Selamat Datang dalam Web Kajian Islam Ala Indonesia (KIAI)

Posisi Strategis Pesantren sebagai Locus Humaniora

Pesantren, sebagaimana tampak dari kajian para ahli, memiliki posisi sentral dan strategis dalam kehidupan masyarakat. Posisi ini terkait dengan keberadaan pesantren sebagai tempat bermuaranya kreativitas budaya masya-rakat pedesaan. Horikoshi menunjukkan bahwa peran pesantren bagi kehidupan masyarakat di pedesaan sangat penting dan akan tetap potensial, karena selain dari keberadaannya yang tersebar merata di Jawa dan kebanyakan terletak di Jawa Timur, juga dari tradisinya yang mempunyai bentuk tersendiri. Dari sudut pandang tradisi tersebut, bahkan, para ahli itu melihat kedudukan pesantren sebagai subkultur dalam kebudayaan Jawa sangat jelas.
Kedudukan tradisi pesantren sebagai subkultur tersendiri di antaranya dapat dilihat dari kaitan pendidikan humaniora, yang mengajarkan nilai-nilai kemanusiaan--sebagai bagian integral dalam sistem budaya Jawa--dengan konsep-konsep epistemologis dari sistem pengetahuan pesantren. Dalam konteks ini pesantren menunjukkan kandungan nilai-nilai subkultur yang penuh kearifan (wisdom), sehingga Kuntowijoyo menyebutnya sebagai salah satu loci pendidikan humaniora pada masyarakat Jawa. Menurutnya, meskipun selalu ditemukan kandungan pendidikan secara lintas subkultur, namun pesantren bersama-sama dengan istana dan perguruan--sebagai dua locus pendidikan humaniora lainnya--adalah yang secara keseluruhan membentuk budaya Jawa.


Kajian-kajian terkini tentang masyarakat Jawa menunjukkan, bahwa studi tentang Jawa memang tidak bisa dipisahkan dari pemahaman secara memadai terhadap Islam. Kegagalan riset Geertz, kalau dapat dipandang demikian, tentang “agama” Jawa ialah karena kecerobohannya dalam menilai status Islam secara simpang siur, dan tidak melihatnya sebagai sebuah tradisi muslim yang besar. Islam yang sudah dipeluk sejak abad ke-13 M. telah menjadi bagian dari mata rantai sejarah Jawa, sehingga merupakan pusat tradisi yang kokoh. Kekokohan tradisi Islam ini salah satu faktornya yang terpenting adalah ia dipandang memiliki ajaran kesamaan yang mampu mencairkan tatanan hirarkis masyarakat, sehingga dapat diintegrasikan ke dalam pola budaya, sosial, dan politik sampai ke daerah-daerah pedalaman Jawa.
Perlunya Produksi dan Reproduksi Humaniora Pesantren
Pendekatan dalam mengajarkan Islam dengan mengedepankan wajah budaya itu pada perjalanan sejarahnya merupakan tradisi yang berkembang di pesantren. Melalui tradisi pesantren itulah beberapa unsur budaya Jawa tetap terpelihara, meskipun dengan cara mensubordinasikannya ke dalam nilai-nilai Islam. Suatu cara dalam mengintrodusir Islam yang sering dikritik kelompok modernis sebagai sinkretik, lemah, dan tidak konsisten. Namun, dengan cara itu Islam di Jawa justru mengalami kemajuan yang meyakinkan dan menjadi alternatif terhadap keseluruhan pandangan dunia masyarakat Jawa.
Banyak ahli melihat kedatangan Islam ke Jawa melalui Gujarat adalah dalam suatu bentuk yang sangat dipengaruhi oleh sufisme, dengan akhlakul karimah (budi luhur) sebagai cita-cita utama dari nilai-nilai kemanusiaannya, yang ekuivalen dari laku utama dalam tradisi Jawa. Hal ini merupakan faktor yang menguntungkan bagi masuknya agama Islam, karena ia dapat diterima dan diintegrasikan dengan mudah ke dalam sistem struktur Jawa. A.H. Johns berpendapat bahwa tradisi pesantren itulah yang paling menentukan watak kerajaan-kerajaan Islam, dan yang memegang peranan paling penting bagi penyebaran Islam sampai ke pelosok-pelosok.
