Selamat Datang dalam Web Kajian Islam Ala Indonesia (KIAI)

Tradisi Pesantren: Kesinambungan dan Perubahan di Era Kontemporer Indonesia

Dalam pengertian yang paling sederhana, tradisi--seperti dikatakan Shils--berarti segala sesuatu yang disalurkan atau diwariskan dari masa lalu ke masa kini (it is anything which is transmitted or handed down from the past to the present). Semua yang ditransmisikan itu bisa berupa objek fisik ataupun suatu konstruksi budaya, tanpa dipersoalkan berapa lamanya maupun cara diwariskan-nya, secara lisan ataukah tertulis. Menurut Sztompka, yang terpenting bahasan perihal tradisi itu mencakup kesinambungan masa lalu di masa kini ketimbang sekadar menunjukkan fakta bahwa masa kini berasal dari masa lalu.


Dengan demikian, pesantren sebagai lembaga pendidikan tradisional yang menitikberatkan pada pendalaman ilmu-ilmu agama Islam (tafaqquh fiddin) menyiratkan suatu tatanan sosial yang mewarisi kontinuitas tradisi Islam yang telah dialirkan ulama dari masa ke masa, tidak terbatas pada periode tertentu dalam sejarah Islam, seperti periode kaum Salaf, yaitu periode para sahabat Nabi Muhammad dan tabi’in senior. Proses transmisi objek fisik dan konstruksi budaya, atau--meminjam istilah Sztompka--transmisi material dan gagasan yang mencakup bangunan, bentuk arsitektur, maupun sistem kepercayaan, keyakinan, simbol, norma, nilai, aturan, dan ideologi di pesantren tadi, bahkan, harus dipahami sebagai suatu proses dialektis yang boleh jadi melahirkan kesinambungan atau, sebaliknya, justeru perubahan. Hal ini sangat ditentukan oleh kualitas psikologi, berupa sikap dan orientasi pikiran manusia di masa kini dalam memahami tradisi yang berasal dari masa lalu.
Dilihat dari kemunculannya, pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia. Usianya boleh jadi sama tuanya dengan usia Islam di nusantara, sehingga bila kemunculan suatu tradisi itu salah satunya adalah melalui mekanisme “paksaan” individu yang berpengaruh, maka sesungguhnya tradisi pesantren memiliki sumber-sumber klasik yang kaya. Dilihat dari kedekatan hubungan dengan sejarah masuknya Islam ke Jawa, maka pesantren selain men-jadi bagian dari mata rantai pendidikan Islam universal atau--meminjam bahasa Nurcholish--identik dengan makna keislaman, ia juga “mengandung makna ke-aslian Indonesia (pen. Jawa)”, karena pesantren muncul dan berkembang dari pengalaman sosiologis masyarakat lingkungannya (indigenous).
Sebagai lembaga yang identik dengan makna keislaman, pesantren sejak awal berdirinya merupakan lembaga pendidikan agama (tafaqquh fiddin) yang menitikberatkan (takhassus) pada bidang keislaman. Itu sebabnya, yang diajar-kan oleh pesantren pada umumnya adalah ilmu-ilmu keislaman yang mencakup bidang akidah, syari’ah, dan akhlak--masing-masing dengan jabaran ilmunya, seperti ilmu tauhid, fiqh dan ushul fiqh, dan tasawuf--serta ilmu-ilmu yang ber-kaitan, misalnya, ulumul qur’an (dengan segala perinciannya, seperti asbabun nuzul, ilmu ta’wil, nasikh-mansukh dan seterusnya) hadits dan ulumul hadits (dengan pasal-pasal di dalamnya, misalnya, mustholahul hadits, asbabul wurud, rijalul hadits dan seterusnya) serta tarikh, hingga ilmu-ilmu alat sebagai penun-jang, seperti ilmu tajwid, nahwu, sharaf, i’lal, sya’ir/ilmu ‘arudl, ilmu mantiq, falaq, fara’id, hisab, adabul bahtsi wal munadzarah (metode berdiskusi), thibb (pengobatan), dan thobaqat (biografi ulama).
