Selamat Datang dalam Web Kajian Islam Ala Indonesia (KIAI)

Perkembangan Wacana Tafsir al-Qur'an di Indonesia

Pendahuluan
Sejarah perkembangan intelektualisme Indonesia abad 17–18, sebagaimana diasumsikan Azyumardi, banyak yang terlupakan oleh para peneliti. Sebagian besar perhatian para Indosianis dan ahli Asia Tenggara ditujukan pada persoalan sejarah politik muslim. Padahal, abad 17–18 M. merupakan abad yang paling dinamis dalam sejarah intelektualisme muslim Indonesia. Sebagai misal, pada saat itu muncul ulama besar di Aceh, Abdul Rouf al-Singkili, yang populer dengan karya besarnya dalam bidang tafsir, Turjuman al-Mustafid. Dalam bidang fiqh muncul, Nuruddin ar-Raniri dengan karya monumentalnya, Sirathal Mustaqim, yang ditulis pada tahun 1634 M. dan selesai pada 1644 M. Kemudian, Abdul Shamad al-Palimbani dengan magnum opus-nya, Hidayat al-Salikin, sebuah kitab tasawuf yang berisi aturan-aturan syar’i dengan penafsiran-penafsiran esoteris.


Tradisi intelektual muslim Indonesia tersebut terus terawat hingga abad ke-21 dewasa ini. Beberapa penulis muslim Nusantara telah mempersembahkan karya-karya besar mereka pada paroh terakhir abad ke-20, seperti Buya Hamka, Ahmad Hasan, Hasbi As-Shiddiqi, Mahmud Yunus dan Quraish Shihab. Dalam catatan Federspiel, banyak karya intelektual Indonesia abad ini yang menempati deretan utama dalam perkembangan pemikiran Islam di Asia Tenggara. Diantara cabang-cabang keislaman yang menjadi perhatian para intelektual muslim Indonesia sejak abad 17–20 tersebut meliputi Teologi, Fiqh, Hadits, Tasawuf dan Tafsir al-Qur’an.
Terutama pada bidang Tafsir al-Qur’an, ada keunikan tersendiri dalam karya-karya ulama Nusantara. Tampak adanya perpanjangan mata rantai sejarah pemikiran Timur Tengah dalam perkembangan wacana tafsir di Indoensia. Namun, pada banyak aspek corak tafsir Indonesia menunjukkan kuatnya persentuhan dengan local genius, sehingga memberikan nuansa tafsir tersendiri. Muatan budaya lokal dalam tafsir Indonesia, salah satunya ditunjukkan dengan kuatnya warna mistis. Hal ini bukan semata-mata dikarenakan Timur Tengah pada saat itu sedang didominasi oleh aura tarekat, tetapi unsur tradisi atau budaya Jawa merupakan faktor penting yang tidak dapat diabaikan begitu saja. Kenyataan ini merupakan bukti bahwa di Nusantara meskipun al-Qur’an ditempatkan pada posisi sakral yang menyediakan ruang pemahaman dogmatis-ideologis, namun ada “sentuhan” esoterik yang kuat dengan penalaran budaya Jawa. Menurut Nashr Hamid, secara aksiomatis fenomena pemikiran di mana pun memang tidak tumbuh terlepas dari warna sosial dan budaya atau kondisi obyektifnya. Sebab, pemikiran tidak lain merupakan jawaban atau solusi--atas suatu persoalan sosial maupun budaya--yang bersifat mengubah atau mempertahankan. Itu sebabnya, tulisan ini bermaksud menyajikan perkembangan intelektualisme Indonesia dalam bidang tafsir.
Sejarah Perkembangan Tafsir al-Qur’an
Manna’ Qaththan memberikan arti etimologis terhadap kata tafsir sebagai upaya menjelaskan, menyingkap dan menampakkan atau menerangkan makna yang abstrak. Adapun al-Zarkasyi, secara terminologis, mengartikannya sebagai ilmu untuk memahami Kitabullah yang diwahyukan kepada Muhammad, men-jelaskan maknanya dan mengeluarkan hukum serta hikmahnya. Dengan kata lain, tafsir dapat pula dipahami sebagai teori interpretasi ayat dengan berbagai pendekatan analisis, seperti linguistis, semiotis dan hermeneutis. Arkoun lebih jauh menjelaskan bahwa jika al-Qur’an dapat dibaca, maka tentunya dapat pula ditafsirkan dengan berbagai pendekatan dan cara. Kaum muslim yang berpegang pada satu pembacaan atau penafsiran tertentu saja tidak menyadari berbagai kerumitan dalam memahami al-Qur’an dan mengabaikan kedalaman serta kekayaannya.
Dengan demikian, tafsir merupakan ilmu yang sangat penting, karena al-Qur’an, seperti digambarkan Abdullah Darraz, bagaikan intan yang setiap sudutnya memancarkan cahaya yang berbeda dengan apa yang terpancar dari sudut-sudut lain, dan tidak mustahil jika anda mempersilakan orang lain memandangnya, maka ia akan melihat lebih banyak dari apa yang anda lihat. Itu sebabnya, ulama terus melakukan penafsiran terhadap al-Qur’an. Penafsiran yang mereka lakukan dari generasi ke generasi terus pula mengalami perubahan dan perkembangan corak, kodifikasi maupun metodenya.
Menurut catatan Quraish, dari masa Rasulullah sampai datangnya zaman modern, terdapat enam corak tafsir, yakni corak sastra-bahasa, corak filsafat dan teologi, corak penafsiran ilmiah, corak fiqh atau hukum, corak tasawuf, dan corak sastra budaya kemasyarakatan. Adapun kodifikasi tafsir mengalami tiga tahap perkembangan. Pertama, masa Rasulullah sampai permulaan masa tabi’in yang masih bersifat oral (lisan). Kedua, kodifikasi tafsir digabung dengan penulisan hadits pada masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz (99 – 101 H.). Pada umumnya adalah tafsir bil ma’tsur. Ketiga, dimulai dengan penyusunan kitab-kitab tafsir secara khusus dan independen sejak masa al-Farra (w. 207 H.). Khusus perkembangan metode tafsir, dewasa ini seiring dengan perjalanan filsafat Barat, di dunia Islam mulai diramaikan dengan metode tafsir hermeneutic.
Perkembangan Tafsir al-Qur’an di Indonesia
Hasil penelitian disertasi Azyumardi menunjukkan bahwa ulama Nusantara yang pertama kali melahirkan karya tulis di bidang tafsir al-Qur’an adalah Abdul Rauf bin Ali al-Fansuri al-Singkili, yakni Kitab Turjuman al-Mustafid. Santri Ibrahim al-Kurani ini selain seorang ahli tafsir juga seorang sufi kenamaan pada masanya. Bahkan, aliran tarekat “Syatariyah” yang dikembang-kannya memiliki pengaruh yang luas di Indonesia, khususnya di Jawa dan Sumatera. Dalam bidang mistisisme Islam ini, al-Sinkili menyajikan karya besar-nya yang berjudul Daqaiq al-Huruf.
Sebagai seorang ahli tafsir yang mendalami tasawuf sangat dimaklumi apabila corak tafsir al-Sinkili memang mengesankan warna ortodoksi. Tetapi, sebagai karya tafsir paling awal di negeri ini Turjuman al-Mustafid tergolong memiliki prestasi istimewa, karena beredar luas di kepulauan Melayu. Lebih dari itu, edisi cetaknya juga bisa ditemukan di beberapa negara seperti Singapura, India, Kairo, Istambul, Makkah hingga Afrika Selatan. Ketinggian nilai karya intelektual al-Sinkili ini juga terlihat dari seringnya dicetak ulang di Timur Tengah. Bahkan, edisi terakhirnya juga bisa ditemui di Jakarta sampai tahun 1981-an. Fenomena yang tersebut belakangan ini sekaligus juga menunjukkan bahwa karya tafsir putra Aceh tersebut masih diminati kaum muslim hingga dewasa ini.
Menilai karya tafsir al-Sinkili, beberapa Indonesianis saling berbeda pendapat. Misalnya, Snouck Hurgronje, menganggapnya sebagai terjemahan dari Anwar al-Tanzil karya al-Baidhawi. Sedangkan Rinkes dan Vorhoeve mengatakan bahwa Turjuman al-Mustafid bersumber dari berbagai kitab tafsir berbahasa Arab. Pendapat ini di belakang hari dikoreksi oleh Ridell bahwa selain merupakan terjemahan dari al-Baidhawi, Turjuman juga karya terjemahan dari Tafsir Jalalain (Jalaluddin al-Mahalli dan Jalaluddin al-Suyuti). Ridell juga menambahkan bahwa pada beberapa bagian tertentu al-Sinkili memasukkan pandangan-pandangan dalam Tafsir al-Khazin (w. 741/1340).
Identifikasi ini penting bukan hanya untuk menilai corak dan metode tafsir Turjuman al-Mustafid, tetapi juga untuk mengungkap keterkaitan al-Sinkili dengan beberapa gurunya dalam “jaringan ulama” Timur Tengah dan Nusantara, serta menunjukkan jalur-jalur penyebaran ilmu-ilmu keislaman di Indonesia. Misalnya, pemilihan al-Sinkili terhadap Tafsir Jalalain sebagai sumber utama dalam karyanya jelas karena ia memiliki mata rantai yang menghubungkannya dengan Jalaluddin al-Suyuti, yakni melalui Ibrahim al-Kurani dan al-Qusyaisyi (keduanya merupakan guru sufi al-Sinkili).
Fenomena jalinan kelindan ini ditengarai oleh Azyumardi sebagai determinan perkembangan intelektualisme Islam di Timur Tengah dan Nusantara. Sebagai murid dari al-Kurani sewaktu belajar di Makkah (1640) membawa al-Sinkili masuk dalam jaringan ulama Timur Tengah. Sebagaimana telah diketahui al-Kurani adalah guru sufi al-Singkili. Dalam tradisi sufisme otoritas penyebaran ilmu oleh seorang murid bisa dimiliki hanya atas dasar “ijazah” yang diberikan oleh sang guru. Oleh karena itu, setelah menerima “ijazah” dari guru sufinya itu, al-Sinkili berkewajiban menyebarkan ilmu sesuai dengan rangkaian perawi yang saling kait-mengkait. Salah satu mata rantai perawi itu adalah Jalaluddin al-Suyuti, sehingga al-Sinkili diharapkan lebih dapat memilih Tafsir Jalalain dari pada karya-karya tafsir yang lain. Kecenderungan untuk bersandar pada ulama dalam “jaringan” ini juga terlihat jelas dari karya-karya al-Sinkili di bidang fiqh, kalam dan tasawuf.
Mekanisme “jaringan” dalam pengembangan ilmu-ilmu keislaman di Timur Tengah dan Nusantara ini setidaknya memiliki dua akar historis yang menjadi pijakannya. Pertama, tradisi oral (dakwah bil lisan) pada masa Rasulullah hingga masa tabi’in telah menciptakan mata rantai perawai (da’i) yang saling berhubungan satu dengan lainnya. Kedua, fragmentasi sosial-keagamaan pada masa sahabat, khususnya pada era kekhalifahan Utsman dan Ali, menyebabkan jaringan antar perawi tersebut bercirikan “ideologi” dan menjadi dogmatis. Itu sebabnya mengapa terjadi “jaringan ulama” sesuai dengan madzhab atau aliran dalam bidangnya masing-masing.
Secara sosiologis, jaringan ulama Timur Tengah dan Nusantara, dengan demikian, memiliki peranan yang besar dalam pengembangan peradaban Islam di Indonesia. Al-Singkili dengan Turjuman al-Mustafid-nya, walaupun dipandang sebagai karya terjemahan, namun ia merupakan satu-satunya yang terlengkap dan berhasil mentransformasikan tradisi keilmuan Islam ke Nusantara. Pada abad ke-19 M., baru disusul dengan terbitnya karya tafsir syekh Nawawi al-Bantani di Mesir.
Nama al-Nawawi, sebagai seorang pemikir Nusantara, hampir terlupakan dalam sejarah intelekatualisme Islam Indonesia. Hal ini dikarenakan perjalanan panjangnya sebagai ulama tidak berakhir di tanah kelahirannya sendiri. Sejak usia muda ia telah pergi ke Makkah, Madinah Mesir dan Syams demi menuntut ilmu pada beberapa ulama besar di sana. Sekembalinya dari beberapa negeri sebrang al-Nawawi belajar lagi di Karawang Jawa Barat, selanjutnya mengajar di tempat asalnya, Desa Tanara. Akan tetapi, keadaan di Nusantara secara umum tidak mendukung kegiatannya, karena kolonial Belanda selalu mengawasi dan membatasi ruang gerak ulama. Sampai akhirnya al-Nawawi memutuskan kembali ke Makkah untuk mengajarkan ilmunya. Di Makkah, al-Nawawi menetap di Syi’ib Ali sampai akhir hayatnya.
Di Makkah, al-Nawawi dikenal sebagai seorang penulis produktif. Karya-karyanya tersebar luas di Mesir, baik dalam bentuk artikel-artikel maupun tulisan lengkap tentang tafsir al-Qur’an. Karya tafsir al-Nawawi yang terkenal luas di Timur Tengah dan terutama di kalangan pesntren di Indoensia adalah al-Tafsir al-Munir li Ma’alim al-Tanzil.
