Selamat Datang dalam Web Kajian Islam Ala Indonesia (KIAI)

Keadilan Gender dalam Islam; (Suatu Epilog Metodologi )

Keadilan gender merupakan persoalan yang penting, bukan karena ia terus diperdebatkan dan ditulis oleh para sarjana, tetapi ruang batin manusia sejak awal memang telah dipenuhi oleh kearifan perenial ini. Manusia selama ia masih manusiawi, nuraninya tidak akan pernah membenarkan berbagai bentuk penindasan terhadap sesamanya. Oleh karena itu, ketika manusia dalam pengalaman eksistensialnya menjumpai kesenjangan antara kaum adam dan hawa pada lingkup ekonomi, sosial, politik, hukum, budaya, dan spiritual, tentu saja menyita perhatian para elite-intelektual mereka. Namun, jauh sebelum perjuangan terhadap kemerdekaan perempuan diproklamasikan oleh masyarakat modern, sebenarnya Islam telah menyerukan agar manusia tidak membuat disparitas gender di antara mereka.


“Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa- bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal”. (QS. al-Hujurat:13)
Pandangan Islam terhadap adanya kaum laki-laki dan perempuan jelas tidak pernah membedakannya dari segi jenis kelamin, melainkan lebih kepada komitmen mereka dalam menegakkan moralitas Ilahiah. Namun, sejauh ini perspektif Islam terhadap persoalan tersebut kurang dipahami dan tidak direpresentasikan secara baik oleh umat Islam sendiri. Tidak sedikit dari para sarjana yang keliru dalam memahami perspektif Islam tersebut, memperkuat asumsi mereka hanya dengan melihat praktek-praktek budaya lokal di berbagai daerah. Bahkan, kesalahan ini semakin lengkap dengan adanya kecenderungan dalam menempatkan pemahaman hukum (juristic interpretations) seolah identik dengan Islam itu sendiri.
Atas dasar kekeliruan itulah, ada suatu dorongan akan kebutuhan untuk mengklarifikasi persoalan ini dalam bingkai sumber-sumber utama Islam. Klarifikasi ini dimaksudkan agar menjadi jelas bagaimana pandangan Islam yang sejatinya mengenai keadilan gender. Bagaimana sebenarnya Islam memposisikan kaum perempuan itu secara terhormat dalam teks-teks sucinya adalah suatu konsep yang perlu dimengerti, dan bagaimana para ilmuwan memahami teks-teks suci tersebut merupakan persoalan selanjutnya. Menurut Nasr Hamid, teks bukan unsur utama dalam membangun peradaban, melainkan dialektika manusia dengan realitas pada satu sisi dan dengan teks pada lain sisi justeru yang lebih menentukan. Apabila teks di sini dapat dipahami sebagai representasi agama, dan hasil dialektika umat dengan teks merupakan manifestasi budayanya, maka ketika mengkaji persoalan diskriminasi gender pada tataran agama, meminjam penjelasan Ninian Smart, diperlukan adanya pembedaan secara vertikal maupun horisontal terhadap agama dan budaya. Secara vertikal, menghendaki agar agama dan budaya itu dibedakan secara substansial. Sedangkan secara horisontal, meniscayakan adanya metodologi atau pendekatan untuk keperluan interpretasi dan pemahaman.
Suatu Kerangka Metodologi
Menempatkan Islam dalam sebuah perbincangan tentang persoalan-persoalan sosial seperti ini bukanlah pekerjaan yang mudah. Upaya tersebut meniscayakan adanya pembedaan secara jelas antara ajaran-ajaran normatif Islam dengan beraneka ragam praktek-praktek budaya para pemeluknya, yang boleh jadi konsisten atau tidak konsisten dengan ajaran-ajaran Islam. Untuk itu, diperlukan pembahasan tentang ajaran-ajaran normatif Islam yang memandang keberadaan dan peran perempuan di masyarakat sebagai kriteria utama dalam menilai praktek-praktek masyarakat muslim dan untuk mengevaluasi kepatuhan mereka terhadap Islam.
Dalam rangka mengidentifikasi makna Islam ini, perlu dibedakan secara tegas antara sumber utama Islam (primary source of Islam)--al-Qur’an dan Sunnah--dengan pemikiran fiqh para sarjana muslim (ulama’) dalam memandang persoalan-persoalan yang spesifik. Selain itu, proses mengeluarkan hukum-hukum dari sumber utama itu juga harus difahami sebagai fungsi kemanusiaan (ijtihadiy). Artinya, bahwa setiap gagasan dan pemikiran yang timbul dari proses interpretasi teks selalu dipengaruhi oleh kondisi kesejarahan, sosial, dan kebudayaan. Dengan demikian, gagasan dan pemikiran manusia itu menjadi tidak bersifat otoritatif dan finalistik dalam pandangan wahyu. Produk ijtihadiy dalam bidang apapun, selama mesin produksinya adalah manusia--siapapun dia--maka sifat kebenarannya tetap saja relatif. Relatifitas gagasan dan pemikiran manusia ini membawa pada konskuensi, bahwa setiap rumusan intelektualisme Islam mengenai persoalan kesejarahan apapun harus selalu diposisikan terbuka terhadap berbagai koreksi dan perubahan.
