Selamat Datang dalam Web Kajian Islam Ala Indonesia (KIAI)

Memahami Makna Fundamentalisme Islam

Pendahuluan
Dewasa ini, fundamentalisme telah menjadi sebuah “teks sosial” yang cukup menyita perhatian dan pikiran para intelektual. Berbagai pertanyaan dan penafsiran terus dikembangkan untuk memahami makna di balik fenomena sosial yang kerap dialamatkan pada masyarakat muslim ini. Namun, sebanyak disiplin ilmu dan teori yang dipakai untuk mengkaji masalah tersebut, ujung-ujungnya adalah kontroversi pemaknaan tentang fundamentalisme itu sendiri. Hal ini bisa dimaklumi, karena konteks di mana istilah fundamentalisme itu muncul berbeda sama sekali dengan yang terdapat dalam ajaran Islam. Apalagi, ketika dibawa pada konteks Islam istilah fundamentalisme selalu berkonotasi pejoratif, sehingga meng-hasilkan kajian-kajian yang cenderung impresionistis dan tidak realistis.
Oleh karenanya, untuk mendapatkan pemahaman yang memadai tentang fenomena fundamentalisme Islam perlu melihat akar-akar sosio-kultural yang melatari kemunculannya dalam sejarah sosial masyarakat muslim. Untuk keperluan ini, ada dua teori yang secara longgar dapat dipakai untuk menjelaskan fenomena fundamentalisme Islam. Pertama, teori continuity and change, yaitu teori yang mencoba melihat fenomena gerakan ini sebagai sebuah kesinambungan dan perubahan dalam sejarah Islam. Kedua, teori challenges and opportunities, yakni teori yang berusaha menjelaskan fenomena fundamentalisme Islam sebagai sebuah reaksi terhadap berbagai tantangan dan peluang yang dihadapi oleh kaum muslim di era modern.


Fundamentalisme Islam sebagai Kesinambungan dan Perubahan Sejarah Sosial Masyarakat Muslim
Dalam banyak catatan sejarah, tampak bahwa perkembangan sosial masyarakat muslim generasi awal hingga abad pertengahan menunjukkan dinamika internal yang sangat kuat. Dinamika ini, yang oleh Harun Nasution dipandang sebagai efek pembebasan tawhid, pada prosesnya tidak jarang menampakkan diri dalam ketegangan kreatif (creative tension). Secara teologis, di dalam Islam ketegangan semacam itu memang dipandang sebagai keniscayaan, bahkan merupakan rahmat. Tetapi, secara sosiologis dinamika internal umat Islam tersebut, pada hari ini, juga dipandang sebagai memiliki kesinambungan dengan fenomena fundamentalisme Islam. Pandangan terakhir ini bisa juga dimengerti, karena memang perkembangan sejarah dan budaya manusia di antaranya dicirikan pula oleh adanya kesinambungan dan perubahan.
Di antara ilmuwan yang berpandangan semacam itu adalah Ernest Gellner, Fazlur Rahman dan Said Amir Ardjomand. Bagi Gellner, fundamentalisme Islam merupakan kelanjutan dari perjalanan panjang fenomena sejarah umat Islam pada satu sisi dan perubahan yang dialaminya pada lain sisi. Dalam pengertian ini, maka fundamentalisme Islam, menurut Gellner, tidak dapat dipahami hanya sebagai respon terhadap tantangan modernitas semata.
Dengan teori strukturasinya, Gellner seperti dijelaskan Mujibur-rahman, hendak mengatakan sebenarnya fundamentalisme Islam itu merupakan gerakan pembaruan yang bermaksud mengangkat “Islam tradisi” menuju “Islam resmi”. Walaupun sebenarnya apa yang mereka maksud dengan Islam resmi tidak lain merupakan varian dari Islam tradisi itu sendiri. Tetapi, yang terpenting di sini adalah hasrat kaum fundamentalis untuk melakukan lompatan peradaban dalam momentum yang tepat, sehingga setidak-tidaknya ide-ide mereka terwacanakan.
Penyebutan gerakan pembaruan, yang dipakai oleh Gellner, untuk fundamentalisme Islam tersebut sebenarnya yang lebih tepat justru pemurnian. Hal ini dikarenakan kesinambungannya dengan gerakan-gerakan pemurnian Islam, seperti Ibnu Hambal, Ibnu Taimiyah dan Wahabiyah. Dengan demikian, akar-akar sosial gerakan fundamentalisme Islam sekarang, menurut Gellner, selain merupakan refleksi dari perjuangan kaum puritanis masa lalu, juga sebagai reaksi terhadap keadaan umat Islam dewasa ini yang sedang terhegemoni oleh peradaban Barat.