Sebagaimana kitab-kitab klasik lainnya, tafsir al-Munir yang disebut juga oleh al-Nawawi dengan Kitab Murad Lubaid fi Kasyfi Ma’ani al-Qur’an al-Majid tidak ditulis dengan mencantumkan daftar referensinya. Sebagian besar isi kitab tafsir ini menekankan pada penjelasan ayat demi ayat berdasarkan analisa bahasa. Tetapi, untuk beberapa ayat dan surat dikaitkan dengan hadis-hadis, sebab-sebab turunnya ayat dan pendapat para sahabat.
Menurut Hafiduddin, tafsir al-Munir milik al-Nawawi lebih menekankan pada analisis ayat-ayat al-Qur’an berdasarkan aspek bahasanya. Atas dasar itu, ia juga menyamakan al-Munir dengan tafsir Jalalain. Keduanya juga sama-sama menggunakan tafsir bil riwayah atau tafsir bil ma’tsur. Akhirnya, Hafiduddin mengelompokkan Tafsir al-Munir ke dalam tafsir ‘am atau tafsir tartibiy, yakni tafsir yang ditujukan kepada semua ayat al-Qur’an, dari surat al-Fatihah hingga surat al-Nas. Dengan demikian, tafsir al-Munir ini juga memiliki kesamaan dengan Turjuman al-Mustafid yang menunjukkan karakteristik serupa.
Dua catatan cukup menarik tentang tafsir al-Munir ini disampaikan oleh Steenbrink dan Hafiduddin. Pertama, dalam tafsir al-Munir ada juga kecenderungan untuk menafsirkan al-Qur’an secara kontekstual. Hal ini terlihat dari kuatnya kecenderungan Nawawi dalam mementingkan asbab al-nuzul saat memahami kandungan suatu ayat atau surat. Kedua, meskipun tafsir al-Munir tergolong tafsir ‘am, ada orientasi yang jelas di dalamnya untuk menanamkan dasar-dasar akidah dan keyakinan yang kuat tentang Keesaan Allah dan ajaran-ajaran-Nya.
Catatan kedua pemerhati tersebut menjadi menarik, karena sejak sebelum Turjuman al-Mustafid dan sesudahnya sampai dengan tafsir al-Munir, tidak ada tafsir lain karya ulama Nusantara yang selengkap dua tafsir tersebut, kecuali tafsir-tafsir dari beberapa ayat dalam surat tertentu. Misalnya, telaah baru-baru ini ditemukan bahwa sebelum Turjuman al-Mustafid ada sepenggal tafsir surat al-Kahfi. Karya ini diperkirakan ditulis pada masa Hamzah Fansuri atau Samsuddin al-Sumatrani, dan mengikuti tradisi penafsiran al-Khazin.
Baru pada awal abad ke-20, Hamka mulai mengemukakan prinsip-prinsip dasar Islam dengan cara memberi komentar terhadap ayat-ayat al-Qur’an. Karya putra Padang (Sumatra Barat) ini merupakan embrio baru tafsir “al-Azhar” yang kelak menjadi karya penting. Hal ini diantaranya ditunjukkan dengan munculnya karya penelitian disertasi Yunan Yusuf dari Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang berjudul Corak Pemikiran Kalam Tafsir al-Azhar: Sebuah Telaah tentang Pemikirann Hamka dalam Teologi Islam.
Selain Hamka, pada periode ini Mahmud Yunus juga sedang mengerjakan karya tafsirnya. Ulama yang juga putra Minangkabau ini pada masanya boleh dibilang satu-satunya intelektual yang melakukan kegiatan penafsiran al-Qur’an. Dia memulai kegiatannya dengan menggunakan tulisan pego, yakni Bahasa Melayu atau Bahasa Indonesia yang berbentuk tulisan Arab. Kerja keras Mahmud Yunus ini pada tahun 1922 membuahkan karya terjemahan al-Qur’an, yang kelak menjadi dasar bagi karya tafsirnya yang berjudul Tafsir al-Qur’an al-Karim. Padahal, menurut catatan Federspiel, pada saat itu “para sarjana muslim” sedang giat-giatnya mengharamkan penerjemahan al-Qur’an. Namun, fenomena ini tidak membuat gentar Yunus, karena beberapa tahun kemudian ia telah mendapatkan fatwa dari ulama Universitas al-Azhar bahwa menerjemahkan al-Qur’an itu tidak haram.
Tradisi penafsiran al-Qur’an ini terus berlanjut, sehingga pada tahun 1926-1941, bersamaan dengan terjadinya perdebatan politik antara kaum nasionalis dan nasionalis Islam, bermunculan buku-buku mengenai tafsir al-Qur’an. Misalnya, Munawwar Khalil menulis sebuah buku dengan judul Kembali Kepada al-Qur’an dan Sunnah. Hamka menerbitkan tafsir Juz ‘Amma dengan judul al-Burhan. Dalam karyanya ini, Hamka mencoba memadukan pendapat-pendapat mufassir klasik abad pertengahan Islam, seperti al-Baghdadi, Ibnu Katsir dan al-Tibbi dengan pendapat kaum modernis Mesir, seperti Muhammad Abduh dan Thanthawi Jauhari. Sedangkan Munawwar Khalil telah mempersiapkan tafsir al-Qur’an dalam Bahasa Jawa yang berjudul Tafsir Qur’an Hidayat al-Rahman.
Selain itu, muncul pula Ahmad Surkati dengan karyanya yang berjudul Zedeleer uit den Quran. Buku ini sebagaimana judulnya memang ditulis dengan menggunakan Bahasa Belanda. Tradisi Surkati ini lalu dikembangkan oleh Ibnu Idrus dalam Gouden Regels uit den Quran. Kemudian, pada tahun 1920-an Cokroaminoto memperkenalkan terjemahan kitab tafsir karya Maulevi Mohammed Ali dari Lahore yang terbit di Medan pada tahun 1941. Setelah itu, Mahmud Yunus bersama H.M.K. Bakry menerbitkan Tafsir al-Qur’an al-Karim pada tahun 1930.
Tradisi penulisan dan penafsiran al-Qur’an tersebut sampai masa penjajahan Jepang (1942–1945) tidak produktif kembali. Kecuali pada masa demokrasi liberal (1950–1957) muncul beberapa karya tulis tentang al-Qur’an, seperti Pelajaran Tafsir al-Qur’an (1955) karya Munawar Khalil dan Ibnu Idrus; serta al-Furqan dan al-Djawahir karya Ahmad Hasan. Pada masa demokrasi terpimpin (1957–1966) tampil Buya Hamka dan Hasbi Ashiddiqiy. Karya Hamka yang berjudul Tafsir al-Azhar merefleksikan kekacauan politik pada masanya, karena tafsir ini ditulis pada saat Hamka berada di penjara. Adapun Hasbi menerbitkan Tafsir al-Qur’an al-Madjid dalam beberapa jilid pada tahun 1960-an. Karya Hasbi ini dipublikasikan secara khusus dalam majalah Gema Islam, sebuah majalah edisi mingguan yang cukup populer saat itu. Pada perkembangan berikutnya, Tafsir al-Qur’an al-Madjid mengalami perubahan nama menjadi Tafsir al-Nur untuk generasi pertama dan Tafsir al-Bayan untuk generasi ketiga.
Pada masa Orde Baru (1967–1998), dalam program pembangunan bidang keagamaan, Menteri Agama menggagas penerbitan buku-buku teks kajian al-Qur’an. Untuk keperluan ini, pemerintah membentuk suatu badan yang terdiri dari dosen-dosen IAIN guna menyusun tafsir al-Qur’an. Pembentukan badan oleh Depag RI ini berhasil menerbitkan dua produk intelektual yang menjadi catatan penting dalam sejarah perkembangan tafsir di Indonesia. Pertama, al-Qur’an dan Terjemahannya yang menelusuri pengaruh al-Qur’an dalam sejarah perkembangan peradaban manusia. Karya ini ingin mengekspresikan pandangan bahwa al-Qur’an dapat digunakan sebagai suatu model pembangunan. Kedua, al-Qur’an dan tafsir-nya, merupakan upaya untuk menciptakan tafsir resmi yang dapat memberikan orientasi pada para pendidik dalam mengajarkan al-Qur’an di dunia modern.
Analisis terhadap Tafsir al-Qur’an di Indonesia Abad ke-20
Berdasarkan metodenya, Federspiel mengelompokkan karya tafsir di Indonesia abad XX ke dalam empat kategori. Pertama, pada paroh pertama abad ke-20, ditandai dengan penerjemahan dan penafsiran secara terpisah-pisah. Kedua, merupakan penyempurnaan generasi pertama, yakni melakukan penerjemahan secara lengkap yang dilakukan pada pertengahan tahun 1960-an. Ketiga, pada tahun 1970-an mulai memberikan komentar-komentar yang luas terhadap teks. Periode selanjutnya, standarisasi terjemah dan tafsir al-Qur’an oleh Departemen Agama RI, serta ditandai dengan kemunculan tafsir Indonesia kontemporer.
Pada generasi kedua, terdapat tiga karya yang representatif, yakni Tafsir al-Furqan karya Ahmad Hasan (1887–1962), Tafsir al-Qur’an karya Zainuddin Hamidiy (w. 1957), dan Tafsir al-Qur’an al-Karim karya Mahmud Yunus (1899–1973). Dalam belantara pemikiran tafsir di Indonesia, ketiga karya intelektual muslim awal abad ke-20 ini cukup populer, karena telah lama dipublikasikan dan dicetak berulang-ulang.
Mengapa ketiganya dikelompokkan dalam satu generasi, menurut Federspiel, disebabkan adanya beberapa kesamaan dalam format dan isinya. Ketiga kitab tafsir tersebut sama-sama menempatkan teks Arabnya pada margin kanan dan terjemahan-nya di sebelah kiri. Selain itu, ketiganya juga memberikan catatan kaki (footnote) untuk terjemahan Bahasa Indonesianya dan setiap bagian yang merupakan tafsir suatu ayat. Bahkan. Ketiganya juga memiliki kesamaan tentang definisi istilah-istilah dalam al-Qur’an, masalah-masalah yang ditemukan dalam penerjemahan, dan definisi tentang konsep-konsep dasar dalam Islam.
Pada generasi ketiga, juga terdapat tiga contoh karya tafsir yang mewakili masanya. Pertama, Tafsir al-Bayan Hasbi Ashiddiqi (1904–975), Tafsir al-Qur’an al-Karim Abdul Halim Hasan (1969), dan Tafsir al-Azhar Buya Hamka. Karakter yang tampak dari ketiga tafsir ini adalah sama menekankan pada kontekstualisasi ajaran al-Qur’an dan pemikiran Islam. Selain itu, seperti halnya tafsir generasi kedua, ketiga tafsir ini sama-sama memberikan perhatian pada pendefinisian istilah-istilah, memiliki bagian ringkasan yang ditempatkan di bagianawal setiap surat, berisi penjelasan tentang berbagai tema, hukum dan aspek-aspek penting dalam suatu surat.
Namun, dari segi penyampaian kandungan al-Qur’an ketiganya memiliki perbedaan cara. Ashiddiqi dan Hamka lebih memilih penyajian bagian-bagian pendek yang terdiri dari beberapa ayat (satu sampai lima ayat) dan menjadikan satu teks Arab dengan terjemahannya. Setelah itu, diulas dengan memberikan penjelasan panjang hingga lima belas halaman tersendiri. Adapun Halim Hasan lebih mendekati pada model penyajian karya tafsir generasi kedua.
Perkembangan corak dan metode tafsir generasi ketiga ini diikuti dengan kemunculan tafsir dan terjemahan al-Qur’an dari Departemen Agama. Kemunculan tafsir al-Qur’an versi pemerintah ini memberikan corak tersendiri dalam kajian keislaman di Indonesia. Setidaknya, tafsir dan terjemahan al-Qur’an madzhab Departemen Agama dapat mencipatkan “ruang pertemuan” bagi berbagai kelompok aliran penafsiran yang berbeda-beda. Itu sebabnya, pada periode ini disebut juga dengan era standarisasi terjemah dan tafsir al-Qur’an oleh Departemen Agama Republik Indonesia.
Kesimpulan
Sepanjang sejarah perkembangan Islam di Indonesia dari abad ke13-19, baru terdapat dua ulama Nusantara yang menyajikan karyanya secara lengkap di bidang tafsir al-Qur’an, yakni Turjuman al-Mustafid karya Abdul Rouf al-Sinkili (abad ke-17) dan Tafsir al-Munir karya Syekh Nawawi al-Bantani (abad ke-19), yang ditulis dengan menggunakan Bahasa Arab.
Tradisi penulisan tafsir al-Qur’an yang telah berkembang sejak lama di Nusantara itu menciptakan academic atmosphire yang sangat signifikan bagi perkembangan kajian keislaman (Islamic studies) di Indonesia. Hal ini ditunjukkan dengan munculnya beberapa karya tafsir al-Qur’an pada abd ke-20, yang oleh Federspiel dikelompokkan menjadi empat generasi. Generasi pertama, sampai tahun awal 1960-an ditandai dengan penerjemahan al-Qur’an secara terpisah-pisah. Kedua, mulai pertengahan tahun 1960-an muncul karya terjemahan al-Qur’an yang semakin lengkap. Ketiga, sejak tahun 1970-an mulai menekankan pada tafsir al-Qur’an itu sendiri. Kemudian dilanjutkan dengan upaya standarisasi tafsir dan terjemah al-Qur’an oleh Departemen Agama RI, serta munculnya tafsir kontemporer yang menekankan pada perbaikan istilah dan bahasa.
Selain menciptakan ruang akademik, sedikitnya tradisi penafsiran al-Qur’an oleh ulama Nusantara juga telah menunjukkan warna keislaman tersendiri, yang sarat dengan pesan-pesan budaya negeri ini. Hal ini tidak lain merupakan refleksi dari kuatnya etos intelektual dan keulamaan para ilmuwan negeri ini. Wallahu a’lam bis shawab.