Di sisi lain, al-Qur’an sebagai sumber pandangan hidup masyarakat muslim pada realitasnya selain memiliki dimensi normatifnya sendiri juga memuat dimensi kesejarahan, sehingga membuatnya dapat diinterpretasi sesuai dengan semangat dan kebutuhan manusia dalam periode sejarah serta konteks sosial manapun. Abdullah Darraz, sebagaimana dikutip Quraish Shihab, menggambarkan keluwesan redaksi al-Qur’an itu bagaikan intan yang setiap sudutnya memancarkan cahaya yang berbeda dengan apa yang terpancar dari sudut-sudut lain, dan tidak mustahil jika seseorang mempersilakan orang lain memandangnya, maka ia akan melihat lebih banyak dari apa yang ia lihat. Arkoun lebih jauh menjelaskan bahwa jika al-Qur’an dapat dibaca, maka tentunya dapat pula ditafsirkan dengan berbagai pendekatan dan cara. Kaum muslim yang berpegang pada satu pembacaan atau penafsiran tertentu saja, sesungguhnya mereka tidak menyadari berbagai kerumitan dalam memahami al-Qur’an dan mengabaikan kedalaman serta kekayaannya. Itu sebabnya, ulama terus melakukan penafsiran terhadap al-Qur’an. Penafsiran yang mereka lakukan dari generasi ke generasi terus pula mengalami perubahan dan perkembangan corak, kodifikasi maupun metodenya.
Oleh karena itu, dalam proses interpretasi terhadap sumber utama Islam di atas setidaknya dapat memperhatikan hal-hal berikut ini:
1. Konteks pernyataan atau perintah di dalam al-Qur’an maupun Sunnah. Terkait dengan al-Qur’an, hal ini mencakup konteks surat maupun ayat seperti yang tercatat, dan juga perspektif umum Islam, ajaran-ajaran, dan pandangan dunianya. Aplikasi yang sama juga dapat diberlakukan pada pembacaan teks-teks sunnah Nabi.
2. Peristiwa pewahyuan, yakni latar belakang sejarah yang menyajikan alasan-alasan atau sebab-sebab utama yang mendasari turunnya wahyu. Hal ini dapat membantu menjelaskan makna suatu ayat dalam al-Qur’an maupun peristiwa atau kejadian yang menyertai pernyataan atau tindakan Nabi Muhammad Saw.
3. Peranan sunnah dalam menjelaskan dan mendefinisikan makna teks al-Qur’an.
Menurut Amina Wadud, agar pembacaan terhadap al-Qur’an memiliki makna bagi kehidupan perempuan di era modern, maka selain pemahaman terhadap konteks saat al-Qur’an diwahyukan, pengertian terhadap komposisi gramatikal teks saat menuturkan pesan, dan teks secara keseluruhan yang menjadi pandangan dunia (weltanschauung) Islam mengenai perempuan juga mesti diperhatikan, sehingga posisi kaum perempuan dalam kitab suci dapat dicerna secara memadai. Kecuali itu, sebagaimana Fazlur Rahman, bagi Amina meskipun suasana umum maupun khusus yang melatari penurunan wahyu berlaku tertentu, namun pesan yang terkandung di dalamnya jelas tidak terbatas pada waktu atau suasana historis tersebut. Agar seorang pembaca dapat mengungkap makna sebenarnya suatu teks dalam al-Qur’an, maka ia harus memahami maksud ungkapan-ungkapan tersebut menurut waktu dan suasana penurunannya.
Untuk dapat memahami makna yang menjelaskan maksud dari prinsip dan ketetapan suatu ayat atau surat dalam al-Qur’an, maka seseorang perlu merujuk kepada sunnah. Salah satu prosedur penafsiran terhadap al-Qur’an yang kerap dilupakan oleh para pejuang feminis modern. Padahal sunnah yang autentik merupakan sumber utama ajaran Islam yang kedua, setelah al-Qur’an. Sunnah memainkan peran penting dalam memberikan arti, menjelaskan, dan mengelaborasi teks al-Qur’an. Misalnya, rukum Islam yang kedua, shalat, disebutkan di dalam al-Qur’an namun tanpa ada perincian tentang tata cara pelaksanaannya. Perincian mengenai tata cara melaksanakan sholat tersebut justru diperoleh dari Nabi Muhammad berdasarkan bimbingan Jibril.
Oleh karena itu, sebagaimana penuturan Badawi, sikap tidak peduli atau mengabaikan terhadap sunnah dapat membawa pada kesalahan yang serius dalam menafsirkan al-Qur’an. Pada saat yang sama, pemaknaan secara literal atau leksikal tentang suatu istilah yang dipakai dalam al-Qur’an mungkin juga bukan merupakan pemaknaan yang tepat jika Nabi telah memberikannya arti tertentu. Kesalahan juga bisa berlipat-lipat ketika pendefinisian secara literal yang keliru diterjemahkan dari teks Arab al-Qur’an yang asli ke dalam bahasa lain, yang boleh jadi kata-kata yang dipakai memiliki konotasinya sendiri.
Pembacaan secara harfiah (literal) dan parsial terhadap teks-teks suci, seperti al-Qur’an dan Hadis telah memberikan kesan terhadap Islam sebagai agama yang turut berpartisipasi dalam pembentukan dan pengabadian budaya patriarkhi yang bias gender. Misalnya, penafsiran terhadap ayat 34 dari Surat an-Nisa’ dan ayat 228 dari Surat al-Baqarah, hampir kebanyakan penafsir klasik maupun modern melegitimasi superioritas kaum laki-laki dalam perspektif Islam. Padahal, jika pengertian kedua ayat tersebut dikon-firmasikan terhadap ayat lainnya dan pada pandangan umum al-Qur’an tentang manusia, maka keduanya sama sekali tidak dimaksudkan oleh Tuhan untuk menegaskan bahwa kaum perempuan berada pada posisi subordinat di hadapan laki-laki, apalagi untuk membenarkan tindakan kekerasan suami pada istrinya.

0 komentar:

  ©by M. Lutfi Mustofa 2009

Kembali ke ATAS