Namun, teori strukturasi Gellner ini masih mengandung beberapa kelemahan. Pertama, kesinambungan dan perubahan yang terjadi dalam sejarah Islam itu hanya terbatas pada Islam resmi (official Islam) dan Islam tradisi. Akibatnya, teori ini tidak dapat mengakomodasi gerakan-gerakan Islam kontemporer yang tidak berorientasi kepada gerakan pemurnian Islam model Wahabisme, melainkan Islam totalitarian model Khawarij (misalnya Sayyid Qutb atau dalam batas tertentu Maududi) yang justru termasuk kategori Islam tradisi. Kedua, dengan dualisme Islam tersebut juga tidak dapat memotret dinamika pembaruan yang terjadi dalam keseluruhan sejarah pemikiran dan gerakan Islam. Ketiga, Pembagian Islam yang dualistik itu hanya cocok dengan teologi gerakan pemurnian Islam, namun tidak untuk realitas kaum muslim itu sendiri. Padahal, kalau meninjau terhadap realitas tradisi Islam, maka yang tampak adalah tradisi tersebut merupakan kesinambungan antara masa kini, masa lalu dan pandangan ke masa depan, terutama yang dibentuk oleh relasi-relasi kuasa yang ada di sekitar umat Islam.
Oleh karena itu, menurut Jainuri, dilihat dari relasi-relasi kuasa tersebut sesungguhnya fundamentalisme Islam sebagai sebuah fenomena sosial ini dapat dilihat pula dari teori keterasingan (alienation) atau ketidak-berartian (meaninglessness) dan ketidakberdayaan (powerlessness). Seperti penuturan Karl Marx, alinasi ini terjadi karena adanya struktur kapitalisme yang opresif dan tidak emansipatif. Begitu pula, menurut Jainuri, fundamentalisme Islam itu muncul di antaranya karena adanya perasaan tertekan dan tertindas umat Islam oleh sistem sosial, ekonomi, budaya dan politik Barat yang cenderung kapitalistik. Akibat dari adanya sistem sosial Barat yang opresif itulah, meminjam istilah Mead, proses interaksi antara Islam dan Barat di sini telah mengakibatkan timbulnya makna-makna sosial yang antagonistik dan pejoratif, di antaranya adalah timbulnya perasaan meaninglessness dan powerlessness. Sebagai kelanjutannya, karena pada sisi yang lain juga ada perasaan keagamaan atau keumatan yang sangat kuat dalam diri umat Islam, maka muncul semangat perlawanan terhadap sistem sosial, budaya, ekonomi dan politik Barat yang dipandang “tidak manusiawi” tersebut.
Dilihat dari pandangan Mead, yang dikenal dengan interaksion-isme simbolik pragmatis ini, hal penting yang bisa dicatat di sini adalah bukan bagaimana umat Islam secara mental menciptakan makna-makna dan simbol-simbol fundamentalisme tersebut, tetapi bagaimana mereka belajar dari interaksi dengan Barat dan sosialisasinya dengan sesama umat Islam. Dengan cara berfikir seperti ini, maka yang benar adalah bukannya berlama-lama dalam merasakan ketidakbermaknaan dan ketidakberdayaan-nya, tetapi segera mencari makna-makna baru yang lebih positif dan kekuatan yang bisa melepaskan diri dari sistem sosial Barat yang opresif.
Dari kelemahan teori Gellner ini, mengingatkan kita juga pada Fazlur Rahman yang mencoba memetakan perkembangan pembaruan pemikiran Islam dan menjelaskan bagaimana fundamentalisme atau revivalisme Islam lahir dan tumbuh menjadi neo-fundamentalisme. Dalam teorinya, Rahman menempatkan fenonema fundamentalisme kontemporer sebagai neo-fundamentalisme. Dalam proses kemunculan neo-fundamentalisme ini, ada dua gerakan yang mendahuluinya, yaitu revivalisme (fundementalisme) dan modernisme.
Gerakan revivalisme Islam timbul pada abad ke-18 M. yang dirintis oleh Muhammad bin Abdul Wahab di Saudi Arabia. Sebagaimana neo-fundamentalisme nantinya, revivalisme ini lahir dari kesadaran internal umat Islam akan kemerosostan agama dalam kehidupan umat Islam. Oleh karena itu, dalam perkembangannya revivalisme berorientasi pada gerakan pemurnian Islam dari bid’ah, khurafat, tahayyul dan seruan kembali pada al-Qur’an dan Hadis. Ironisnya, pada saat yang sama aliran ini menyerukan ijtihad, kecenderungan “anti-intelektualisme” juga terus dikembangkan, sedangkan al-Qur’an dan Hadis sendiri tidak dikaji aspek metodologinya. Akibtanya, gerakan ini kemudian mengalami stagnasi intelektual, bahkan melebihi kelesuhan ulama konservatif yang dikritiknya.