Baca Selengkapnya »»

Dialektika Agama dan Sains

Pendahuluan
Sedikitnya ada dua fenomena menarik dalam realitas kehidupan kontemporer. Pertama, ilmu pengetahuan dengan corak empiris dan metode kuantitatifnya cenderung menduduki “peran utama”. Kedua, pada beberapa kalangan mengalami semacam “kegairahan beragama”.
Fenomena pertama, yang sedikit atau banyak dipengaruhi oleh perkembangan positivisme August Comte dengan hukum tiga tahapnya, telah merombak tatanan kehidupan manusia. Dengan metode ilmiah yang ada di dalamnya, pengetahuan manusia telah dibatasi pada obyek yang dihasilkan oleh observasi inderawi semata. Akibatnya, kebenaran suatu pengetahuan hanya dapat dipahami dalam batas perhitungan kuantitatif dan dalam dunia fisik.


Dengan ciri semacam itu, ilmu pengetahuan memang telah membuat banyak kemajuan di berbagai bidang. Misalnya, dengan teknologi sebagai produk utamanya, manusia telah menciptakan “alam kedua”, sehingga hidupnya tidak lagi sepenuhnya berjalan menurut siklus alamiah yang diatur oleh ritme alam. Dengan ilmu pengetahuan dan teknologi pula, manusia mampu menentukan masa depan dengan caranya sendiri. Menurut Charris Zubair, pendek kata manusia sekarang tidak mungkin melepaskan diri dan hidup tanpa teknologi. Bahkan, dalam banyak hal teknologi seolah sudah “mencampuri” urusan yang di masa silam dianggap sebagai wilayah Tuhan dalam penciptaan.
Namun, perkembangan ilmu pengetahuan positif itu masih menyisakan suatu ironi, bahwa kemiskinan, kelaparan dan kebodohan belum juga segera teratasi. Bahkan, jarak antara si kaya dan si miskin semakin tajam, keadilan dan kejujuran semakin menjadi barang langka, serta kebenaran semakin mudah direkayasa. Fakta-fakta kemanusiaan ini tidak sejalan dengan cita-cita (das sollen) ilmu pengetahuan, karena semula ilmu pengetahuan dan teknologi itu dikembangkan justru demi upaya pembebasan manusia dan memudahkan mereka dalam menghadapi dan menyelesaikan masalah hidup. Kesenjangan tersebut terjadi, menurut Charris, dikarenakan gagasan-gagasan positivistik cenderung untuk menyisihkan seluruh pemahaman yang diperoleh secara refleksif, terlebih yang diperoleh dari penghayatan iman. Selain itu, juga adanya kecenderungan memisahkan--untuk tidak mengatakannya menolak--keterkaitan antara dunia materi dengan non-materi, dunia fisik dengan non-fisik, dan dunia dengan akhirat. Dengan kecenderungan semacam ini, maka secara filsafati sebenarnya sains dan teknologi telah membawa manusia ke arah pemahaman kebenaran semu dan bukan kebenaran hakiki. Lebih jauh dari itu, perkembangan sains dan teknologi juga membawa bentuk keterasingan dan kehilangan kepekaan atas matra ruhani manusia. Manusia menjadi kehilangan kontak ruhaniahnya dengan dirinya sendiri, manusia lain, alam lingkungan, dan dengan sesuatu yang bersifat transenden.
Oleh karena itu, demi mengurangi kecenderungan negatif tersebut diperlukan usaha dan pemikiran yang sungguh-sungguh untuk menegaskan kembali kedudukan filsafat ilmu (philosophy of science) dalam perkembangan sains dan teknologi. Reposisi filsafat ilmu ini diperlukan sebagai sarana untuk mengutuhkan pemahaman tentang kebenaran yang hendak dicapai manusia. Dengan begitu, pada gilirannya kedudukan dan fungsi agama dikukuhkan bukan sebagai bersifat ritual-ceremonial belaka, tetapi merupakan puncak dari penemuan manusia atas kebenaran yang sesungguhnya. Filsafat ilmu bertugas mengantarkan manusia menemukan kebenaran yang utuh. Dengan kata lain, filsafat ilmu tidak hendak membangun mazhab ilmu pengetahuan yang tidak dapat mengapresiasi atau mengakui tingkat kebenaran di luar matra duniawi. Wal hasil, manusia tidak perlu lagi dihadapkan pada kebimbangan antara memilih rasionalisme ataukah agama dan pemahaman ilmiah ataukah religius. Sebab, dalam perspektif filsafat ilmu sesungguhnya persoalan “dilematis” semacam itu memang tidak seharusnya terjadi.
Dengan kesadaran yang bersumber dari penghayatan filosofis tersebut membawa kita pada fenomena tumbuhnya kesadaran spiritual baru. Bahwa, manusia mulai menyadari apa yang dipelajari dengan teliti melalui sains dan teknologi hanya merupakan satu aspek dari realitas hidup sesungguhnya yang jauh lebih kaya. Masih banyak sisi dari kehidupan yang tidak dapat dijelaskan oleh sains maupun teknologi. Indikasinya terlihat dari polemik epistemologis yang terus menggugat legitimasi, validitas, supremasi dan kualitas kepastian ilmu. Dengan ilmu pengetahuan yang ada sekarang, manusia ternyata masih bergumul dengan masalah-masalah mendasar seperti “metron” (tolok ukur), “problematika Heraklitos-Parmenides” (tunggal-jamak, permanensi-perubahan), problema Kant mengenai “das Ding an sich” dan “Ratio Pura”. Kenyataan ini dikarenakan manusia dengan sains yang dimilikinya merasakan adanya sesuatu yang hilang dari eksistensi dirinya, yakni spiritualitasnya. Hossein Nasr dalam Islam and the Pligh of Modern Man menegaskan bahwa akibat masyarakat modern yang mendewakan sains dan teknologi menjadikan mereka berada dalam wilayah pinggiran eksistensinya sendiri, bergerak menjauh dari pusat, sementara pemahaman agama yang berdasarkan wahyu mereka tinggalkan dan hidup dalam keadaan sekuler.
Ketika modernisme dengan positivismenya meletakkan ilmu-ilmu positif lebih dominan dari yang lain, maka agama justru terletak pada jenjang terendah dalam struktur ilmu pengetahuan. Ketika kebenaran pengetahuan agama ditempatkan sedemikian rupa, sehingga kedudukan dan fungsinya dianggap kurang signifikan, maka itulah yang menjadi sebab awal tumbuhnya kesulitan-kesulitan dalam ilmu pengetahuan untuk menjelaskan realitas dalam kehidupan manusia dewasa ini. Oleh karena itu, dalam konteks dunia Islam, upaya restrukturisasi ilmu pengetahuan manusia mutlak diperlukan. Agama harus diletakkan kembali sebagai paradigma sains, karena justru agama lah yang mengantarkan manusia pada kebenaran Ilahiyah. Agama dijadikan sebagai suatu kaidah yang membuka pemecahan alternatif yang mengatasi semua konsep rasional semata-mata. Alasannya sederhana saja, masih banyak yang berada di luar batas kemampuan akal rasional manusia, dan berada di luar batas pengalaman keseharian manusia, dan itu adalah kebenaran.
Kedudukan Agama dalam Perkembangan Sains
Pengaruh perkembangan Ilmu pengetahuan (sains) di akhir abad ke-16 telah menciptakan persepsi masyarakat Barat berbeda dari pada saat-saat ditanamkan dasar-dasar paradigmatiknya. Jika filsafat dapat dipahami sebagai manifestasi kegiatan intelektual, maka tradisi ilmiah dalam kehidupan masyarakat Barat modern tidak lain merupakan kelanjutan dari perjalanan panjang kehidupan orang-orang Yunani Kuno.
Dengan demikian, seperti dikemukakan oleh Koento Wibisono , pada awal kelahirannya ilmu pengetahuan yang sesungguhnya identik dengan filsafat itu mempunyai corak mitologik. Pada perkembangan berikutnya, melalui para filsuf pra-Socrates filsafat mengalami demitologisasi dan pada puncaknya berkembang menjadi “ilmu pengetahuan”. Sampai di sini hingga pasca Arsitoteles, meskipun filsafat berkembang menjadi ajaran praktis, namun pada masa Agustinus dan Thomas Aquinas filsafat berjalan seiring dengan agama.
Pertemuan antara filsafat dengan agama tersebut menemukan batu pijakannya, sehingga mendorong lahirnya berbagai bidang ilmu pengetahuan seperti astronomi, kedokteran, psikologi, biologi, aljabar, geometri, arsitektur dan sebagainya, pada saat berada dalam perawatan para fiolosof muslim di abad 9 – 13 M. Perkembangan pesat ini bukan semata-mata dikarenakan potensi dinamis yang terkandung dalam tradisi intelektual Helenisme tersebut, tetapi lebih disebabkan keadaan umat Islam pada saat itu telah memiliki sikap dan semangat berpikir ilmiah yang diwarisi dari ajaran agama. Misalnya, semangat menghormati penalaran, mencari kebenaran dan objektivitas serta penghormatan terhadap bukti-bukti empiris seperti diwarisi dari tradisi Nabi Ibrahim dan Muhammad Saw. Filsafat Yunani di sini hanya berperan mengembangkan isi dan membangun kerangka metodologi ke dalam semangat berfikir intelektual muslim pada saat itu.
Semangat ilmiah para ilmuwan muslim itu, menurut penuturan Osman Bakar, sesungguhnya mengalir dari kesadaran mereka akan tawhid. Bagi umat Islam, kesadaran akan Keesaan Tuhan merupakan kesadaran beragama yang paling fundamental. Sehingga, aktivitas apapun (keagamaan maupun kebudayaan) dalam kehidupan mereka senantiasa dinafasi oleh prinsip dan semangat monotheisme tersebut.
Atas dasar semangat tawhid itu, maka di dalam Islam berlaku pandangan bahwa realitas objektif alam semesta ini merupakan satu kesatuan. Kosmos yang terdiri dari bukan saja berbagai realitas fisik tetapi juga non fisik dipahami saling berkaitan dan membentuk jaringan kesatuan melalui hukum-hukum kosmos sebagai manifestasi dari ketunggalan sumber dan asal- usul metafisiknya, yakni Allah Swt. Dalam Islam, kesatuan kosmos ini merupakan bukti yang jelas akan keesaan-Nya. Oleh karena itu, semangat ilmiah dalam ilmu pengetahuan untuk mencari kebenaran bukanlah sesuatu yang bertentangan dengan agama karena merupakan bagian yang tak terpisahkan dari semangat tawhid. Dengan semangat ilmiah tersebut, ilmu pengetahuan menjadi salah satu instrumen yang dapat mengantarkan seseorang sampai pada Keesaan Realitas Transenden itu sendiri. Sebaliknya, kesadaran tentang Keesaan Allah (tawhid) merupakan sumber dari semangat ilmiah dalam seluruh wilayah ilmu pengetahuan umat Islam.
Dengan demikian, relasi agama dan ilmu pengetahuan (sains) di dalam Islam bisa diibaratkan dua sisi mata uang yang berbeda tetapi tidak dapat saling dipisahkan. Penggunaan rasio atau ilmu pengetahuan tidak dapat dipisahkan dari keimanan kepada Allah Yang Transenden, dari ajaran-ajaran, aturan-aturan, nilai-nilai dan prinsip-prinsip umum yang diberitakan kepada manusia melalui wahyu Ilahi dalam pengertiannya yang paling universal. Kecuali itu, ilmu pengetahuan di dalam Islam juga dikembangkan dengan mewarisi keseluruhan budaya kemanusiaan setelah dipisahkan benar dari salahnya, baik dari buruknya, atau yang haq dari bathil-nya. Dengan lain ungkapan, sains di dalam Islam sangat memperhatikan agama demikian juga sebaliknya, karena ilmu pengetahuan merupakan jalan untuk memahami kesatuan realitas kosmos yang telah diberitakan agama.
Dengan semangat gerakan tawhid dan eksplorasi ilmiah pada awal perkembangannya itu menjadikan Islam tumbuh sebagai kekuatan peradaban dunia yang secara gemilang mampu menjembatani dan menghubungkan wilayah-wilayah peradaban lokal menjadi peradaban mondial. Hal ini sebagaimana dinyatakan Nurcholish Madjid, bahwa masyarakat Islam adalah kelompok manusia pertama yang merubah ilmu pengetahuan dari sebelumnya bersifat parokialistik, bercirikan kenasionalan dan terbatas hanya pada daerah atau bangsa tertentu menjadi pandangan dunia yang kosmopolit dan universal. Ini terbukti betapa banyak para ilmuwan kelas dunia pada saat itu yang lahir dari dunia Islam yang karya-karyanya menjadi “bidan” bagi kelahiran ilmu pengetahuan dan perdaban modern Barat. Oleh sebab itu, dapat dimengerti pernyataan Komaruddin Hidayat, bahwa filsafat Yunani dan kajian rasional-empiris yang berkembang di Barat tidak lain merupakan kontribusi penting intelektual muslim yang diakui dalam dunia kesarjanaan.
