonesia (KIAI)

Perkembangan Wacana Tafsir al-Qur'an di Indonesia

Pendahuluan
Sejarah perkembangan intelektualisme Indonesia abad 17–18, sebagaimana diasumsikan Azyumardi, banyak yang terlupakan oleh para peneliti. Sebagian besar perhatian para Indosianis dan ahli Asia Tenggara ditujukan pada persoalan sejarah politik muslim. Padahal, abad 17–18 M. merupakan abad yang paling dinamis dalam sejarah intelektualisme muslim Indonesia. Sebagai misal, pada saat itu muncul ulama besar di Aceh, Abdul Rouf al-Singkili, yang populer dengan karya besarnya dalam bidang tafsir, Turjuman al-Mustafid. Dalam bidang fiqh muncul, Nuruddin ar-Raniri dengan karya monumentalnya, Sirathal Mustaqim, yang ditulis pada tahun 1634 M. dan selesai pada 1644 M. Kemudian, Abdul Shamad al-Palimbani dengan magnum opus-nya, Hidayat al-Salikin, sebuah kitab tasawuf yang berisi aturan-aturan syar’i dengan penafsiran-penafsiran esoteris.


Tradisi intelektual muslim Indonesia tersebut terus terawat hingga abad ke-21 dewasa ini. Beberapa penulis muslim Nusantara telah mempersembahkan karya-karya besar mereka pada paroh terakhir abad ke-20, seperti Buya Hamka, Ahmad Hasan, Hasbi As-Shiddiqi, Mahmud Yunus dan Quraish Shihab. Dalam catatan Federspiel, banyak karya intelektual Indonesia abad ini yang menempati deretan utama dalam perkembangan pemikiran Islam di Asia Tenggara. Diantara cabang-cabang keislaman yang menjadi perhatian para intelektual muslim Indonesia sejak abad 17–20 tersebut meliputi Teologi, Fiqh, Hadits, Tasawuf dan Tafsir al-Qur’an.
Terutama pada bidang Tafsir al-Qur’an, ada keunikan tersendiri dalam karya-karya ulama Nusantara. Tampak adanya perpanjangan mata rantai sejarah pemikiran Timur Tengah dalam perkembangan wacana tafsir di Indoensia. Namun, pada banyak aspek corak tafsir Indonesia menunjukkan kuatnya persentuhan dengan local genius, sehingga memberikan nuansa tafsir tersendiri. Muatan budaya lokal dalam tafsir Indonesia, salah satunya ditunjukkan dengan kuatnya warna mistis. Hal ini bukan semata-mata dikarenakan Timur Tengah pada saat itu sedang didominasi oleh aura tarekat, tetapi unsur tradisi atau budaya Jawa merupakan faktor penting yang tidak dapat diabaikan begitu saja. Kenyataan ini merupakan bukti bahwa di Nusantara meskipun al-Qur’an ditempatkan pada posisi sakral yang menyediakan ruang pemahaman dogmatis-ideologis, namun ada “sentuhan” esoterik yang kuat dengan penalaran budaya Jawa. Menurut Nashr Hamid, secara aksiomatis fenomena pemikiran di mana pun memang tidak tumbuh terlepas dari warna sosial dan budaya atau kondisi obyektifnya. Sebab, pemikiran tidak lain merupakan jawaban atau solusi--atas suatu persoalan sosial maupun budaya--yang bersifat mengubah atau mempertahankan. Itu sebabnya, tulisan ini bermaksud menyajikan perkembangan intelektualisme Indonesia dalam bidang tafsir.