Secara umum, ilmu-ilmu keislaman yang diajarkan oleh pesantren ber-muara dari madzhab ahlu sunnah wa al-jama’ah, suatu faham keagamaan yang pada masa abad pertengahan Islam menjadi bahan kontroversi di antara banyak aliran, karena masing-masing saling mengklaim dirinya sebagai ahlu sunnah wa al-jama’ah, sehingga pengertian istilah ini kemudian menjadi kabur. Ada yang menggunakannya dalam pengertian yang luas (‘am) dan ada pula yang memberi arti terbatas (muqayyad). Dalam artian luas mencakup semua kelompok, selain Syi’ah, sehingga Mu’tazilah pun termasuk di dalamnya, sebagaimana Asy’ariah. Sedang dalam arti terbatas, dikhususkan pada pengikut al-Asy’ari saja, sehingga al-Maturidi pun tidak termasuk. Namun, para kiai atau ulama’ di nusantara, khususnya yang tergabung dalam Jam’iyyah Nahdlatul Ulama, mengartikan faham ahlu sunnah wa al-jama’ah tersebut lebih terbatas lagi, seperti dijelaskan oleh K.H. Bisyri Musthafa, yaitu faham yang berpegang teguh kepada tradisi sebagai berikut:
1. Dalam bidang hukum-hukum Islam, menganut ajaran-ajaran dari salah satu mazhab empat (al-a’immah al-‘arba’ah). Namun, dalam praktek, kiai adalah penganut kuat dari pada madzhab Syafi’i.
2. Dalam soal-soal tauhid, menganut ajaran-ajaran Imam Abu Hasan al-Asy’ari dan Imam Abu Mansur al-Maturidi.
3. Dalam bidang tasawuf menganut dasar-dasar ajaran Imam Abu Qasim al-Junaid al-Baghdadi dan Imam Abu Hamid al-Ghazali.
Dengan komitmen yang tinggi untuk mempertahankan ajaran ahlussun-nah waljama’ah itu, pendidikan keislaman di pesantren didasarkan pada karya-karya intelektual para ulama’ Sunni yang tersebar di berbagai bidang dan ilmu-ilmu keislaman. Terutama Ilmu Aqa’id, yang mencakup Ilmu Tawhid dan Ilmu Ushuluddin, merupakan suatu bidang keilmuan Islam yang mustahil ditinggalkan, karena menjadi tumpuan pemahaman mengenai sendi-sendi paling asasi dalam ajaran agama Islam, yaitu soal kepercayaan, Kemahaesaan Tuhan, dan pokok-pokok ajaran agama. Atas dasar itu, tujuan pengajaran ilmu akidah di pesantren, menurut Nurcholish, adalah untuk menanamkan paham keagamaan yang benar (red. ala ahlussunnah), karena itu pendekatannya pun biasanya doktriner dan tidak jarang juga dogmatis.
Meskipun Ilmu Aqa’id memiliki posisi sentral dalam sistem pengetahuan pesantren, tetapi bila dibanding dengan kajian tentang jurisprudensi Islam (Ilmu Fiqh), maka ia masih kalah mendalam dan meluas. Hal ini selain karena Ilmu Fiqh memiliki kegunaan yang lebih praktis ketimbang Ilmu Aqa’id, sebenarnya juga memperlihatkan betapa watak kajian akidah Islam pada abad pertengahan yang dikotomis-antagonistik telah mendorong pesantren untuk bersikap sangat hati-hati dalam mengajarkan faham, selain ahlussunnah wal jama’ah.
Dengan pengertian seperti dijelaskan K.H. Bisyri Musthafa di atas, penggunaan faham ahlussunnah wal jama’ah merupakan pilihan yang paling sesuai, karena kombinasi antara madzhab al-Asy’ari dan al-Maturidi dinilai dapat menciptakan keseimbangan pada aspek-aspek teologi Islam yang sering diperten-tangkan oleh antaraliran. Atas dasar itu, kajian tentang akidah Islam di pesantren meliputi khazanah kitab dan bahan rujukan yang cukup terbatas, mencakup jenjang-jenjang permulaan dan menengah saja, tanpa atau sedikit sekali menginjak jenjang lebih lanjut (advanced). Misalnya, pada tingkat permulaan biasanya diajarkan Kitab Aqidatul Awam, Khoridatul Bahiyah, al-Jawahirul Kalamiyah, dan Kifayatul Awam. Sedang tingkat menengah dan jenjang lebih lanjut, secara berurutan, adalah Kitab al-Dasuki dan Syarh al-Hikam.