Sedangkan gerakan modernisme Islam, muncul pada awal abad ke-20 M. yang dinakodai oleh, misalnya, Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh. Satu-satunya ciri yang mempertemukan modernisme ini dengan revivalisme adalah keduanya sama-sama menyerukan ijtihad. Bedanya, kaum modernis masih adaptif terhadap Barat, meskipun pada saat yang sama juga apologetik, sedangkan revivalis tidak berusaha meng-akomodasinya.
Tetapi, meskipun modernisme mengembangkan sikap adaptif terhadap Barat, secara umum Rahman masih melihat ada dua kelemahan. Pertama, mereka tidak mengembangkan metode pembaruan yang jelas. Hal ini mungkin dikarenakan adanya ambivalensi antara adaptasi dan berapologi terhadap Barat. Kedua, gagasan dan pemikiran yang mereka bangun adalah berasal dari Barat, sehingga terkesan Western-minded.
Dalam keadaan di mana modernisme tidak dapat menyajikan konsep keumatan yang ideal inilah neo-fundamentalisme muncul dengan keyakinan, yang juga diwarisi dari modernisme, bahwa Islam adalah cara hidup yang total. Hanya, kaum neo-fundamentalisme lebih terorganisir dan berusaha keras mencari aspek-aspek yang dipandang berlawanan dengan kaum modernis dan Barat.
Dari sini, Soetapa menuturkan bahwa fenomena fundamentalisme Islam tidak lain merupakan kritik terhadap modernitas. Realitas sejarah sosial umat Islam ini tidak lain adalah model respon terhadap perkem-bangan modernitas. Sebagai sebuah respon maka wajar jika fundamental-isme memiliki perbedaan karakter dari apa yang dipersepsi. Jika kaum modernis bersikap kritis terhadap teks dan lebih mengedepankan rasio, maka fundamentalisme menerimanya tanpa reserve.
Dari teori kesinambungan dan perubahan yang dibangun oleh Rahman di atas masih menyisakan satu pertanyaan. Apakah sebenarnya yang menghubungkan neo-fundamentalisme dengan revivalisme atau fundamentalisme itu sendiri? Menjawab pertanyaan ini Said Amir Ardjoman berteori bahwa garis panjang yang menghubungkan semua gerakan fundamentalisme dalam sejarah Islam adalah apa yang mereka tegaskan, sedangkan yang membedakan gerakan tersebut satu dari yang lain adalah apa yang mereka tolak. Hal yang terkahir ini terkait dengan kondisi sosial politik pada saat gerakan fundamentalisme itu muncul.
Dengan teori Ardjoman ini, dapat diketahui dengan mudah mata rantai mana di antara aliran fundamentalisme sepanjang sejarah Islam yang terkait dengan fundamentalisme Islam kontemporer. Apakah Hanbalisme, Wahhabisme, Kharijisme ataukah Syi’isme. Dalam hal ini, tampaknya Ardjoman lebih melihat skripturalisme Wahabi sebagai tipe ideal fundamentalisme Islam, sedangkan bentuk Syi’ah dan Khawarij yang muncul lebih awal dan muncul lagi di zaman modern adalah deviasi dari fundamentalisme skriptural ala Wahabi tersebut.
Dari tiga teori fundamentalisme Islam sebagai kesinambungan dan perubahan sejarah sosial masyarakat muslim di atas, dapat dipahami bahwa fundamentalisme Islam pada dasarnya merupakan gerakan pembaruan yang dalam era modern menjadikan Barat dan yang berbau Barat sebagai lawan. Inilah sebenarnya benang merah yang menghubung-kan berbagai gerakan fundamentalisme Islam dalam sejarah sosial masya-rakat muslim.
Fundamentalisme Islam sebagai Reaksi terhadap Tantangan dan Peluang Era Modern
Asumsi dasar yang dipakai dalam teori yang kedua ini, menurut Mujib, adalah bahwa krisis sosial, ekonomi, politik dan budaya yang menimpa kaum muslim di zaman modern telah melempangkan jalan bagi gerakan fundamentalisme Islam. Secara umum, krisis tersebut ada kalanya bersifat global dan lokal.