Sejarah Perkembangan Tafsir al-Qur’an
Manna’ Qaththan memberikan arti etimologis terhadap kata tafsir sebagai upaya menjelaskan, menyingkap dan menampakkan atau menerangkan makna yang abstrak. Adapun al-Zarkasyi, secara terminologis, mengartikannya sebagai ilmu untuk memahami Kitabullah yang diwahyukan kepada Muhammad, men-jelaskan maknanya dan mengeluarkan hukum serta hikmahnya. Dengan kata lain, tafsir dapat pula dipahami sebagai teori interpretasi ayat dengan berbagai pendekatan analisis, seperti linguistis, semiotis dan hermeneutis. Arkoun lebih jauh menjelaskan bahwa jika al-Qur’an dapat dibaca, maka tentunya dapat pula ditafsirkan dengan berbagai pendekatan dan cara. Kaum muslim yang berpegang pada satu pembacaan atau penafsiran tertentu saja tidak menyadari berbagai kerumitan dalam memahami al-Qur’an dan mengabaikan kedalaman serta kekayaannya.
Dengan demikian, tafsir merupakan ilmu yang sangat penting, karena al-Qur’an, seperti digambarkan Abdullah Darraz, bagaikan intan yang setiap sudutnya memancarkan cahaya yang berbeda dengan apa yang terpancar dari sudut-sudut lain, dan tidak mustahil jika anda mempersilakan orang lain memandangnya, maka ia akan melihat lebih banyak dari apa yang anda lihat. Itu sebabnya, ulama terus melakukan penafsiran terhadap al-Qur’an. Penafsiran yang mereka lakukan dari generasi ke generasi terus pula mengalami perubahan dan perkembangan corak, kodifikasi maupun metodenya.
Menurut catatan Quraish, dari masa Rasulullah sampai datangnya zaman modern, terdapat enam corak tafsir, yakni corak sastra-bahasa, corak filsafat dan teologi, corak penafsiran ilmiah, corak fiqh atau hukum, corak tasawuf, dan corak sastra budaya kemasyarakatan. Adapun kodifikasi tafsir mengalami tiga tahap perkembangan. Pertama, masa Rasulullah sampai permulaan masa tabi’in yang masih bersifat oral (lisan). Kedua, kodifikasi tafsir digabung dengan penulisan hadits pada masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz (99 – 101 H.). Pada umumnya adalah tafsir bil ma’tsur. Ketiga, dimulai dengan penyusunan kitab-kitab tafsir secara khusus dan independen sejak masa al-Farra (w. 207 H.). Khusus perkembangan metode tafsir, dewasa ini seiring dengan perjalanan filsafat Barat, di dunia Islam mulai diramaikan dengan metode tafsir hermeneutic.
Perkembangan Tafsir al-Qur’an di Indonesia
Hasil penelitian disertasi Azyumardi menunjukkan bahwa ulama Nusantara yang pertama kali melahirkan karya tulis di bidang tafsir al-Qur’an adalah Abdul Rauf bin Ali al-Fansuri al-Singkili, yakni Kitab Turjuman al-Mustafid. Santri Ibrahim al-Kurani ini selain seorang ahli tafsir juga seorang sufi kenamaan pada masanya. Bahkan, aliran tarekat “Syatariyah” yang dikembang-kannya memiliki pengaruh yang luas di Indonesia, khususnya di Jawa dan Sumatera. Dalam bidang mistisisme Islam ini, al-Sinkili menyajikan karya besar-nya yang berjudul Daqaiq al-Huruf.
Sebagai seorang ahli tafsir yang mendalami tasawuf sangat dimaklumi apabila corak tafsir al-Sinkili memang mengesankan warna ortodoksi. Tetapi, sebagai karya tafsir paling awal di negeri ini Turjuman al-Mustafid tergolong memiliki prestasi istimewa, karena beredar luas di kepulauan Melayu. Lebih dari itu, edisi cetaknya juga bisa ditemukan di beberapa negara seperti Singapura, India, Kairo, Istambul, Makkah hingga Afrika Selatan. Ketinggian nilai karya intelektual al-Sinkili ini juga terlihat dari seringnya dicetak ulang di Timur Tengah. Bahkan, edisi terakhirnya juga bisa ditemui di Jakarta sampai tahun 1981-an. Fenomena yang tersebut belakangan ini sekaligus juga menunjukkan bahwa karya tafsir putra Aceh tersebut masih diminati kaum muslim hingga dewasa ini.