Berbeda halnya dengan bidang fiqh, betapa pun pada disiplin keislaman yang membidangi segi-segi peribadatan dan hukum ini perbedaan antarmadzhab tidak kalah kuatnya dari kawasan akidah, namun ia termasuk ilmu keislaman yang berkategori furu’ (cabang). Sedangkan ahlussunnah wal jama’ah, secara substansial, sebenarnya lebih berkaitan dengan masalah al-ushul (prinsip/pokok) dan tidak berkaitan dengan masalah furu’. Itu sebabnya, kajian tentang Ilmu Fiqh di pesantren meliputi khazanah kitab dan bahan rujukan yang kaya dan beraneka ragam. Begitu kuatnya kajian tentang Ilmu Fiqh ini, sehingga di tengah komunitas pesantren, fiqh bukan hanya berlaku sebagai sebuah norma hukum tetapi juga menjadi corak dari perilaku kaum santri. Bahkan, anggapan tentang pesantren sebagai sebuah subkultur tersendiri, di antaranya, juga karena adanya sebagian konsep fiqh yang telah menyatu dengan kehidupan di dalamnya.
Disiplin keislaman lainnya yang sangat penting dalam pendidikan di pesantren adalah Ilmu Akhlaq. Ajaran-ajaran tentang akhlaq atau moralitas indi-vidu maupun kolektif merupakan alat antisipasi terhadap kebutuhan akan perubahan pandangan dunia yang paling memungkinkan penggunaannya di pesantren. Karena sifatnya yang praktis--dalam arti langsung dipraktekkan dalam kehidupan--apabila pemahaman soal akhlaq ini berorientasi pada aspek-aspek normatifnya yang baku memang bisa mengakibatkan kondisi statis, namun di pesantren ajaran tentang akhlaq itu diarahkan pada wataknya yang antisipatif, sehingga sejumlah prinsip di dalamnya yang secara lentur akan mengarahkan pada perubahan dapat membawa kaum santri pada perubahan itu sendiri.
Memang, sebagaimana dikemukakan Sztompka, bahwa begitu suatu tradisi terbentuk, maka ia dapat mengalami berbagai perubahan, baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Demikian pula halnya yang berlaku pada tradisi pesantren, sebagaimana tesis yang dikemukakan Wahid, bahwa:
Perubahan sosial terjadi dalam tradisi, bukan atas dirinya. Betapapun tradisionalnya suatu masyarakat, ia memiliki kemampuan untuk melakukan perubahan atas pandangan hidupnya. Jika tidak demikian, masyarakat itu sudah mati sejak dini, seperti terbukti dari banyak perkembangan masyarakat. Masyarakat modern manapun, bila diukur dari zamannya sendiri, juga akan mengalami kematian manakala ia dihinggapi kebekuan dan tidak mampu menampung kebutuhan akan perubahan pandangan hidup. Sebaliknya, masyarakat tradisional yang berumur ribuan tahun masih dapat bertahan di panggung sejarah, karena kemampuan melakukan perubahan sosial dalam dirinya.
Namun, perubahan sosial dalam tradisi pesantren itu memang tidak terjadi secara tergesa-gesa, karena pada saat yang bersamaan ia juga dihadapkan pada masalah bagaimana mempertahankan ikatan-ikatan tradisi yang telah ada. Bahkan, jika memungkinkan bagaimana ikatan-ikatan tersebut justeru dimanfaatkan sebagai mekanisme perubahan itu sendiri. Pilihan-pilihan ini merupakan konskuensi logis dari banyaknya tradisi yang dapat mengakibatkan timbulnya benturan antar-tradisi (clash of traditions). Akibat dari benturan itu, hampir tanpa kecuali, setiap tradisi dapat saling mempengaruhi, mendukung, atau memusnahkan. Semua ter-gantung pada kekuatan relatif masing-masing tradisi yang sedang bersaing. Bila kekuatan (artikulasi, daya pikat, cakupan, dan sebagainya) tidak seimbang, maka tradisi yang cukup kuat akan menyerap tradisi saingannya. Namun, apabila tradisi yang berinteraksi hampir sama kuat maka--walaupun unsur-unsur pokok masing-masing dipertahankan--akan terjadi percampuran tradisi, yang pada ujungnya menyebabkan perubahan di kedua pihak.