Namun, karena berbagai sebab yang cukup kompleks (yang tidak mungkin dibahas di sini) peradaban Islam tersebut tidak dapat dipertahankan oleh masyarakat muslim abad pertengahan. Semangat dan etos ilmiah umat Islam generasi ini perlahan-lahan mulai mengalami pergeseran paradigma. Bahkan, pada saat yang bersamaan pergeseran itu semakin menggejala lalu berubah menjadi perpindahan tradisi ilmiah dari Timur ke Barat.
Filsafat sebagai kegiatan yang bisa dipertanggungjawabkan secara akliah, yang oleh Aristoteles dibagi menjadi ilmu pengetahuan poietis (terapan), ilmu pengetahuan praktis (dalam arti normatif seperti etika dan politik) serta ilmu pengetahuan teoritik, mulai tereduksi dan dikaji bagian yang tersebut belakangan.
Memang, ilmu pengetahuan teoritik dipandang sebagai paling signifikan, yang oleh founding father faham empirisme itu dibagi menjadi ilmu alam, ilmu pasti dan filsafat pertama yang kemudian dikenal sebagai metafisika. Namun, para intelektual muslim kala itu tidak lagi memperhatikan yang lainnya kecuali bagian metafisikanya saja. Bahkan pada bagian yang terakhir ini pun hampir-hampir umat Islam dihadapkan pada polemik berkepanjangan yang akhirnya merasa jenuh lalu menjauhinya sama sekali.
Sebaliknya di Barat, dipelopori oleh gerakan Renaissance pada abad ke 15 kemudian disempurnakan oleh gerakan Aufklarung pada abad ke 18, filsafat Yunani yang dipelajari para sarjana Barat melalui karya-karya para filosof muslim memasuki tahap yang baru dan lebih maju atau modern. Dalam sentuhan tangan dingin “anak-anak” Renaissance dan Aufklarung seperti Copernicus, Galilei Galileo, Kepler, Descartes, Immanuel Kant dan lain-lain filsafat telah memberikan pengaruh yang amat luas dan mendalam terhadap perkembangan pemikiran dan peradaban Barat.
Sebagaimana terjadi di dunia Islam, pemikiran filosofis warisan Yunani itu telah membantu Barat menemukan makna kebebasan dalam kemanusiaannya. Dengan kebebasan itu, terutama dalam pemikiran, perlahan Barat yang pada abad ke-10 jauh dari peradaban intelektual mulai menapak dan merasakan pentingnya proses civilization. Hanya, dikarenakan pengalaman traumatik terhadap gereja yang tidak menyediakan ruang gerak bagi pemikiran di luar Bibel, maka mereka mengarahkan kebebasan itu ke arah hidup “sekuler”. Meminjam pengertian Koento, yaitu suatu kehidupan pembebasan dari kedudukan manusia yang semula merupakan koloni dan sub koloni agama dan gereja.
Dengan arah filsafat yang cenderung pada kehidupan sekuler itu bukan saja mengakibatkan ditinggalkannya agama, tetapi pada konsekuensi radikalnya, bahkan sampai meragukan eksistensi Tuhan. Dalam hal ini indikasi yang paling nyata tercermin dalam pernyataan Friedrich Nietzsche, bahwa setidaknya di dunia Barat “Tuhan telah mati”. Fenomena seperti ini apabila tidak segera disadari maka pada saatnya akan melahirkan dunia tanpa Tuhan dan tanpa agama. Atau, paling tidak agama hanya ditempatkan sebagai urusan pribadi.
Oleh karena itu, tidak mengherankan jika filsafat dan agama di Barat masing-masing berdiri mandiri dan berkembang menurut dasar dan arah pemikirannya sendiri-sendiri. Proses diferensiasi ini, kemudian, dilanjutkan dengan ditinggalkannya filsafat oleh ilmu-ilmu cabang yang dengan metodologinya masing-masing mengembangkan spesialisasinya sendiri-sendiri secara intens.
Diawali oleh lepasnya ilmu-ilmu alam atau fisika dan matematika yang dimotori oleh Copernicus (1473-1543), Versalinus (1514-1564) dan Issac Newton (1642-1727) ilmu pengetahuan mulai tercerabut dari akar filosofisnya. Khususnya perkembangan ini semakin mencapai bentuknya secara definitif saat Auguste Comte (1798-1857) dengan grand theory-nya menetapkan bahwa perkembangan berfikir manusia dan masyarakat akan mencapai puncaknya pada tahap positif, setelah melampaui tahap teologik dan metafisik. Istilah positif di sini mengandung arti bahwa yang benar dan nyata haruslah konkrit, eksak, akurat dan memberi manfaat.
Dengan perkembangan seperti itu, maka ilmu pengetahuan di Barat cenderung menjauh dari berbagai pengetahuan yang menurut dunianya dianggap tidak konkret, tidak terukur dan spekulatif. Atas dasar itu, bukan saja filsafat lantas menjadi tidak menarik di mata ilmu pengetahuan karena wataknya yang spekulatif, tetapi juga pengetahuan agama yang dipandang out of date bahkan ahistoris cenderung diabaikan. Di sinilah perkembangan ilmu pengetahuan itu kemudian menciptakan persepsi masyarakat Barat berbeda dari saat-saat ditanamkan dasar-dasar paradigmatiknya.
Sampai memasuki abad 20, “revolusi” ilmu pengetahuan di Barat masih terus berlangsung, berbagai penemuan telah merombak teori-teori yang sudah mapan sebelumnya, tetapi perkembangan itu belum sampai menggeser paradigma diferensiasi atau “deagamaisasi” ilmu pengetahuan yang menjadi ciri era modern tersebut. Memang, pada satu pihak etos dan cara pandang Barat modern seperti itu telah menumbuhkan optimisme terhadap ilmu pengetahuan dalam meningkatkan fasilitas hidup, namun di pihak lain pesimisme terhadap dampak negatif yang ditimbulkannya juga semakin nyata. Pesimisme itu bukan saja telah menghantui para konsumennya, tetapi terutama kepada masyarakat Barat sendiri sebagai produsen utamanya.
Namun pada paroh terakhir aba ke 20, etos keilmuan dengan cara pandang seperti itu mulai dihadapkan pada kecenderungan baru yang lebih memperhatikan dunia spiritual. John Naisbitt dan Patricia Aburdence, dalam Megatrend 2000 menyebutnya dengan istilah New Age. Suatu era yang berusaha meyakinkan banyak orang bahwa cara yang paling tepat dalam memecahkan berbagai persoalan personal dan sosial--yang telah menjadi bagian dari krisis kebudayaan Barat yang mendorong kemunculan New Age--hanya akan terselesaikan, apabila ada cukup orang mencapai apa yang disebut The Higher Consciousness. Dengan demikian, seperti penuturan Amin Abdullah, modernisme dengan ciri diferensiasinya yang sangat ketat dalam berbagai bidang kehidupan boleh dibilang sudah tidak lagi sesuai dengan semangat zaman.
Integrasi Agama dan Sains sebagai Suatu Keniscayaan
Pengamatan Naisbitt dan Patricia di atas ada relevansinya dengan pandangan Capra, bahwa untuk keluar dari belenggu dikotomi dalam kehidupannya, manusia modern dituntut dapat mengintegrasikan nilai-nilai dan makna-makna yang dikombinasikan dengan pengetahuan (sains). Untuk keperluan ini, menurut Azizan, hanya ada satu subyek yang dapat mengajarkan dan menawarkan nilai-nilai tersebut, yaitu agama. Hal ini tidak berlebihan, karena agama memang merupakan sumber makna dan nilai-nilai yang kita pandang penting dan dapat diterjemahkan melalui pembangunan.
Pandangan integratif seperti ini disebabkan sains modern yang positivistik cenderung melakukan reduksi terhadap realitas alam, termasuk manusia sebagai makhluk hidup. Misalnya, ketika berbicara tentang kosmologi, sains senantiasa melepaskannya dari unsur-unsur spiritualnya seperti Tuhan, malaikat ruh dan sebagainya. Alam semesta diapahami sebagai yang terjadi dengan sendirinya dan diatur oleh sebuah hukum alam yang mandiri, tetap dan tidak bisa diubah oleh kekuatan-kekuatan di luar dirinya. Begitu juga tentang manusia, yang sering dipandang agama dan filsafat memiliki dimensi luhur seperti jiwa, hati, ruh dan sebagainya, dipersepsi sains hanya sebagai makhluk fisik atau bilogis dengan sistem syaraf yang sangat rumit, tetapi tidak menghasilkan jiwa sebagai substansi immaterialnya. Di sini, manusia menjadi tidak memiliki keistimewaan, seperti yang diberikan oleh filsafat, sebagai mikrokosmos; atau oleh agama, sebagai wakil Tuhan di bumi.
Dalam penilaian Golshani, pengabaian terhadap keterbatasan sains dan pengingkaran peranan filsafat dan agama dalam sains itu merupakan pemahaman yang naif. Baginya, sains tidak dapat dipisahkan dari nilai-nilai sepenuhnya, kerja ilmiah banyak diisi dengan perkiraan filosofis dan religius, dan metafisika memainkan peranan sangat penting hampir pada semua level aktivitas ilmiah. Tegasnya, menurut Golshani, terlalu sederhana untuk berfikir bahwa komitmen filosofis dan ideologis tidak akan pernah masuk ke dalam struktur ilmu pengetahuan.
Lebih dari itu, lanjut Golshani, pandangan bahwa aktvitas ilmiah adalah bebas nilai hanyalah mitos belaka. Hal ini didasarkan pada beberapa alasan sebagai berikut:
1. Aktivitas ilmiah adalah sebuah tujuan – yang mengarahkan suatu usaha. Ini berarti bahwa beberapa nilai mengambil peran sebagai pembimbing di dalamnya. Misalnya, pencarian kebenaran merupakan nilai yang menjadi prinsip dalam mengarahkan banyak ilmuwan.
2. Semua aktivitas ilmiah melibatkan beberapa pertimbangan nilai (value judgments):
Beberapa kode etik seperti kejujuran, keadilan dan fungsi integritas sebagai mekanisme pengawasan kualitas dalam usaha ilmiah.
Pertimbangan nilai dapat membentuk garis penelitian seorang ilmuwan atau pilihan teori-teorinya. Misalnya, Einstein dan Heisenberg memiliki tekanan khsusu pada kesederhanaan teori fisikanya. Sedangkan Dirac menekankan pada keindahan teori fisikanya. Pertimbangan-pertimbangan pragmatisnya adalah beberapa kriteria orang lain untuk pilihan teori-teori.
Penutup
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa melalui argumen-argumen filosofis dan penemuan mutakhir tentang sains, berfikir dikotomis tentang agama dan sains memang sudah saatnya dikoreksi kembali. Sebab, penemuan mutkahir di bidang fisika kuantum, misalnya, setidaknya telah meruntuhkan asumsi kaum materialis bahwa dunia ini hanyalah bersifat materi belaka. Padahal, fisika kuantum membuktikan bahwa unsur fisik yang terdapat dalam sebuah atom sangat tidak signifikan bila dibanding dengan unsur non-materinya, yang merupakan bagian paling ekstensif dari atom-atom yang menyusun alam semesta ini. Ini artinya, anggapan sains bahwa alam dengan segala isinya bersifat fisik dan hanya dapat dipahami melalui observasi inderawi semata menjadi tidak sepenuhnya benar. Sebaliknya, dengan adanya penemuan-penemuan mutakhir dalam bidang sains serta perkembangan teori-teori kefilsafatan, agama perlahan-lahan juga mulai menemukan batu pijakan untuk kebenaran yang diberitakannya. Oleh karena itu, antara agama dan sains memang sudah semestinya terjalin hubungan fungsional dan dialektis dalam kerangka yang bisa dipahami oleh akal rasional manusia. Hal ini dikarenakan antara sains yang berpijak pada observasi inderawi, dan filsafat yang mengutamakan rasional, agama yang bersandar pada wahyu memiliki kecenderungan untuk saling melengkapi.