Nilai-nilai kemanusiaan pesantren dengan akhlakul karimah sebagai cita-cita utamanya itu, secara terus menerus dibentuk melalui pemahaman literal tentang ajaran Islam, pola kepemimpinan kiai-ulama, mata pelajaran formal yang digali dari berbagai kitab kuning (literatur Islam klasik), serta pola kehidupan kultural yang terefleksi dari upacara-upacara dan pengalaman keagamaan ataupun kemanusiaan di lingkungan pesantren. Pemahaman literal tentang ajaran Islam dalam literatur klasik merupakan sumber pengambilan nilai, dan pola kepemimpinan kiai-ulama adalah model implementasinya dalam kehidupan nyata. Adapun kehidupan kulturalnya merupakan sarana pendidikan humaniora tersendiri yang secara informal telah banyak memberi pengalaman kemanusiaan kepada para santri dan masyarakat pesantren.
Apabila banyak ahli melihat kehidupan masyarakat pedesaan di Jawa dipenuhi dengan nilai-nilai humaniora, maka pemandangan tersebut terbentuk bukan sepenuhnya karena sifat alami dari masyarakat agraris, namun juga merupakan hasil asimilasinya dengan pendidikan humaniora pesantren. Seperti diakui oleh Kuntowijoyo, bahwa melalui pola komunikasi kiai-santri, tradisi pesantren itu terpelihara hingga ke desa-desa. Hubungan antara pesantren dan pedesaan selalu terjaga karena sejumlah santri, yang pada umumnya berasal dari desa, selalu berhubungan dengan kiai sekalipun telah lama meninggalkan masa pendidikan formalnya di pesantren. Selain itu, hubungan pesantren dan nilai-nilai humanioranya itu dengan pedesaan juga terpelihara melalui ikatan persaudaraan tarekat. Hampir setiap pesantren di Jawa dicirikan dengan keterkaitannya dalam jalinan mata rantai tarekat. Bagi pesantren, tarekat yang kaya dengan nilai-nilai etik dan memiliki tingkat kedisiplinan yang keras merupakan pendidikan humaniora tersendiri yang efektif bagi para santri. Dari bentuk-bentuk hubungan antara guru (mursyid) dan murid (salik) yang bukan saja bersifat kemanusiaan, namun juga spiritual (ketuhanan) karena diikat oleh sebuah perjanjian setia (bai’at) menjadikan tarekat ini sebagai media komunikasi dan sarana dakwah yang sangat kuat dan efektif. Oleh karena itulah, nilai-nilai kemanusiaan pesantren yang sangat kuat diwarnai oleh akhlakul karimah dari gerakan tarekat ini dapat bersemayam di kalangan masyarakat pedesaan.
Kandungan nilai-nilai subkultur pesantren tersebut, menurut Dhofier, sejak awal merupakan kerangka sistem pendidikan Islam tradisional di Jawa, yang memperoleh perhatian besar dari para pengkaji Islam di Indonesia. Bahkan dalam perkembangan kontemporer, pesantren bukan saja menarik perhatian para islamisist namun juga indosianist. Hal terakhir ini disebabkan oleh kenyataan, bahwa tradisi pesantren itu sangat kompleks sehingga ia juga sering dilihat sebagai entitas politik yang sangat besar, karena para kiai sebagai pemimpinnya memiliki pengaruh dan kharisma yang kuat di masyarakat. Karena perkembangan kontemporer Islam di Indonesia yang cenderung diwarnai--sebagai akibat dari fenomena reformasi--oleh isu-isu politik itulah, sehingga jarang sekali orang yang melihat pesantren sebagai medium budaya dalam kehidupan masyarakat Jawa. Suatu fungsi pesantren yang untuk sekarang ini, menurut Abdurrahman, “diredupkan” oleh peranan politiknya.
Produksi dan reproduksi humaniora di pesantren merupakan aspek yang sangat fundamental, karena keduanya merupakan proses dinamis yang ada dari dan dalam pesantren. Dalam perspektif Giddens, reproduksi hubungan dan praktik sosial sekaligus merupakan suatu proses produksi, sebab ia tidak dilakukan oleh subyek yang pasif. Menurutnya, struktur merupakan suatu medium dan juga sekaligus hasil (outcome), sebab suatu struktur sosial dapat dipandang sebagai sistem aturan dan sumber yang diproduksi oleh agensi manusia, di mana proses dan hasil produksi tersebut hanya mungkin terjadi bila tersedia struktur yang menjadi mediumnya. Dalam konteks ini, pesantren sebagai suatu sistem budaya merupakan medium sekaligus hasil yang diproduksi oleh individu-individu di dalamnya.