Dalam konteks Indonesia modern, perubahan-perubahan dalam tradisi pesantren--seperti perubahan sistem pendidikan dari mengajarkan agama secara tradisional melalui kajian kitab kuning ke arah diperkenalkannya madrasah yang menggunakan sistem klasikal dan dilengkapi dengan pengetahuan umum-- adalah sebagian contoh dari proses percampuran tradisi tersebut. Walaupun dengan diperkenalkannya madrasah, pesantren masih dapat mempertahankan unsur pokok dan ciri utama tradisinya, namun sistem pendidikan kolonial Belanda yang membawa nilai-nilai baru telah memaksa kaum santri menguji kemampuan-nya untuk melakukan perubahan atas pandangan dunianya agar sistem pendidikan pesantren dapat bertahan di tengah percaturan tradisi modern. Oleh karena itu, bagi dunia pesantren, usaha-usaha perubahan dalam dirinya bisa diartikan sebagai komitmen menjaga kontinuitas tradisi itu sendiri.
Selain ilmu-ilmu agama Islam di atas yang digunakan secara kreatif oleh kalangan pesantren untuk mengantisipasi kebutuhan akan perubahan, karakter eksistensialnya sebagai lembaga yang “mengandung makna keaslian Indonesia (indigenous)” juga merupakan faktor penting yang membuat pesantren mampu bertahan hingga saat ini. Dari sudut pandang ini, seperti dikemukakan Azyumardi, pesantren muncul dan berkembang dari pengalaman sosiologis masyarakatnya, sehingga antara keduanya terjalin hubungan yang sangat erat.
Hubungan pesantren dan masyarakatnya itu telah dimulai sejak lama, kira-kira sejak kedatangan Islam di nusantara pada abad ke-13 M. Secara historis, sebagaimana para ahli melihatnya, bahwa kedatangan Islam ke Jawa melalui Gujarat adalah dalam suatu pola-pola dakwah yang dapat diterima dan diintegrasikan dengan mudah ke dalam sistem struktur Jawa. Hal ini lantas memberikan keuntungan tersendiri kepada para penyeru agama Islam ketika itu, yaitu dalam hal mendirikan pusat-pusat pendidikan keagamaan mereka tinggal meneruskan dan mengislamkan lembaga pendidikan yang sudah ada pada masa kekuasaan Hindu-Budha.
Pesantren adalah sebuah contoh lembaga pendidikan keagamaan pada masyarakat Jawa yang diteruskan dan diislamkan oleh para mubaligh Islam tersebut. Dalam hal ini A.H. Johns berpendapat, memang tradisi pesantren itulah yang paling menentukan watak kerajaan-kerajaan Islam, dan yang memegang peranan paling penting bagi penyebaran Islam sampai ke pelosok-pelosok. Dengan begitu, dapat dimengerti apabila pada perkembangan selajutnya antara sistem budaya Jawa dengan konsep-konsep epistemologis dari sistem pengetahuan pesantren terjalin hubungan yang sangat erat, sehingga membentuk sebuah sub-kultur tersendiri dalam kehidupan masyarakat Jawa..
Kajian-kajian terkini tentang masyarakat Jawa menunjukkan, bahwa studi tentang Jawa memang tidak bisa dipisahkan dari pemahaman secara memadai tentang pesantren. Kegagalan riset Geertz, kalau dapat dipandang demikian, tentang “agama” Jawa ialah karena kecerobohannya dalam menilai status pesantren secara simpang siur, dan tidak melihatnya sebagai sebuah tradisi muslim yang besar. Kebesaran tradisi Islam tradisional ini selain karena ia sudah dikenal sejak lama, juga dipandang memiliki ajaran kesamaan yang mampu mencairkan tatanan hirarkis masyarakat, sehingga dapat diintegrasikan ke dalam pola budaya, sosial, dan politik sampai ke daerah-daerah pedalaman Jawa.