Baca Selengkapnya »»

Kejahatan dan Persoalan Teodisi

Pendahuluan
Kejahatan adalah satu dari sekian banyak kesulitan yang berkaitan dengan persoalan keadilan Tuhan. Pembahasan ini terasa sulit, karena ia memang bukan persoalan ilmiah yang dapat dijawab melalui eksperimen dan observasi, bukan pula masalah praktis yang bisa diselesaikan dengan keputusan dan tindakan. Tetapi, ia lebih merupakan problem filosofis yang menghendaki suatu dalil pemikiran yang dapat menjelaskannya secara proporsional. Begitu fundamentalnya persoalan ini, sehingga hampir semua ajaran yang bersifat keagamaan (teologis) maupun kefilsafatan merasa perlu memberikan tanggapan dengan cara dan metodenya masing-masing.


Dalam konteks dunia Islam, persoalan kejahatan ini telah menyita energi dan pemikiran para filosof muslim, seperti al-Kindi, Ibnu Sina dan Mulla Shadra, serta kaum teolog khususnya Mu’tazilah. Adapun di Barat, akar sejarah perdebatan tentang theodicy ini setidaknya berasal dari para Epicurean, meski kerjanya yang tak terhitung sebenarnya telah dilakukan oleh kaum teolog dan filosof Kristen seperti St. Augustine. Akar permasalahan dalam perdebatan filsafat yang fundamental ini, baik di dunia Islam maupun Kristen, dapat dilacak dari jawaban para filosof terhadap pertanyaan-pertanyaan yang timbul di dalamnya. Secara umum, menurut Muthahhari, jawaban para filosof terhadap persoalan kejahatan berkisar pada tiga hal:
“Pertama, apakah hakikat kejahatan itu? Apakah kebaikan dan kejahatan merupakan persoalan yang eksistensial dan realistis? Ataukah merupakan persoalan yang non-eksistensial dan relatif? Kedua, baik eksistensial atau non-eksistensial, apakah kebaikan dan kejahatan tersebut dapat dipilah-pilah ataukah tidak? Jika tidak dapat dipilah-pilah, apakah alam dengan seluruh kebaikan dan kejahatan yang terjadi di dalamnya, baik ataukah jahat? Yakni, apakah kebaikan lebih kuat ketimbang kejahatan, ataukah kejahatan lebih kuat ketimbang kebaikan, ataukah masing-masing tidak ada yang lebih kuat, melainkan keduanya seimbang. Ketiga, apakah kejahatan itu eksistensial atau non-eksistensial? Juga, apakah kebaikan itu dapat dipilah-pilah ataukah tidak? Apakah kejahatan yang terjadi itu sama sekali tidak mengandung unsur kebaikan? Yakni, tidak mungkin menjadi pengantar atau sebab bagi kebaikan tertentu? Ataukah, bahwa pada relung setiap kejahatan terkandung satu unsur kebaikan atau bahkan lebih; dan bahwa setiap kejahatan itu menjadi sebab bagi satu kebaikan, bahkan lebih dari itu?”
Dari ketiga persoalan tersebut, ada kaum filosof yang memandang kebaikan dan kejahatan secara dualistik, sebagian mempertentangkan di antara keduanya, dan sebagiannya lagi mencoba membangun pemahaman yang lebih memandang wujud (being, existence) sebagai suatu sistem yang baik dan indah.
Problem Kejahatan dan Kaitannya dengan Keadilan Tuhan
Secara tradisional, menurut McCloskey, problem filosofis ini timbul dari adanya kontradiksi yang memerlukan penegasan bahwa Tuhan sebagai Pencipta Yang Maha Sempurna ada, dan kejahatan pun juga ada. Kontradiksi dimaksud adalah keadaan di mana manusia pada satu sisi dihadapkan pada keimanan bahwa Tuhan adalah Maha Kuasa, Maha Adil, Maha Mengetahui dan sebagainya, namun pada lain sisi mereka juga menyaksikan beragam kejahatan dalam kehidupan.
Keadaan seperti ini, sepintas memang bisa membawa kepada suatu pembenaran pemikiran yang tidak mungkin dapat diterima oleh kaum beriman. Bahwa, jika Tuhan itu memang Maha Adil dan Maha Sempurna mengapa dalam ciptaan-Nya masih menunjukkan kekurangsempurnaan seperti bencana alam, penyakit, kemiskinan, kekafiran dan sebagainya. Tidakkah keadaan ini bisa disebut sebagai suatu kontradiksi dalam doktrin keimanan tersebut.
Bagi kaum teisme tradisional, Tuhan tetap ada sebagai yang Maha Kuasa, Maha Mengetahui dan Maha Sempurna, meskipun ada kejahatan di dunia. Secara eksplisit, Mackie menjelaskan, memang tidak ada kontradiksi antara pernyataan bahwa “ada Tuhan yang Maha Kuasa, Maha Mengetahui atau Maha Sempurna” dengan “ada kejahatan di muka bumi”. Namun, jika disadari bahwa wujud yang memiliki kebaikan itu mesti akan mengeliminasi kejahatan, dan bahwa tidak ada batasan bagi wujud yang maha kuasa untuk melakukan apa saja, termasuk kejahatan itu sendiri, maka di situ benar-benar ada kontradiksi. Sampai di sini, Journet merasa kesulitan untuk mengkaitkan secara akurat hubungan antara problem kejahatan dengan keadilan Tuhan, dan ia menyebutnya sebagai suatu misteri.
“If God does not exist, where does good come from? If he does exist, where does evil come from? If God is the source of good, can he also be the source of evil?…Evil exists and God exists. Their coexistence is a mystery.”
“Jika Tuhan tidak ada, dari mana asal kebaikan? Jika Dia benar-benar ada, dari mana asal kejahatan? Jika Tuhan adalah sumber kebaikan, dapatkah Dia juga menjadi sumber kejahatan?…Kejahatan ada dan Tuhan ada. Koeksistensi keduanya adalah suatu misteri.”
Sejalan dengan Mackie dan Journet, McCloskey juga mengisyaratkan adanya problem serupa. Dengan kalimat bersayap, ia berpendapat bahwa “ada kejahatan di dunia; sekalipun dunia ini adalah ciptaan Tuhan yang Maha Baik dan Maha Kuasa. Bagaimana hal ini bisa terjadi? Mestinya, wujud yang maha baik dan maha kuasa akan menciptakan dunia yang terbebas dari berbagai jenis kejahatan.”
Dalam tradisi pemikiran Islam, problem kejahatan ini ketika terkait dengan pembahasan tentang keadilan Tuhan juga memiliki sejarahnya sendiri yang distingtif. Berbagai aliran pemikiran memiliki pandangan dan penafsiran yang berbeda-beda tentang masalah ini, sesuai dengan prinsip mereka sendiri. Namun, dalam membahas tentang masalah keadilan Tuhan, mereka berbeda dari para filosof maupun sarjana Barat yang cenderung mendeskreditkan Tuhan. Para filosof dan sarjana muslim, apapun aliran pemikirannya, dalam membahas masalah ini orientasinya adalah untuk memelihara kemahasucian (tanzih) dan kemahaesaan (tawhid) Tuhan. Begitulah kiranya, karena arah kemunculan dan perkembangan filsafat di dalam Islam memang senantiasa mengalir dari dan dinafasi oleh prinsip tawhid.
Asy’ariah misalnya, suatu aliran pemikiran yang banyak diikuti kaum Sunni, tidak mempercayai keadilan Tuhan sebagai masalah kepercayaan, sehingga mereka menolak keadilan itu dijadikan sebagai matrik perbuatan Tuhan. Sebab, penetapan keadilan bagi perbuatan Tuhan itu sama halnya dengan membatasi iradat dan kehendak-Nya. Bagi kaum Asy’ariah, makna keadilan itu tidak memiliki hakikat sebelumnya, kecuali bahwa apapun yang diperbuat oleh Allah adalah keadilan. Dengan demikian, keadilan bukanlah tolok ukur bagi perbuatan Allah, melainkan perbuatan-Nya lah yang menjadi tolok ukur keadilan.
Adapun Mu’tazilah dan Syi’ah, yang bersebrangan dengan Asy’ariah, menjadikan keadilan Tuhan sebagai prinsip pemikiran. Mu’tazilah dan Syi’ah mempercayai bahwa keadilan ini merupakan dasar bagi perbuatan Tuhan, baik dalam mengatur alam maupun menegakkan hukum-hukum-Nya. Bagi Mu’tazilah dan Syi’ah, keadilan memiliki hakikat tersendiri. Sepanjang Allah itu Maha Bijak dan Adil, maka Dia akan melaksanakan perbuatan-Nya berdasarkan kriteria keadilan. Makna adil di sini bagi Allah, seperti penuturan Abdul Jabbar, adalah semua perbuatan-Nya bersifat baik; Tuhan tidak akan dan pernah berbuat jahat atau buruk, dan tidak melupakan apa yang wajib dikerjakannya. Artinya, sebagai misal, Tuhan tidak akan berdusta, tidak bersikap dzalim, tidak menyiksa anak-anak orang kafir lantaran dosa orang tua mereka, tidak menurunkan mukjizat pada pendusta, dan tidak memberi beban yang tidak dapat dipikul manusia.
Dengan demikian, jika kembali pada permasalahan adanya kejahatan di dunia ini, maka menurut Mu’tazilah hal itu bukan dari Allah. Dalam faham ini, Allah tidak berbuat buruk karena perbuatan buruk itu timbul hanya dari wujud yang tidak sempurna, sedang Dia bersifat Maha Sempurna. Pernyataan bahwa semua perbuatan Tuhan bersifat baik, menurut Mu’tazilah, belum cukup untuk mengekspresikan kemahabaikan-Nya. Atas dasar itu, mereka mengajarkan tentang al-shalah wa al-ashlah, suatu ajaran yang menegaskan bahwa wajib bagi Tuhan memberikan yang baik, bahkan yang terbaik untuk manusia.
Ajaran tentang al-shalah wa al-ashlah tersebut mengandung konskuensi logis bahwa kejahatan yang terjadi di dunia, dengan begitu, bukan berasal dari Tuhan. Bencana alam misalnya, bukan merupakan manifestasi kehendak dan perbuatan-Nya, tetapi sebagai akibat dari perbuatan manusia atau dinamika alam itu sendiri ketika tidak sejalan dengan hukum alam (sunnatullah) yang melekat pada dirinya. Menurut keyakinan kaum Mu’tazilah, bahwa segala sesuatu di alam semesta ini telah diciptakan Allah lengkap dengan dinamikan dan hukum “keseimbangan” pada dirinya masing-masing. Setiap persinggungan antara satu dengan yang lain akan memberikan akibat positif atau negatif.