Dalam pengertian yang lebih luas, proses produksi dan reproduksi itu juga merupakan suatu proses yang memiliki relevansi yang tinggi dalam studi Islam di Indonesia, khususnya tentang pesantren di Jawa, karena perubahan sosial yang begitu cepat disadari atau tidak telah membawa pesantren pada suatu kesadaran tentang perlunya proses penyesuaian diri secara struktural maupun kultural. Meskipun adaptasi itu sendiri, menurut Freire, merupakan bentuk pertahanan diri yang paling rapuh, tetapi pesantren di Jawa Timur melihat hal ini tetap diperlukan agar pendidikan pesantren dalam perkem-bangannya tidak kehilangan konteks dan makna empiriknya. Namun, tentu saja tidak melulu beradaptasi, karena hanya dengan adaptasi, pendidikan tidak akan mampu mengubah dunia. Sebab, pendidikan sebagai suatu proses humanisasi menghendaki agar manusia menjadi subyek. Menjadi subyek dalam kaitannya dengan dunia, meminjam istilah Freire, adalah memberi arti temporal terhadap dunia dengan melakukan proses produksi dan reproduksi budaya.
Lebih dari itu, adaptasi tersebut sangat diperlukan bukan saja agar pesantren tetap survive, namun karena proses teknologisasi telah mengubah hakikat manusia itu sendiri. Manusia tidak hanya mengalami mekanisasi dalam hari-hari kerja maupun waktu luangnya, tetapi juga telah kehilangan kualitas kepribadiannya. Di tengah situasi tidak terelakkannya human technique ini, Jaques Ellul menaruh harapan besar pada agama sebagai jalan pembebasan dari kungkungan teknik. Jika analisa Ellul tersebut dapat dibenarkan, tanpa perlu menunggu Indonesia menghadapi gejala depersonalisasi dan dehumanisasi tersebut, maka diperlukan adanya lingkungan sosial yang mampu menumbuhkan kesadaran tentang perlunya humanisme baru, yang mengajarkan kearifan (wisdom), mendidik bagaimana menjadi manusia. Di sinilah pesantren sebagai locus pendidikan humaniora dapat menjadi kekuatan dalam melakukan proses produksi maupun reproduksi semesta simbolik.
Akan tetapi, proses produksi dan reproduksi semesta simbolik itu akan disertai dengan konskuensi-konskuensi. Misalnya, proses reproduksi terhadap foto biasanya memang memberikan kemungkinan hasil yang lebih baik dari gambar aslinya. Namun, di sana tentu saja ada beberapa dimensi asalnya yang hilang atau mengalami perubahan. Begitu pula kemungkinannya yang akan terjadi pada proses reproduksi budaya di pesantren, ada dimensi-dimensi asal yang dimungkinkan hilang atau setidaknya mengalami pemudaran. Atas dasar itu, dengan memakai ketiga aspek dalam sistematika William di atas, kajian ini selain untuk mendalami proses pelembagaan humaniora di pesantren; bentuk-bentuk atau kandungan pendidikan humaniora tersebut; dan efek psiko-sosial yang dikehendaki dari pendidikan humaiora pesantren terhadap kehidupan masyarakat; juga untuk menelusuri unsur-unsur humaniora apa saja yang hilang dari pesantren sebagai akibat dari proses reproduksi budaya dimaksud.
Humaniora Pesantren dalam Perspektif Teoritik dan Praktik
Istilah humaniora merupakan turunan dari bahasa Latin kuno humanus yang berarti manusiawi, berbudaya, dan halus. Dalam bahasa Inggris, searti dengan istilah the humanities, yang bisa berarti nilai kita sebagai homo humanus atau manusia berbudaya. Encyclopaedia Britannica mengartikan the humanities sebagai sejenis pengetahuan yang berkenaan dengan nilai-nilai manusia dan ekspresi-ekspresi dari jiwanya. Ada juga sebagian orang yang mendefinisikan humaniora sebagai seperangkat sikap dan perilaku moral manusia terhadap sesamanya.
Sejalan dengan pengertian literal istilah humaniora di atas, pembagian Kuntowijoyo tentang adanya tiga lingkungan tempat manusia hidup, yaitu lingkungan material, lingkungan sosial, dan lingkungan simbolik mungkin dapat membantu dalam memperjelas maksud yang dikehendaki dari penggunaan istilah ini. Lingkungan material adalah lingkungan buatan manusia, seperti rumah, jembatan, sawah, dan peralatan-peralatan. Lingkungan sosial ialah organisasi sosial, stratifikasi, sosialisasi, gaya hidup dan sebagainya. Adapun lingkungan simbolik ialah sesuatu yang meliputi makna dan komunikasi, seperti kata, bahasa, mite, nyayian, seni, upacara, tingkah laku, benda-benda, konsep-konsep, dan sebagainya. Sedangkan Cassier, sebagaimana dikutip Kuntowijoyo, menambahkan bentuk-bentuk simbolik itu juga meliputi agama, filsafat, ilmu, dan sejarah. Dalam konteks ini, humaniora dipahami sebagai sebuah kerangka pendidikan (liberal education) yang mengajarkan perihal wisdom, yakni mendidik bagaimana menjadi manusia. Ta’rif terhadap humaniora seperti ini sejalan dengan maksud yang dikehendaki dari lingkungan simbolik tersebut, sebab mendidik bagaimana menjadikan manusia manusiawi, dalam arti berbudaya, adalah sutau sikap atau tindakan yang sarat dengan makna.