Di antara ajaran pesantren tersebut adalah nilai-nilai kemanusiaan dengan akhlakul karimah sebagai cita-cita utamanya yang secara terus menerus dibentuk melalui pemahaman literal tentang ajaran Islam, pola kepemimpinan kiai-ulama, mata pelajaran formal yang digali dari berbagai kitab kuning (literatur Islam klasik), serta pola kehidupan kultural yang terefleksi dari upacara-upacara dan pengalaman keagamaan ataupun kemanusiaan. Pemahaman literal tentang ajaran Islam dalam literatur klasik merupakan sumber pengambilan nilai, dan pola kepemimpinan kiai-ulama adalah model implementasinya dalam kehidupan nyata. Adapun kehidupan kulturalnya merupakan sarana pendidikan humaniora tersendiri yang secara informal telah banyak memberi pengalaman kemanusiaan kepada para santri dan masyarakat pesantren.
Apabila banyak ahli melihat kehidupan masyarakat pedesaan di Jawa dipenuhi dengan nilai-nilai humaniora, maka pemandangan tersebut terbentuk bukan sepenuhnya karena sifat alami dari masyarakat agraris, namun juga merupakan hasil asimilasinya dengan pendidikan humaniora pesantren. Seperti diakui oleh Kuntowijoyo, bahwa melalui pola komunikasi kiai-santri, tradisi pesantren itu terpelihara hingga ke desa-desa. Hubungan antara pesantren dan pedesaan selalu terjaga karena sejumlah santri, yang pada umumnya berasal dari desa, selalu berhubungan dengan kiai sekalipun telah lama meninggalkan masa pendidikan formalnya di pesantren. Selain itu, hubungan pesantren dan nilai-nilai humanioranya itu dengan pedesaan juga terpelihara melalui ikatan persaudaraan tarekat.
Hampir setiap pesantren di Jawa dicirikan dengan keterkaitannya dalam jalinan mata rantai tarekat. Bagi pesantren, tarekat yang kaya dengan nilai-nilai etik dan memiliki tingkat kedisiplinan yang keras merupakan pendidikan humaniora tersendiri yang efektif bagi para santri. Dari bentuk-bentuk hubungan antara guru (mursyid) dan murid (salik) yang bukan saja bersifat kemanusiaan, namun juga spiritual (ketuhanan) karena diikat oleh sebuah perjanjian setia (bai’at) menjadikan tarekat ini sebagai media komunikasi dan sarana dakwah yang sangat kuat dan efektif. Oleh karena itulah, nilai-nilai kemanusiaan pesantren yang sangat kuat diwarnai oleh akhlakul karimah dari gerakan tarekat ini dapat bersemayam di kalangan masyarakat pedesaan.
Kandungan nilai-nilai subkultur pesantren tersebut, menurut Dhofier, sejak awal merupakan kerangka sistem pendidikan Islam tradisional di Jawa, yang memperoleh perhatian besar dari para pengkaji Islam di Indonesia. Bahkan dalam perkembangan kontemporer, pesantren bukan saja menarik perhatian para islamisist namun juga indosianist. Hal terakhir ini disebabkan oleh kenyataan, bahwa tradisi pesantren itu sangat kompleks sehingga ia juga sering dilihat sebagai entitas politik yang sangat besar, karena para kiai sebagai pemimpinnya memiliki pengaruh dan kharisma yang kuat di masyarakat. Karena perkembangan kontemporer Islam di Indonesia yang cenderung diwarnai--sebagai akibat dari fenomena reformasi--oleh isu-isu politik itulah, sehingga jarang sekali orang yang melihat pesantren sebagai medium budaya dalam kehidupan masyarakat Jawa. Suatu fungsi pesantren yang untuk sekarang ini, menurut Abdurrahman, “diredupkan” oleh peranan politiknya.

0 komentar:

  ©by M. Lutfi Mustofa 2009

Kembali ke ATAS