Dengan demikian, menurut pandangan kaum Mu’tazilah, setiap keburukan atau kejahatan yang menimpa sesuatu tidak lain merupakan implikasi dari interaksi dan dinamikanya dengan hukum yang melekat pada sesuatu yang lain. Kalau dikatakan bahwa mati adalah takdir Tuhan, maka artinya mati merupakan salah satu hukum-Nya yang berlaku bagi setiap makhluk hidup. Dengan kata lain, setiap yang hidup mesti akan mengalami mati. Persoalannya hanya masalah sebab dan waktu, yakni sebab apa yang akan mengantarkan suatu makhluk hidup menuju kematiannya. Sebab di sini bisa merupakan sebab ekstern atau intern. Sebab ekstern berkaitan dengan pola interaksi makhluk hidup dengan sesuatu di luar dirinya. Sedangkan, sebab intern adalah hukum-hukum yang membatasi kejadiannya, misalnya adalah faktor usia. Jadi mati di sini, pada dataran fenomenalnya, hanyalah merupakan akibat dari rangkaian sebab.
Teodisi sebagai Persoalan Sudut Pandang
Teodisi, seperti dikatakan Huston Smith, sebagai pemikiran filosofis yang bergulat dengan persoalan kejahatan, merupakan batu karang. Keadilan Tuhan merupakan problem filosofis yang sangat fundamental, sehingga setiap sistem rasionalistik pada akhirnya akan terbentur. Tetapi, bukan berarti bahwa pemahaman terhadap problem kehidupan tersebut tidak dapat dimengerti, sebab ini sebenarnya hanya persoalan sudut pandang. Ibarat anak kecil yang menjatuhkan es krimnya, tragedi itu seakan merupakan akhir dunia baginya. Namun, tidak demikian halnya dengan pemahaman sang ibu.
Gambaran serupa juga bisa saja terjadi pada diri seorang agamawan, filosof, ilmuwan dan orang yang tidak beragama sekalipun ketika memandang pengalaman dan nilai-nilai pada dataran eksistensial. Seorang ateis mungkin akan mengatakan bahwa kejahatan termasuk persoalan yang bertentangan dengan keadilan Tuhan. Sedangkan politeis, sebagaimana kaum dualis, akan berpendapat bahwa jika ada kejahatan dan kebaikan maka meniscayakan adanya dua sumber wujud. Artinya, setiap kejahatan dan kebaikan, masing-masing akan berhubungan dengan sumber atau pencipta yang berbeda. Tetapi, dalam dunia monoteis, meskipun dualitas itu masih ada, kebaikan tetap sebagai yang berada di atas. Sebaliknya, dalam kesadaran mistik, kejahatan lenyap sama sekali dan hanya tinggal kebaikan, yaitu hanya ada Tuhan.
Oleh karena itu, sebelum memberikan komentar lebih jauh mengenai persoalan teodisi tersebut perlu dibahas apakah hakikat kejahatan itu? Apakah kejahatan merupakan persoalan eksistensial dan realistis? Ataukah merupakan persoalan non-eksistensial dan relatif?
Bagi kaum ateis maupun politeis dan dualis, jawabnya jelas bahwa kejahatan itu memiliki essensi. Bahkan termasuk sifat-sifat buruk atau jahat, seperti pembohong, bakhil, khianat dan sebagainya merupakan sifat-sifat real pada manusia, dan sifat tersebut sekaligus merupakan esensinya. Kaum ateis memandang bahwa nilai merupakan salah satu aspek dari pengalaman, sehingga kejahatan sebagai suatu nilai esensinya mesti digali dari pengalaman. Dengan kata lain, nilai kejahatan itu tidak akan pernah ada jika ia tidak termanifestasi secara eksistensial di lapangan.
Adapun kaum dualis, meskipun juga menegaskan tentang adanya hakikat wujud jahat, sebenarnya hendak membebaskan Tuhan dari kejahatan. Tetapi, dengan penegasannya itu mereka bukan saja telah menyekutukan Tuhan dengan wujud lain sebagai pembuat kejahatan, bahkan telah mereduksi kehendak dan kekuasaan Tuhan yang tak terbatas, sebagai pencipta kebaikan semata. Pandangan ini di antaranya tercermin pada diri Leibniz yang berpendapat bahwa Tuhan tidak dapat melakukan sesuatu yang secara logis tidak mungkin. Walaupun, Leibniz segera memberi catatan bahwa fakta ini sama sekali tidak mengandung pengertian membatasi kemahakuasaan Tuhan.
Dalam hal memberikan jawaban atas pertanyaan di atas, Muthahhari menggunakan pendekatan Mu’tazilah dan kaum filsosof Muslim seperti Ibnu Sina dan Mulla Shadra. Dia mengatakan bahwa ketika Islam memandang alam, maka ia memandangnya sebagai terbagi menjadi dua, yakni kebaikan dan kejahatan. Tetapi, dalam kerangka pemahaman yang lebih luas alam ini dipandang sebagai terbebas dari kejahatan. Semua yang ada adalah baik, karena sistem yang melatarinya adalah sistem yang terbaik.
Dari perspektif dalil ontologis Ibnu Sina, pandangan bahwa alam dan segala yang ada di dalamnya esensinya adalah kebaikan merupakan suatu keniscayaan dari wujud Tuhan sebagai Wajib al-Wujud bi Dzatihi (tidak bisa tidak, Tuhan mesti ada karena dzat-Nya sendiri). Jika wujud Tuhan merupakan wujud yang niscaya, maka kemahabaikan dan kemahaadilan-Nya merupakan sifat yang niscaya pula, bukan suatu kemungkinan. Sebaliknya, segala yang ada selain Tuhan dari segi esensinya adalah mumkin al-wujud (boleh ada dan tidak ada). Artinya, kebaikan dan kajahatan yang ada di dunia ini merupakan sesuatu yang mungkin. Mereka menjadi ada karena memperoleh limpahan wujud dari Wajib al-Wujud. Tetapi, karena Tuhan itu Maha Baik, Maha Adil dan Maha Sempurna, serta mustahil bersifat sebaliknya, maka segala yang melimpah dari-Nya pada esensinya adalah kebaikan. Dengan demikian, kejahatan yang ada di dunia ini adalah non-eksistensial dan relatif, karena secara fundamental esensinya adalah kebaikan.
Berangkat dari pemikiran filosofis tersebut dapat dikatakan bahwa pernyataan “kejahatan di dunia itu eksistensial dan non-eksistensial” adalah sama-sama mengandung kebenaran. Kejahatan dikatakan non-eksistensial tidak dengan sendirinya berarti bahwa kejahatan yang ada di masyarakat tidak ada wujudnya, karena hal itu bertentangan dengan kemestian. Kenyataannya di masyarakat benar-benar disaksikan adanya kebutaan, ketulian, kemiskinan, penyakit, kezaliman, penganiayaan, kebodohan, kelemahan, kematian, gempa bumi, dan sekaligus semua itu tidak dapat diingkari sebagai sesuatu yang jahat. Dalam hal ini menarik untuk mencermati pernyataan Muthahhari, bahwa:
“Kebaikan dan kejahatan di alam ini bukanlah dua hal yang berbeda dan terpisah satu sama lain, sebagaimana berbedanya benda-benda mati dari tumbuh-tumbuhan, atau tumbuh-tumbuhan dari binatang, yang masing-masing memiliki barisan tertentu. Kita akan melakukan kekeliruan apabila membayangkan bahwa kejahatan memiliki barisan tertentu yang esensinya bersifat “jahat sejati” tanpa sedikit pun kebaikan di dalamnya, dan bahwa kebaikan memiliki barisan tertentu yang berbeda dan esensinya bersifat “baik sejati” tanpa sedikit pun kejahatan di dalamnya. Yang benar adalah bahwa kebaikan dan kejahatan merupakan dua hal yang menyatu tanpa bisa dipisah-pisahkan. Ketika di suatu bagian alam ada kejahatan, di situ pasti ada kebaikan, dan di mana saja ada kebaikan, di situ pasti ada kejahatan. Kebaikan dan kejahatan begitu menyatu dan bersenyawa di alam ini, bukan senyawa kimiawi, melainkan senyawa yang lebih mendalam dan lebih halus, senyawa antara eksistensi dan non-eksistensi (tarkib al-wujud wa al-`adam).
Penutup
Dari pembahasan di atas dapat ditegaskan kembali di sini bahwa dualisme wujud, yakni kejahatan dan kebaikan, pada dataran fenomenalnya memang ada, tetapi pada essensinya hanya ada kebaikan. Pandangan ini merupakan konskuensi dari kenyataan bahwa Tuhan sebagai Wajib al-Wujud adalah Maha Baik, Maha Adil dan Maha Sempurna, sehingga apa pun yang melimpah dari-Nya mesti mengandung esensi kebaikan. Dalam hal ini Muthahhari menegaskan bahwa pada dataran fenomenal tidak ada “kejahatan sejati” maupun “kebaikan sejati”, sedang pada dataran noumenal hanya ada satu esensi, yakni kebaikan, karena substansi kejahatan benar-benar merupakan ketiadaan murni.
Dengan demikian, kesimpulan yang dapat ditarik dari pembahasan ini adalah di alam maujud (dunia) sebenarnya tidak ada dualisme, sehingga tidak mengharuskan adanya dua sumber wujud dan nilai. Pandangan ini, di dalam Islam, sejalan dengan ajaran dasar tawhid, bahwa semua yang ada ini berasal dari Satu dan akan kembali kepada Yang Satu (inna lillahi wa inna ilaihi raji`un). Wallahu a’lam bi al-shawab.
Bibliografi
Al-Jabbar, `Abd, Syarh al-Ushul al-Khamsah, (ed.) `Abd al-Karim `Usman, (Kairo: Maktabah Wahbah, 1965).
Bakar, Osman, Tauhid dan Sains: Esai-esai tentang Sejarah dan Filsafat Sains Islam, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1994).
Kolakowski, Leszek, Religion, (New York: Oxford University Press, 1982).
Lari, Sayyid Mujtaba Musavi, God and His Attributes: Lessons on Islamic Doctrine, trans. Hamid Algar, (Potomac: Islamic Education Center, 1989).
Mackie, J. L., The Miracle of Theism: Arguments for and Against the Existence of God, (Oxford: Clarendon Press, 1982).
McCloskey, H. J., God and Evil, (Netherlands: Martinus Nijhoff, the Hague, 1974).
Muthahhari, Murtadha, Al-`Adl al-Ilahiy, ter. Agus Efendi, (Bandung: Mizan, 1992).
Nasution, Harun, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI Press, 1986).
Rusyd, Ibnu, Tahafut al-Tahafut, (ed.) Sulaiman Dunya, (Kairo: Dar al-Ma`arif, 119 H.).
Sina, Ibnu, Al-Najah fi al-Hikmah al-Manthiqiyah wa al-Thabi`iyyah wa al-Ilahiyyah, (Kairo: al-Babi al-Halabi, 1938).
Smith, Huston, Why Religion Matters: The Fate of the Human Spirit in an Age of Disbelief, dalam ter. Ary Budiyanto,