Oleh karena itu, semua bentuk-bentuk simbol di atas merupakan obyek kajian humaniora, karena salah satu fokus kajiannya memang sekitar masalah makna, yakni nilai-nilai intrinsik dari suatu simbol. Dengan demikian, humaniora berkepentingan dengan kesinambungan lingkungan simbolik di atas, sebab seperti ditegaskan Huizinga, humaniora juga merupakan sebuah ilmu yang committed, dalam arti ia juga berkepentingan terhadap kelangsungan hidup obyeknya. Atas dasar itu, humaniora bukan saja mempelajari dan merepro-duksi simbol, namun juga harus menyadari bagaimana simbol-simbol dipro-duksi oleh individu dan masyarakat.
Kerangka pendidikan humaniora dimaksud secara sosiologis memiliki kedekatan dengan dunia pesantren, sebab ia merupakan cultural engineering masyarakat Jawa, yang erat kaitannya dengan latar belakang struktural sebuah masyarakat agraris. Sedangkan pesantren merupakan sumber penting bagi pendidikan humaniora masyarakat agraris di pedesaan. Tidak diragukan lagi bahwa pesantren merupakan lingkungan sosial yang kaya dengan sumber-sumber makna dan simbol itu. Dalam artikel, The Principles of Education in Pesantren, Mastuhu menjelaskan bahwa tujuan utama dari pendidikan di pesantren adalah mencari wisdom berdasarkan ajaran Islam untuk meningkat-kan pemahaman tentang makna hidup serta merealisasikan tanggung jawab dan tertib sosial.
Selain dari mata ajaran keislaman yang ada di dalamnya, makna dan simbol itu juga mengalir dari upacara-upacara dan kesenian yang memberikan pengalaman keagamaan dan kemanusiaan khas pesantren. Gambaran perihal pendidikan kemanusiaan, misalnya terlukiskan dengan baik dalam cerita pendek Djamil Suherman, Umi Kalsum, yang mengungkap kisah upacara mauludan di pesantren. Dalam karya Saifudin Zuhri, Guruku Orang-orang dari Pesantren, tampak pula bahwa upacara manakiban yang dilaksanakan di pesantren untuk memperingati sejarah Syekh Abdul Qadir al-Jailani juga sarat dengan muatan spiritual dan nilai-nilai kemanusiaan.
Dari bidang kesenian, makna dan simbol-simbol pendidikan humaniora pesantren misalnya tercermin dalam seni musik gambus, pembacaan Kitab Barzanji, dan seni bela diri (pencak strom atau karomah). Ketiga bentuk seni pesantren tersebut tidak diragukan telah menciptakan jenis kepribadian yang tersendiri bagi para santri maupun masyarakat pedesaan pesantren. Musik gambus dan pembacaan Barzanji, misalnya, merupakan sebuah pernyataan estetik kaum santri yang mencerminkan cita-cita hidup pesantren yang kaya dengan muatan etik dan teologis. Begitu juga dari seni beladiri pencak strom atau silat karomah terpantul etika kewiryaan atau keberanian dalam menegak-kan kebenaran yang dijunjung tinggi oleh para santri.
Atas dasar itu, Bachtiar menilai kajian Geertz dalam The Religion of Java, telah membuat suatu uraian yang tidak adil mengenai pembentukan simbol pada masing-masing varian masyarakat Jawa, abangan, santri, dan priyayi. Menurutnya, Geertz sama sekali tidak memberikan ruang dalam bukunya itu untuk mengungkap sebagian kecil dari pembentukan makna dan simbol-simbol di kalangan santri, hal yang tidak dilakukannya kepada varian lain, priyayi dan abangan. Untuk priyayi, Geertz memberi ulasan yang luas perihal kesenian klasik dan kontemporer. Sedangkan untuk abangan disebut-kan simbol-simbol berupa magis, mitologi, dan ritual.
