Selamat Datang dalam Web Kajian Islam Ala Indonesia (KIAI)

Polemik Metodologis dalam Studi Agama

Sebagaimana dirasakan beberapa kalangan akademisi, bahwa penjelasan terhadap agama dalam berbagai literatur kesarjanaan menunjukkan adanya kesulitan yang amat berat. Bahkan, pada beberapa kasus sering penjelasan tentang agama itu justru mendistorsi bagian-bagiannya yang penting dan keliru dalam memberikan makna terhadap gejala-gejalanya. Dalam hal ini, Crapps menuturkan, ketika agama dibawa pada kerangka berfikir abad pencerahan, pemahaman terhadapnya bukan saja telah diatur-atur oleh teori dan metodologi, tetapi juga telah dipotong-potong.
Atas dasar itu, ada sebagian orang yang mempertanyakan akurasi pendekatan ilmiah dalam studi agama, jika hasilnya justru semakin menjauhkan dari hakikatnya. Bahkan, tidak jarang yang menganggapnya sebagai absurdity (kemustahilan) serta tidak menyenangkan. Tidak disukai, karena studi ilmiah agama hanya memberikan efek dingin terhadap apa yang seharusnya hangat dan menggetarkan.


Walaupun begitu, tidak sedikit pula yang optimistis dengan penjelasan ilmiah terhadap agama. Smart misalnya, meskipun masih berusaha memahami keraguan tersebut, ia tidak bisa membenarkannya. Baginya, kesan dingin itu muncul karena pendekatan dimana seorang sarjana berurusan dengan agama, secara ilmiah namun hangat, belum sepenuhnya dipahami. Smart menegaskan bahwa ilmu pengetahuan itu harus sesuai dengan obyeknya. Misalnya, ilmu-ilmu humaniora harus berurusan dengan perasaan batin, karena manusia tidak bisa dipahami jika sentimen-sentimen dan sikapnya tidak dipahami pula.
Oleh karena itu, menurut Amin, diperlukan prasyarat tertentu atau training yang memadai dalam melakukan studi ilmiah tentang realitas keberagamaan manusia. Namun, Amin segera menggaris-bawahi bahwa perlunya pendekatan keilmuan terhadap fenomena keberagamaan manusia, tidak dengan sendirinya meniscayakan neutral value dalam studi agama. Sebaliknya, studi ilmiah terhadap agama perlu memihak pada tatanan nilai kehidupan kemanusiaan universal yang damai, sejuk, ramah dan berbobot spiritual-keagamaan.
Pandangan seperti ini diperlukan agar studi keislaman tidak terbawa-bawa kembali pada suatu pandangan sekuler yang melandasi studi keagamaan pada masa-masa enlightenment. Di mana semua fenomena keagamaan (termasuk keimanan) dipahami sebagai bentukan sosial, sehingga implikasinya keberadaan suatu agama ditentukan oleh faktor-faktor sosial, budaya dan sejarah yang menyertainya. Ini yang dimaksud oleh Peter Berger, sebagai hasil dari studi agama yang menggunakan pendekatan methodological atheism.
Pada konteks ini, Charles J. Adams menunjukkan kecermatan-nya dengan mengisyaratkan perlunya pendekatan filologi dan sejarah, keilmuan sosial dan fenomenologi, tetapi tanpa menafikan pendekatan “normatif” atau keagamaan.
Menurut Yinger, selama ini studi agama sering terbentur pada rintangan pertama, yaitu problem definisi (many studies of religion stumble over the first hurdle, the problem of definition). Oleh karena itu, langkah pertama yang ditempuh Adams dengan menjelaskan terlebih dulu istilah kunci, yakni Islam dan agama, merupakan pilihan yang tepat. Salah seorang staff pengajar Institute of Islamic Studies, McGill University ini menjelaskan konsep agama dari dua perspektif, yakni inward experience dan outward behavior.