Menilai karya tafsir al-Sinkili, beberapa Indonesianis saling berbeda pendapat. Misalnya, Snouck Hurgronje, menganggapnya sebagai terjemahan dari Anwar al-Tanzil karya al-Baidhawi. Sedangkan Rinkes dan Vorhoeve mengatakan bahwa Turjuman al-Mustafid bersumber dari berbagai kitab tafsir berbahasa Arab. Pendapat ini di belakang hari dikoreksi oleh Ridell bahwa selain merupakan terjemahan dari al-Baidhawi, Turjuman juga karya terjemahan dari Tafsir Jalalain (Jalaluddin al-Mahalli dan Jalaluddin al-Suyuti). Ridell juga menambahkan bahwa pada beberapa bagian tertentu al-Sinkili memasukkan pandangan-pandangan dalam Tafsir al-Khazin (w. 741/1340).
Identifikasi ini penting bukan hanya untuk menilai corak dan metode tafsir Turjuman al-Mustafid, tetapi juga untuk mengungkap keterkaitan al-Sinkili dengan beberapa gurunya dalam “jaringan ulama” Timur Tengah dan Nusantara, serta menunjukkan jalur-jalur penyebaran ilmu-ilmu keislaman di Indonesia. Misalnya, pemilihan al-Sinkili terhadap Tafsir Jalalain sebagai sumber utama dalam karyanya jelas karena ia memiliki mata rantai yang menghubungkannya dengan Jalaluddin al-Suyuti, yakni melalui Ibrahim al-Kurani dan al-Qusyaisyi (keduanya merupakan guru sufi al-Sinkili).
Fenomena jalinan kelindan ini ditengarai oleh Azyumardi sebagai determinan perkembangan intelektualisme Islam di Timur Tengah dan Nusantara. Sebagai murid dari al-Kurani sewaktu belajar di Makkah (1640) membawa al-Sinkili masuk dalam jaringan ulama Timur Tengah. Sebagaimana telah diketahui al-Kurani adalah guru sufi al-Singkili. Dalam tradisi sufisme otoritas penyebaran ilmu oleh seorang murid bisa dimiliki hanya atas dasar “ijazah” yang diberikan oleh sang guru. Oleh karena itu, setelah menerima “ijazah” dari guru sufinya itu, al-Sinkili berkewajiban menyebarkan ilmu sesuai dengan rangkaian perawi yang saling kait-mengkait. Salah satu mata rantai perawi itu adalah Jalaluddin al-Suyuti, sehingga al-Sinkili diharapkan lebih dapat memilih Tafsir Jalalain dari pada karya-karya tafsir yang lain. Kecenderungan untuk bersandar pada ulama dalam “jaringan” ini juga terlihat jelas dari karya-karya al-Sinkili di bidang fiqh, kalam dan tasawuf.
Mekanisme “jaringan” dalam pengembangan ilmu-ilmu keislaman di Timur Tengah dan Nusantara ini setidaknya memiliki dua akar historis yang menjadi pijakannya. Pertama, tradisi oral (dakwah bil lisan) pada masa Rasulullah hingga masa tabi’in telah menciptakan mata rantai perawai (da’i) yang saling berhubungan satu dengan lainnya. Kedua, fragmentasi sosial-keagamaan pada masa sahabat, khususnya pada era kekhalifahan Utsman dan Ali, menyebabkan jaringan antar perawi tersebut bercirikan “ideologi” dan menjadi dogmatis. Itu sebabnya mengapa terjadi “jaringan ulama” sesuai dengan madzhab atau aliran dalam bidangnya masing-masing.
Secara sosiologis, jaringan ulama Timur Tengah dan Nusantara, dengan demikian, memiliki peranan yang besar dalam pengembangan peradaban Islam di Indonesia. Al-Singkili dengan Turjuman al-Mustafid-nya, walaupun dipandang sebagai karya terjemahan, namun ia merupakan satu-satunya yang terlengkap dan berhasil mentransformasikan tradisi keilmuan Islam ke Nusantara. Pada abad ke-19 M., baru disusul dengan terbitnya karya tafsir syekh Nawawi al-Bantani di Mesir.