(Bandung: Mizan, 2003).

Baca Selengkapnya »»

Makna Membela Islam

Membela agama sama artinya dengan menegakkan pesan, ajaran, amanat, nasehat, cita-cita, dan nilai-nilai Ilahiyah. Secara normatif, semua titah Allah yang sudah terkemas di dalam Islam memang sudah syumul dan tammah. Hanya, secara historis kemampuan umat Islam dalam memahami dan merealisasikannya tentu sangat bervariasi, pasang-surut, dan akan senantiasa berubah diakibatkan oleh berbagai faktor kesejarahan itu sendiri, seperti sosial, budaya, politik, ekonomi, psikologi, dan lain-lain.

Jadi, menurut saya, manakala seseorang hendak membela Islam, maka hal pertama yang perlu dilakukan adalah memahami Islam terlebih dahulu secara mendalam, segi normatif maupun historisnya. Pemahaman terhadap kedua sisi agama tersebut sangat penting agar umat tidak terjebak pada kekeliruan tentang apa,mengapa,kapan, dan bagaimana Islam harus dibela?



Dalam membela Islam, sejak masa klasik hingga sekarang,tidak sedikit umat yang terjebak hanya membela orang, kelompok, organisasi,hingga tanpa disadarinya juga membela kepentingan yang tidak jelas antara agama ataukah tokoh dan organisasi keagamaan, tetapi kemasannya selalu saja atas nama agama. Gambaran semacam ini jelas tidak menambah keutamaan Islam, sebaliknya justru akan menodainya.