Pada level global, Bassam Tibbi menyebutkan bahwa fundamen-talisme pada dasarnya merupakan respon terhadap globalisasi dan fragmentasi. Argumentasinya, bahwa globalisasi telah merajalela dalam ekonomi, politik, komunikasi, transportasi dan teknologi yang menurut kaum fundamentalis semakin meneguhkan dominasi Barat atas Islam. Terlebih dalam konteks ini, struktur ekonomi dan politik masyarakat industri Barat yang telah menjadi kerangka kerja (framework) bagi dunia umat Islam yang lebih luas itu merupakan struktur yang tidak adil. Pertumbuhan dan pengembangan ekonomi Barat misalnya, telah mengikis berbagai pertalian sosial tradisional dan menimbulkan kemacetan aspirasi dalam kelompok-kelompok sosial. Fundamentalisme Islam, di sini, merupakan reaksi terhadap berbagai konsekuensi dari laju pertumbuhan ekonomi Barat yang sangat cepat tersebut. Penghancuran pola-pola kehidupan tradisional dan ketidakmenentuan sebagai implikasi dari fenomena ekonomi ini mengarahkan masyarakat untuk menuntut jalan tradisional kehidupan mereka.
Begitu juga kebijakan politik Eropa Barat sejak terjadinya revolusi Perancis yang ditandai dengan kemunculan negara-negara bangsa (nation-states)dan imperialisme Barat ke Timur merupakan faktor-faktor yang ikut membidani kelahiran fundamentalisme Islam. Apalagi, ketika expansi Eropa ke dunia Islam yang juga disertai dengan percobaan implementasi ideologi-ideologi Barat (seperti kapitalisme dan demokrasi) mengalami kegagalan telah mendorong munculnya kesadaran masyarakat muslim untuk menjadikan Islam sebagai ideologi alternatif.
Besarnya akumulasi ketidakpuasan terhadap Barat dan diperkuat oleh kelonggaran-kelonggaran yang ditimbulkan globalisasi teknologi informasi, pada puncaknya, fenomena fundamentalisme itu melahirkan WTC dan Bali Blast. Dua peristiwa ini, terlepas dari ada atau tidak adanya skenario Amerika, seakan telah mengempiriskan realitas wacana tentang fenomena fundamentalisme Islam.
Tetapi, betapapun signifikannya peristiwa-peristiwa internasional tersebut tentu saja belum cukup memadai untuk disebut sebagai satu-satunya faktor penyebab bangkitnya fundamentalisme Islam. Itu sebab-nya, para ilmuwan mencoba melihat faktor-faktor yang lebih dekat dengan kehidupan kaum fundamentalis itu sendiri, yaitu faktor-faktor sosial, politik dan budaya di negara-negara kaum muslim itu sendiri. Dalam konteks ini, sebagaimana catatan Mujiburrahman, banyak sarjana yang mencoba berteori bahwa fundamentalisme Islam lahir karena berbagai ketidakpuasan sosial atau krisis sosial yang dialami oleh masyarakat muslim.
Penutup
Dari beberapa penjelasan di atas dapat diambil suatu pemahaman bahwa fundamentalisme Islam dapat dipahami dari dua perspektif teori, yakni teori continuity and change dan teori challenge and opportunity. Dalam perspektif teori yang pertama, fundamentalisme Islam dapat dilihat sebagai fenomena yang berakar kuat pada dinamika internal dalam sejarah sosial dan pemikiran masyarakat muslim. Sedangkan perspektif kedua, menjelaskan bahwa fundamentalisme Islam tidak lain merupakan reaksi terhadap berbagai tantangan dan peluang yang dihadapi oleh kaum muslim di era modern, berupa tantangan globalisasi, fragmentasi dan kekacauan ekonomi dan politik Barat. Selain itu, dilihat dari relasi-relasi kuasa yang juga turut ambil bagian dalam membentuk tradisi Islam, maka fenomena fundamentalisme Islam juga bisa dilihat dari kaca mata teori keterasingan (alienation) atau ketidakbermaknaan (meaninglessness) dan ketidak-berdayaan (powerlessness). Dari perspektif ini, dapat dikatakan bahwa fenomena fundamentalisme Islam muncul bermula dari interaksi sosial yang timpang, yakni bermuara dari sistem sosial, budaya, ekonomi dan politik Barat yang kapitalistik, opresif dan hegemonik. Sementara di sisi lain, masyarakat muslim memiliki pandangan dunia yang mengarah pada pemeliharaan terhadap hak-hak Tuhan dan hak-hak masyarakat manusia secara keseluruhan. Wallahu a’lam bi al-shawab.

0 komentar:

  ©by M. Lutfi Mustofa 2009

Kembali ke ATAS