Nama al-Nawawi, sebagai seorang pemikir Nusantara, hampir terlupakan dalam sejarah intelekatualisme Islam Indonesia. Hal ini dikarenakan perjalanan panjangnya sebagai ulama tidak berakhir di tanah kelahirannya sendiri. Sejak usia muda ia telah pergi ke Makkah, Madinah Mesir dan Syams demi menuntut ilmu pada beberapa ulama besar di sana. Sekembalinya dari beberapa negeri sebrang al-Nawawi belajar lagi di Karawang Jawa Barat, selanjutnya mengajar di tempat asalnya, Desa Tanara. Akan tetapi, keadaan di Nusantara secara umum tidak mendukung kegiatannya, karena kolonial Belanda selalu mengawasi dan membatasi ruang gerak ulama. Sampai akhirnya al-Nawawi memutuskan kembali ke Makkah untuk mengajarkan ilmunya. Di Makkah, al-Nawawi menetap di Syi’ib Ali sampai akhir hayatnya.
Di Makkah, al-Nawawi dikenal sebagai seorang penulis produktif. Karya-karyanya tersebar luas di Mesir, baik dalam bentuk artikel-artikel maupun tulisan lengkap tentang tafsir al-Qur’an. Karya tafsir al-Nawawi yang terkenal luas di Timur Tengah dan terutama di kalangan pesntren di Indoensia adalah al-Tafsir al-Munir li Ma’alim al-Tanzil.
Sebagaimana kitab-kitab klasik lainnya, tafsir al-Munir yang disebut juga oleh al-Nawawi dengan Kitab Murad Lubaid fi Kasyfi Ma’ani al-Qur’an al-Majid tidak ditulis dengan mencantumkan daftar referensinya. Sebagian besar isi kitab tafsir ini menekankan pada penjelasan ayat demi ayat berdasarkan analisa bahasa. Tetapi, untuk beberapa ayat dan surat dikaitkan dengan hadis-hadis, sebab-sebab turunnya ayat dan pendapat para sahabat.
Menurut Hafiduddin, tafsir al-Munir milik al-Nawawi lebih menekankan pada analisis ayat-ayat al-Qur’an berdasarkan aspek bahasanya. Atas dasar itu, ia juga menyamakan al-Munir dengan tafsir Jalalain. Keduanya juga sama-sama menggunakan tafsir bil riwayah atau tafsir bil ma’tsur. Akhirnya, Hafiduddin mengelompokkan Tafsir al-Munir ke dalam tafsir ‘am atau tafsir tartibiy, yakni tafsir yang ditujukan kepada semua ayat al-Qur’an, dari surat al-Fatihah hingga surat al-Nas. Dengan demikian, tafsir al-Munir ini juga memiliki kesamaan dengan Turjuman al-Mustafid yang menunjukkan karakteristik serupa.
Dua catatan cukup menarik tentang tafsir al-Munir ini disampaikan oleh Steenbrink dan Hafiduddin. Pertama, dalam tafsir al-Munir ada juga kecenderungan untuk menafsirkan al-Qur’an secara kontekstual. Hal ini terlihat dari kuatnya kecenderungan Nawawi dalam mementingkan asbab al-nuzul saat memahami kandungan suatu ayat atau surat. Kedua, meskipun tafsir al-Munir tergolong tafsir ‘am, ada orientasi yang jelas di dalamnya untuk menanamkan dasar-dasar akidah dan keyakinan yang kuat tentang Keesaan Allah dan ajaran-ajaran-Nya.
Catatan kedua pemerhati tersebut menjadi menarik, karena sejak sebelum Turjuman al-Mustafid dan sesudahnya sampai dengan tafsir al-Munir, tidak ada tafsir lain karya ulama Nusantara yang selengkap dua tafsir tersebut, kecuali tafsir-tafsir dari beberapa ayat dalam surat tertentu. Misalnya, telaah baru-baru ini ditemukan bahwa sebelum Turjuman al-Mustafid ada sepenggal tafsir surat al-Kahfi. Karya ini diperkirakan ditulis pada masa Hamzah Fansuri atau Samsuddin al-Sumatrani, dan mengikuti tradisi penafsiran al-Khazin.