Walaupun demikian, terlepas dari beberapa kritik atas kelemahan Geertz dalam memahami apa yang disebutnya sendiri sebagai agama Jawa, studinya tentang Islam dan khususnya perihal pesantren pada tahun 1960-an telah menarik perhatian banyak ahli lainnya kepada posisi istimewa (crucial) kiai dan pesantren dalam penelitian tentang Islam Indonesia.
Setelah studi yang dilakukan oleh Geertz tersebut, banyak ahli dan sarjana yang mengkaji Islam tradisional dengan menggunakan kerangka dan cara yang berbeda-beda. Disparitas metodologis dalam studi tentang Islam Indonesia ini terjadi, karena realitas dan permasalahannya ternyata memang sangat kompleks. Pada tahun 1976, Horikoshi melakukan penelitian tentang peranan kiai (ajengan) di Jawa Barat dalam mempertahankan diri dari berbagai perubahan sosial. Sedangkan Dhofier, dalam disertasinya yang berjudul The Pesantren Tradition: A Study of the Role of the Kiai in Maintenance of the Traditional Ideology of Islam in Java (1980) membahas apa yang disebutnya sendiri sebagai “tradisi pesantren”, dengan fokus utama pada peranan kiai dalam memelihara dan mengembangkan faham Islam tradisional di Jawa.
Dalam disertasinya, Horikoshi melalui pertimbangan teoritis mengenai konsep ‘mediator’ atau perantara dan ‘cultural broker’ atau pialang budaya, bermaksud menunjukkan kelemahan teori ini, sekaligus melukiskan cara dan strategi yang ditempuh ajengan agar dapat terus bertahan dan memecahkan “posisi sulit” yang dihadapinya dengan melakukan adaptasi secara kreatif terhadap kekuatan-kekuatan perubahan. Menurutnya, teori Geertz tentang kiai sebagai “pialang budaya” itu tidak sepenuhnya benar, sebab pada fenomena yang diamatinya kiai sama sekali bukan seperti bendungan yang hanya berperan “menampung” manivestasi budaya baru secara pasif, melainkan justru dia menampilkan diri secara aktif sebagai “agen pembaharuan”. Di antaranya, berdasarkan temuannya di Cipari Garut, Jawa Barat, kiai tampak berperan aktif dalam melakukan seleksi atas nilai-nilai dan sikap positif yang seharusnya dikembangkan oleh masyarakat. Ini artinya, menurut Abdurrahman, para kiai itu telah melakukan skala prioritas sendiri atas perubahan masyarakat dan mengembangkan kepeloporan mereka dalam proses perubahan tersebut.
Sedangkan Dhofier, melalui studi disertasinya tersebut, mengemukakan kerangka pendidikan Islam tradisional pesantren dan pola hubungan kiai-santri di dalamnya. Ia juga mengungkapkan adanya berbagai macam jaringan (network)--seperti jaringan transmisi ilmu, jalinan saling memasok santri di antara pesantren tertentu, dan jaringan kekerabatan antarkiai melalui sistem perkawinan endogamis--yang sengaja diciptakan oleh para kiai sebagai upaya untuk memelihara tradisi pesantren. Selain itu, sebagai fokus utama dari disertasinya, Dhofier secara rinci menguraikan tentang nilai-nilai, pandangan hidup, dan elemen-elemen dalam kehidupan pesantren. Namun, karena pendekatannya yang menekankan pada analisa kelembagaan, sehingga perihal nilai-nilai dan pandangan hidup pesantren itu tidak dilihatnya secara lebih khusus dalam kerangka pendidikan humaniora.
Studi-studi lainnya, seperti dilakukan oleh Mansurnoor (1990), Pradjarta (1994), Endang (1996), dan Mas’ud (1996), tentang kedudukan, peran, dan dinamika yang dimainkan oleh pesantren maupun kiai dalam konteks sosial, budaya, maupun politik menunjukkan arti penting pesantren dalam perkem-bangan modern Islam Jawa. Namun, di antara studi-studi terdahulu tersebut belum ditemukan suatu bahasan yang mendalam perihal pelestarian humaniora di pesantren. Dalam setiap kajian itu, memang disebutkan bahwa pesantren merupakan medium atau institusi budaya yang sarat dengan nilai-nilai, seperti dinyatakan Mas’ud, pelestarian budaya lokal merupakan salah satu ciri yang menonjol dari budaya pesantren. Akan tetapi, semua itu hanya sebatas diasumsikan, dan belum sampai diterangkan secara mendalam. Di sinilah kajian tentang humaniora pesantren menjadi mendesak dilakukan agar dapat memberikan keterangan secara mendalam tentang peran pesantren dalam memelihara humaniora di Jawa.

0 komentar:

  ©by M. Lutfi Mustofa 2009

Kembali ke ATAS