Dengan dua perpspektif ini, Adams tampak berupaya mengurangi sedapat mungkin pendefinisian agama yang reduksionis. Pendekatan ini terbukti memang cukup efektif untuk mencakup beberapa dimensi agama yang dikemukakan oleh tokoh-tokoh lain. Di antaranya, analisis religion commitment Glock dan Stark, bahwa keberagamaan seseorang muncul dalam lima dimensi, yakni ideologis, intelektual, eksperiensial, ritualistik dan konsekuensial. Perspektif Adams di atas mencakup kelima dimensi keberagamaan ini. Termasuk empat dimensi agama dari Ninian Smart, yaitu ritual, naratif, pengalaman dan doktrinal. Begitu juga dengan definisi agama dari Glossop yang diartikan sebagai perhatian manusia (human concern) yang melibatkan lebih dari sekedar muatan intelektual. Agama mencakup perasaan-perasaan, upacara-upacara, praktek-praktek tertentu dan bukan hanya seperangkat kepercayaan. Atau juga dari Yinger, yang mendefiniskan agama sebagai “sebuah sistem kepercayaan dan peribadatan, yang dengan cara itu sekelompok orang berjuang menghadapi problem kehidupan manusia yang tertinggi” (a system of beliefs and practices by means of which a group of people strugle with ultimate problem of human life).
Setelah problem definitif tersebut, studi ilmiah agama dihadapkan pada persoalan teoritis-metodologi. Dalam hal ini, Smart mengingatkan, secara metodologis, teori agama harus bersifat agnostic, dalam arti tidak mengukuhkan dan tidak pula menolak peristiwa transenden maupun yang imanen.
Pandangan Smart ini mengisyaratkan perlunya pendekatan yang tidak semata-mata teologis maupun scientific dalam studi agama. Melainkan sudah semestinya mengarah pada usaha mengkombinasi-kan berbagai pendekatan, yang dalam kategori Adams mengambil tipologi “normatif” dan “deskriptif”. Kombinasi berbagai pendekatan ini pada dasarnya merupakan konsekuensi dari studi ilmiah agama. Dalam pengertian ini, studi agama itu merupakan studi aspektual dan lintas budaya. Artinya, di dalam studi agama harus ada titik temu antara agama dengan aspek-aspek kehidupan manusia, seperti politik, ekonomi, pengalaman keagamaan, nilai-nilai, institusi dan seterusnya. Budaya manusia adakalanya harus bersentuhan dengan agama, dan studi agama harus sering mengkontemplasikan fakta-fakta budaya, politik dan ekonomi.
Menurut Nasr, bahwa yang membangun peradaban umat manusia bukanlah teks, melainkan dialektika manusia dengan realitas pada satu sisi dan dengan teks pada lain sisi. Dari sini lalu timbul kesadaran akan perlunya kombinasi antara “studi teks” dan “kajian tradisi” dalam studi keagamaan. Untuk tujuan ini maka suka atau tidak suka, diperlukan adanya metodologi ilmu-ilmu sosial.
Sejalan dengan Nasr, Smart menyatakan ada tiga model penjelasan dimensional studi agama. Pertama, membedakan agama dan budaya secara vertikal maupun horisontal. Secara vertikal menghendaki agar agama dan budaya itu dibedakan secara substansial. Sedangkan secara horisontal, meniscayakan adanya pendekatan untuk keperluan interpretasi dan pemahaman. Diantara pendekatan itu adalah sosial dan humaniora, seperti sejarah dan filologi. Kedua, persinggungan dengan dimensidimensi sosiologi, antropologi, sejarah, filologi, seni, musikologi dan studi ritual yang lain. Ketiga, dimensi perbandingan. Hal ini diperlukan mengingat ketika berbicara tentang agama dalam beberapa pengertian, kita pasti memerlukan perbandingan, sebab kategori agama yang sebenarnya adalah bersifat lintas budaya.
Adapun secara Antropologis, peneliti harus melihat agama dan praktik-praktik pertanian, kekeluargaan, politik, magic dan pengobatan “secara bersama-sama”. Oleh karena itu, agama tidak bisa dilihat sebagai sistem otonom yang tidak terpengaruh oleh praktik-praktik sosial yang lain.