Baru pada awal abad ke-20, Hamka mulai mengemukakan prinsip-prinsip dasar Islam dengan cara memberi komentar terhadap ayat-ayat al-Qur’an. Karya putra Padang (Sumatra Barat) ini merupakan embrio baru tafsir “al-Azhar” yang kelak menjadi karya penting. Hal ini diantaranya ditunjukkan dengan munculnya karya penelitian disertasi Yunan Yusuf dari Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang berjudul Corak Pemikiran Kalam Tafsir al-Azhar: Sebuah Telaah tentang Pemikirann Hamka dalam Teologi Islam.
Selain Hamka, pada periode ini Mahmud Yunus juga sedang mengerjakan karya tafsirnya. Ulama yang juga putra Minangkabau ini pada masanya boleh dibilang satu-satunya intelektual yang melakukan kegiatan penafsiran al-Qur’an. Dia memulai kegiatannya dengan menggunakan tulisan pego, yakni Bahasa Melayu atau Bahasa Indonesia yang berbentuk tulisan Arab. Kerja keras Mahmud Yunus ini pada tahun 1922 membuahkan karya terjemahan al-Qur’an, yang kelak menjadi dasar bagi karya tafsirnya yang berjudul Tafsir al-Qur’an al-Karim. Padahal, menurut catatan Federspiel, pada saat itu “para sarjana muslim” sedang giat-giatnya mengharamkan penerjemahan al-Qur’an. Namun, fenomena ini tidak membuat gentar Yunus, karena beberapa tahun kemudian ia telah mendapatkan fatwa dari ulama Universitas al-Azhar bahwa menerjemahkan al-Qur’an itu tidak haram.
Tradisi penafsiran al-Qur’an ini terus berlanjut, sehingga pada tahun 1926-1941, bersamaan dengan terjadinya perdebatan politik antara kaum nasionalis dan nasionalis Islam, bermunculan buku-buku mengenai tafsir al-Qur’an. Misalnya, Munawwar Khalil menulis sebuah buku dengan judul Kembali Kepada al-Qur’an dan Sunnah. Hamka menerbitkan tafsir Juz ‘Amma dengan judul al-Burhan. Dalam karyanya ini, Hamka mencoba memadukan pendapat-pendapat mufassir klasik abad pertengahan Islam, seperti al-Baghdadi, Ibnu Katsir dan al-Tibbi dengan pendapat kaum modernis Mesir, seperti Muhammad Abduh dan Thanthawi Jauhari. Sedangkan Munawwar Khalil telah mempersiapkan tafsir al-Qur’an dalam Bahasa Jawa yang berjudul Tafsir Qur’an Hidayat al-Rahman.
Selain itu, muncul pula Ahmad Surkati dengan karyanya yang berjudul Zedeleer uit den Quran. Buku ini sebagaimana judulnya memang ditulis dengan menggunakan Bahasa Belanda. Tradisi Surkati ini lalu dikembangkan oleh Ibnu Idrus dalam Gouden Regels uit den Quran. Kemudian, pada tahun 1920-an Cokroaminoto memperkenalkan terjemahan kitab tafsir karya Maulevi Mohammed Ali dari Lahore yang terbit di Medan pada tahun 1941. Setelah itu, Mahmud Yunus bersama H.M.K. Bakry menerbitkan Tafsir al-Qur’an al-Karim pada tahun 1930.
Tradisi penulisan dan penafsiran al-Qur’an tersebut sampai masa penjajahan Jepang (1942–1945) tidak produktif kembali. Kecuali pada masa demokrasi liberal (1950–1957) muncul beberapa karya tulis tentang al-Qur’an, seperti Pelajaran Tafsir al-Qur’an (1955) karya Munawar Khalil dan Ibnu Idrus; serta al-Furqan dan al-Djawahir karya Ahmad Hasan. Pada masa demokrasi terpimpin (1957–1966) tampil Buya Hamka dan Hasbi Ashiddiqiy. Karya Hamka yang berjudul Tafsir al-Azhar merefleksikan kekacauan politik pada masanya, karena tafsir ini ditulis pada saat Hamka berada di penjara. Adapun Hasbi menerbitkan Tafsir al-Qur’an al-Madjid dalam beberapa jilid pada tahun 1960-an. Karya Hasbi ini dipublikasikan secara khusus dalam majalah Gema Islam, sebuah majalah edisi mingguan yang cukup populer saat itu. Pada perkembangan berikutnya, Tafsir al-Qur’an al-Madjid mengalami perubahan nama menjadi Tafsir al-Nur untuk generasi pertama dan Tafsir al-Bayan untuk generasi ketiga.
Pada masa Orde Baru (1967–1998), dalam program pembangunan bidang keagamaan, Menteri Agama menggagas penerbitan buku-buku teks kajian al-Qur’an. Untuk keperluan ini, pemerintah membentuk suatu badan yang terdiri dari dosen-dosen IAIN guna menyusun tafsir al-Qur’an. Pembentukan badan oleh Depag RI ini berhasil menerbitkan dua produk intelektual yang menjadi catatan penting dalam sejarah perkembangan tafsir di Indonesia. Pertama, al-Qur’an dan Terjemahannya yang menelusuri pengaruh al-Qur’an dalam sejarah perkembangan peradaban manusia. Karya ini ingin mengekspresikan pandangan bahwa al-Qur’an dapat digunakan sebagai suatu model pembangunan. Kedua, al-Qur’an dan tafsir-nya, merupakan upaya untuk menciptakan tafsir resmi yang dapat memberikan orientasi pada para pendidik dalam mengajarkan al-Qur’an di dunia modern.
Analisis terhadap Tafsir al-Qur’an di Indonesia Abad ke-20
Berdasarkan metodenya, Federspiel mengelompokkan karya tafsir di Indonesia abad XX ke dalam empat kategori. Pertama, pada paroh pertama abad ke-20, ditandai dengan penerjemahan dan penafsiran secara terpisah-pisah. Kedua, merupakan penyempurnaan generasi pertama, yakni melakukan penerjemahan secara lengkap yang dilakukan pada pertengahan tahun 1960-an. Ketiga, pada tahun 1970-an mulai memberikan komentar-komentar yang luas terhadap teks. Periode selanjutnya, standarisasi terjemah dan tafsir al-Qur’an oleh Departemen Agama RI, serta ditandai dengan kemunculan tafsir Indonesia kontemporer.
Pada generasi kedua, terdapat tiga karya yang representatif, yakni Tafsir al-Furqan karya Ahmad Hasan (1887–1962), Tafsir al-Qur’an karya Zainuddin Hamidiy (w. 1957), dan Tafsir al-Qur’an al-Karim karya Mahmud Yunus (1899–1973). Dalam belantara pemikiran tafsir di Indonesia, ketiga karya intelektual muslim awal abad ke-20 ini cukup populer, karena telah lama dipublikasikan dan dicetak berulang-ulang.
Mengapa ketiganya dikelompokkan dalam satu generasi, menurut Federspiel, disebabkan adanya beberapa kesamaan dalam format dan isinya. Ketiga kitab tafsir tersebut sama-sama menempatkan teks Arabnya pada margin kanan dan terjemahan-nya di sebelah kiri. Selain itu, ketiganya juga memberikan catatan kaki (footnote) untuk terjemahan Bahasa Indonesianya dan setiap bagian yang merupakan tafsir suatu ayat. Bahkan. Ketiganya juga memiliki kesamaan tentang definisi istilah-istilah dalam al-Qur’an, masalah-masalah yang ditemukan dalam penerjemahan, dan definisi tentang konsep-konsep dasar dalam Islam.