Atas dasar itu, Barbour dalam bukunya Issues in Science and Religion, mengutarakan perlunya rekonstruksi hubungan antara filsafat, teologi dan studi agama. Sebab, selama ini ketiganya terbiasa sibuk dengan dunianya masing-masing. Kurang ada kesediaan untuk saling menyapa, sehingga perkembangan wacananya tidak melampaui batas spektrum mereka sendiri. Oleh karena itu, diperlukan adanya step point yang mempertemukan langkah mereka.
Studi ilmiah agama merupakan wadah yang tepat bagi perjumpaan berbagai disiplin ilmu dan aliran-aliran filsafat. Terlebih dalam konteks “era baru” yang ditandai dengan mulai besarnya perhatian manusia terhadap persoalan spiritualitas. Pada era yang oleh Harvey Cox diindikasikan dengan munculnya kecenderungan untuk “turning to the East” ini banyak orang di Barat ramai-ramai mencari apa yang disebut dengan The Higher Consciousness.
Dalam konteks itulah, studi keagamaan sepanjang tidak menampilkan bentuk kajian yang bersifat dikotomis-antogonistik, tetapi lebih aspektual, dimensional, komprehensif dan holistis, maka akan memiliki makna signifikan bagi pengembangan ilmu-ilmu keislaman. Melalui bentuk kajian keislaman seperti ini, maka menurut Amin, setidaknya ada beberapa masukan penting. Pertama, dapat meningkatkan kualitas diskursus keilmuan dalam bidang keagamaan yang selama ini sudah berjalan. Kedua, akan membantu menjernihkan duduk perkara kebragamaan manusia. Ketiga, dapat mengantarkan peminatnya memasuki wilayah sosiologi ilmu pengetahuan agama. Keempat, melalui pndekatan sosiologi itu, umat beragama dapat dibantu untuk melakukan struktur fundamental pemikiran teologis yang rigid dan mewaspadai implikasi dan konsekuensinya.
Khusus bagi pengembangan studi keislaman terutama di PTAIN/S, studi keagamaan ini merupakan momentum bagi usaha-usaha intelektual untuk lebih memahami the rich of Islamic heritage. Bagaimanapun, hakikat dan watak Islam berbeda dengan agama-agama dunia mana pun. Terutama, terletak pada persoalan sumber dan kedudukan al-Qur’an sebagai wahyu Tuhan yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. Pada gilirannya, hal ini sangat berpengaruh terhadap perumusan hakikat dan watak kebenaran dalam Islam itu sendiri.
Terutama jika mengingat bahwa dunia Islam sampai hari ini juga belum sepenuhnya berhasil menjawab “ujian epistemologis” yang sangat berat. Bagaimana konsepsi wahyu Tuhan (revelation) mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan di seputar epistemologi, sehingga menjadi pandangan dunia baru yang lebih memadai.
Melalui pendekatan-pendekatan studi keagamaan seperti digagas para intelektual dalam bidang ini akan mendorong studi keislaman segera beranjak dari pendekatan dikotomis-antagonistik menuju dialektis-integralistik. Walaupun demikian, kerja ini pun pada prosesnya akan menjadi persoalan yang sangat rumit. Setidaknya jika menggunakan kerangka penjelasan Waardenburgh, kerumitan itu muncul dalam dua hal. Pertama, dalam melakukan penjarakan atau objektivasi terhadap objek kajian. Kedua, adanya aspek-aspek sakral, suci dan agung di dalam agama. Menempatkan aspek-aspek sakral agama ini pada posisi neutral jelas akan dianggap sebagai bentuk reduk-sionisme agama.
Oleh karena itu, meskipun studi keagamaan ini memberikan makna yang positif bagi perkembangan studi keislaman ke depan, masih diperlukan kesabaran dan kehati-hatian dalam menjalankannya. Keberagamaan muslim yang terus mengalami ongoing process pada saatnya juga akan sampai pada kesadaran akan pentingnya sebuah perubahan.

0 komentar:

  ©by M. Lutfi Mustofa 2009

Kembali ke ATAS