Pada generasi ketiga, juga terdapat tiga contoh karya tafsir yang mewakili masanya. Pertama, Tafsir al-Bayan Hasbi Ashiddiqi (1904–975), Tafsir al-Qur’an al-Karim Abdul Halim Hasan (1969), dan Tafsir al-Azhar Buya Hamka. Karakter yang tampak dari ketiga tafsir ini adalah sama menekankan pada kontekstualisasi ajaran al-Qur’an dan pemikiran Islam. Selain itu, seperti halnya tafsir generasi kedua, ketiga tafsir ini sama-sama memberikan perhatian pada pendefinisian istilah-istilah, memiliki bagian ringkasan yang ditempatkan di bagianawal setiap surat, berisi penjelasan tentang berbagai tema, hukum dan aspek-aspek penting dalam suatu surat.
Namun, dari segi penyampaian kandungan al-Qur’an ketiganya memiliki perbedaan cara. Ashiddiqi dan Hamka lebih memilih penyajian bagian-bagian pendek yang terdiri dari beberapa ayat (satu sampai lima ayat) dan menjadikan satu teks Arab dengan terjemahannya. Setelah itu, diulas dengan memberikan penjelasan panjang hingga lima belas halaman tersendiri. Adapun Halim Hasan lebih mendekati pada model penyajian karya tafsir generasi kedua.
Perkembangan corak dan metode tafsir generasi ketiga ini diikuti dengan kemunculan tafsir dan terjemahan al-Qur’an dari Departemen Agama. Kemunculan tafsir al-Qur’an versi pemerintah ini memberikan corak tersendiri dalam kajian keislaman di Indonesia. Setidaknya, tafsir dan terjemahan al-Qur’an madzhab Departemen Agama dapat mencipatkan “ruang pertemuan” bagi berbagai kelompok aliran penafsiran yang berbeda-beda. Itu sebabnya, pada periode ini disebut juga dengan era standarisasi terjemah dan tafsir al-Qur’an oleh Departemen Agama Republik Indonesia.
Kesimpulan
Sepanjang sejarah perkembangan Islam di Indonesia dari abad ke13-19, baru terdapat dua ulama Nusantara yang menyajikan karyanya secara lengkap di bidang tafsir al-Qur’an, yakni Turjuman al-Mustafid karya Abdul Rouf al-Sinkili (abad ke-17) dan Tafsir al-Munir karya Syekh Nawawi al-Bantani (abad ke-19), yang ditulis dengan menggunakan Bahasa Arab.
Tradisi penulisan tafsir al-Qur’an yang telah berkembang sejak lama di Nusantara itu menciptakan academic atmosphire yang sangat signifikan bagi perkembangan kajian keislaman (Islamic studies) di Indonesia. Hal ini ditunjukkan dengan munculnya beberapa karya tafsir al-Qur’an pada abd ke-20, yang oleh Federspiel dikelompokkan menjadi empat generasi. Generasi pertama, sampai tahun awal 1960-an ditandai dengan penerjemahan al-Qur’an secara terpisah-pisah. Kedua, mulai pertengahan tahun 1960-an muncul karya terjemahan al-Qur’an yang semakin lengkap. Ketiga, sejak tahun 1970-an mulai menekankan pada tafsir al-Qur’an itu sendiri. Kemudian dilanjutkan dengan upaya standarisasi tafsir dan terjemah al-Qur’an oleh Departemen Agama RI, serta munculnya tafsir kontemporer yang menekankan pada perbaikan istilah dan bahasa.
Selain menciptakan ruang akademik, sedikitnya tradisi penafsiran al-Qur’an oleh ulama Nusantara juga telah menunjukkan warna keislaman tersendiri, yang sarat dengan pesan-pesan budaya negeri ini. Hal ini tidak lain merupakan refleksi dari kuatnya etos intelektual dan keulamaan para ilmuwan negeri ini. Wallahu a’lam bis shawab.

1 komentar:

fallonagagon 04 Maret, 2022  

Where do you legally gamble in casinos in Vegas? | DRMCD
For the next 10 months, the 정읍 출장샵 company 경산 출장마사지 has invested 군산 출장안마 more than 충청남도 출장안마 $100,000 to build a massive, modern 전주 출장마사지 hotel in Las Vegas, which is

  ©by M. Lutfi Mustofa 2009

Kembali ke ATAS