Pada akhirnya gagasan sebaik apapun, dalam membela Islam, memang tidak begitu berarti jika tidak terwujud dalam aksi nyata dan konkrit dalam kehidupan sendiri maupun bersama. Namun, bukan berarti bahwa perihal pemahaman secara mendalam terhadap Islam dengan segala konsep, nasehat, hukum, isyarat-isyarat pengetahuan, kisah-kisah,nilai-nilai, dan segenap gagasan dan pesan-pesan Allah yang terdapat di dalam al-Qur'an boleh diabaikan begitu saja, sebab aksi nyata dan konkrit tersebut juga menjadi kurang begitu menggema dan dhasyat manakala tidak ditunjang dengan pemahaman mendalam.

Kecuali itu, Islam dengan segala kandungan yang terdapat dalam kitab sucinya memang meniscayakan pikiran dan tindakan yang besar, karena ia bukan sekadar difirmankan untuk kalangan tertentu, tetapi bagi kesejahteraan dan kedamaian di alam semesta secara keseluruhannya (rahmatan lil 'alamin). Islam diwahyukan benar-benar untuk memperjelas dan menampakkan kebesaran, kasih-sayang, dan kesucian Allah di muka bumi ini.

Tuhan akan sangat bangga dan menghargai terhadap manusia ciptan-Nya yang mampu menjadi besar dan terus berfikir yang besar untuk memperbesar tanda-tanda kebesaran-Nya. Bukankah semua manusia, apapun dan siapapun mereka, adalah khalifah Tuhan yang bertugas mengabdi kepada-Nya untuk memakmurkan alam semesta ini? Maka, pengabdian ini tidak bisa tidak menghendaki manusia agar sanggup berfikir dan berjiwa besar. Wallahu A’lam bi al-Shawab

Baca Selengkapnya »»

Muslim Tanpa Masjid (Kecenderungan Baru Islam Indonesia)

Pendahuluan
“Muslim tanpa masjid” adalah satu dari sekian banyak hasil pengamatan Kuntowijoyo terhadap gejala sosial-keagamaan kontemporer yang menarik untuk dicermati. Menarik, karena ia muncul dari serpihan fenomena reformasi Indonesia yang lepas dari tafsir budaya para pengamat pada 21 Mei 1998 yang silam. Dalam pandangan sekilas, aksi para mahasiswa saat itu memang tampak sebagai landscape politik, tetapi tidak demikian halnya dalam lirikan penulis buku (Muslim Tanpa Masjid: Esai-esai Agama, Budaya dan Politik dalam Bingkai Strukturalisme Transendetal, Bandung: Mizan, 2001) ini. Di permukaan memang seperti itu, namun pada struktur yang ada di bawah (deep structure) Kuntowijoyo melihat lebih jelas adanya panorama budaya dan agama.


Ketika itu, bersamaan dengan Soeharto lengser keprabon jutaan pasang mata warga Indonesia menyaksikan melalui layar TV ribuan mahasiswa muslim yang menduduki gedung MPR/DPR serentak mengadakan sujud syukur. Pemandangan yang mengharukan ini tentu memberi kesan tersendiri bagi umat Islam, ternyata para mahasiswa itu muslim juga. Tetapi, tidak lama setelah itu haru biru tersebut berubah menjadi keterkejutan, khususnya bagi Kuntowijoyo, ketika para mahasiswa ramai-ramai memasang dan mengangkat spanduk yang berisi penolakan terhadap B.J. Habibie sebagai Presiden RI. Padahal, sebagaimana telah menjadi rahasia umum bahwa Habibie adalah lambang bagi golongan Islam.
Pada sisi yang lain, keterkejutan itu memunculkan keraguan di benak umat dan dapat diduga ujung-ujungnya membuahkan perlawanan. Para mahasiswa muslim dan masyarakat Islam berangkat dari Masjid al-Azhar pada 22 Mei 1998 dengan membawa spanduk-spanduk yang menyatakan dukungan kepada B.J. Habibie. Pada saat itu nyaris terjadi bentrokan fisik antara mahasiswa di gedung MPR/DPR dengan mahasiswa dan masyarakat muslim itu.
Lalu, bagaimana tafsir dan maknanya, mahasiswa yang sujud syukur dan menolak B.J. Habibie sebagai presiden dengan mahasiswa dan masyarakat muslim yang berangkat dari Masjid al-Azhar untuk menyuarakan dukungannya terhadap Habibie? Jawaban Kuntowijoyo terhadap persoalan inilah yang akan membawa kita pada pemahaman tentang topik tulisan ini.
Sisi Lain Fenomena Reformasi Indonesia di Mata Kuntowijoyo
Akmulasi permasalahan yang mengawali era reformasi saat itu, seperti diperkirakan oleh Soeharto sendiri, ternyata justru mengantarkan bangsa ini pada konflik sesama saudara. Dengan begitu, masalah reformasi bukan lagi soal politik atau ekonomi semata, tetapi sudah menyangkut identitas umat, reference of group. Hal ini seperti tampak pada kasus dua kelompok mahasiswa muslim di atas. Selain itu, Kongres Umat Islam (KUI) pada tanggal 3-7 November 1998 yang menyatakan dukungan terhadap SI MPR tidak dihiraukan oleh mahasiswa muslim yang masih menghendaki Habibie sebagai presiden. Sampai di sini, menurut penulis buku (Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi, Bandung: Mizan, 1991) itu, permasalahan identitas tadi menjadi sangat jelas. Para mahasiswa yang menolak Habibie sebagai presiden maupun yang menolak hasil kongres KUI lebih merasa sebagai bagian dari mahasiswa ketimbang sebagai bagian dari umat. Demikian juga kebanyakan orang Islam lainnya yang merasa bahwa mereka bukan bagian dari umat. Mereka lebih memilih pada satuan-satuan lain yang bukan umat, seperti negara, daerah, bangsa, partai, ormas, kelas, usaha dan sebagainya. Pengetahuan agama mereka bukan dari lembaga konvensional, seperti masjid, pesantren atau madrasah, melainkan dari sumber anonim, seperti kursus, seminar, buku, majalah, kaset, CD, VCD, internet, radio dan televisi. Ini adalah sebuah kenyataan yang harus dibayar mahal oleh Islam di Indonesia dari fenomena hidup perkotaan yang harus dijalani oleh generasi muda umatnya.
Apakah itu suatu indikasi adanya pergeseran makna umat ataukah generasi baru Islam memang sudah tidak merasa sebagai bagian dari umat? Jawabnya, bisa saja hal ini merupakan gejala pergeseran makna umat saja, sehingga meskipun tidak menyatu, mereka sebenarnya masih tetap merasa sebagai bagian dari umat. Tetapi, bisa juga karena makna umat itu telah bergeser, maka pada gilirannya para generasi muda Islam perkotaan itu tidak lagi mengidentifikasi dirinya sebagai bagian dari umat.
Menurut catatan Sidney Jones, dalam pandangan komunitas muslim Jawa pada abad ke-17 konsep umat memiliki makna yang sangat luas, yakni mencakup keseluruhan dunia Islam. Tetapi, pada akhir abad ke-19 mereka tidak lagi mendefinisikan dirinya sebagai muslim dalam kaitannya dengan kebudayaan Islam secara lebih luas. Komunitas muslim Jawa itu hanya memaknai dirinya sebagai orang-orang yang berbahasa Melayu/Jawa. Pada awal abad ke-20, meskipun tingkat pendidikan masyarakat muslim Jawa semakin baik, konsep umat tetap menyempit, karena intervensi Belanda di dalam memaknainya. Apalagi, ditunjang oleh kemunculan Muhammadiyah dan NU sebagai wakil Indonesia dalam konggres umat Islam di Mekah pada tahun 1925.
Dengan demikian, sebenarnya pergeseran makna umat itu sudah pernah terjadi sejak akhir abad ke-19, dan itu semakin menyempit sesuai dengan pengertian yang diberikan oleh kedua organisasi umat Islam terbesar di Indonesia itu, atau setidaknya sebagai representasi keduanya.
Lebih lanjut Jones menegaskan bahwa pergeseran makna umat itu telah membawa perubahan penting di lingkungan Islam internasional, yaitu pergeseran basis kelas aktivis Islam dari elite konservatif tradisional ke kelas menengah urban. Dengan demikian, apabila dilihat dari kaca mata teori continuity and change, suatu teori yang mencoba melihat fenomena sosial maupun kebudayaan sebagai kesinambungan dan perubahan dalam sejarah, maka pergeseran makna umat di kalangan generasi baru (mahasiswa) Islam perkotaan di atas adalah suatu kesinambungan dari sejarah sebelumnya.
Tetapi, bagi Kuntowijoyo sisi lain dari reformasi Indonesia itu menunjukkan adanya gejala keterasingan (alienation) generasi baru Islam dari umat. Jadi, tidak sekadar terjadi pergeseran makna umat, namun sudah sampai pada keadaan di mana anak-anak muda itu tidak merasa lagi sebagai bagian dari umat. Dalam perspektif strukturalisme, suatu metode yang juga dipakai Kuntowijoyo untuk memahami ajaran Islam dalam konteks kekinian, fenomena ini adalah sebuah gambaran ketika suatu struktur sosial telah kehilangan keterpaduan (koherensi) di antara unsur-unsur penyangganya. Suatu struktur sosial itu tidak bersifat statis, ia akan terus mengalami proses perubahan bentuk (transformation). Apabila proses transformasi pada dataran unsur-unsur itu tidak dapat diselaraskan dengan keseluruhan strukturnya maka akan menimbulkan ketimpangan.
Ketimpangan berupa hilangnya perasaan sebagai bagian dari umat dalam kesadaran generasi baru Islam itu, menurut Kuntowijoyo, merupakan akibat dari minimnya daya tarik masjid di mata mereka. Akibat lebih jauh, mereka tidak sering mengunjungi masjid, sehingga terasing dari umat. Masjid sebagai simbol agama yang signifikan tidak banyak menyajikan pilihan-pilihan kegiatan yang menarik. Sedangkan sekolah atau perguruan tinggi memanjakan para mahasiswanya dengan beragam kegiatan, termasuk kegiatan kegamaan itu sendiri. Bahkan, hampir-hampir semua keperluan ruhani siswa pun dicoba dipenuhi oleh “seksi keruhanian Islam”. Sampai di sini timbul suatu kaidah, makin baik kehidupan agama di sekolah, maka makin terasing murid dari kegiatan keagamaan kampung yang berpusat di masjid. Inilah kira-kira sisi lain yang ada di bawah (deep structure) fenomena reformasi Indonesia dari pengamatan Kuntowijoyo. Sebuah potret budaya Islam yang ironis….”muslim tanpa masjid”. Benarkah?
Makna Lain Muslim Tanpa Masjid
Ungkapan “muslim tanpa masjid” dalam latar dan penafsiran seperti disajikan Kuntowijoyo itu harus diakui memang surprise. Orang tidak menduga bahwa penafsirannya akan semacam itu. Sebab, masjid sebagai suatu unsur simbol dalam agama dapat ditarik ke dalam beberapa makna. Dengan beberapa pemaknaan baru terhadap kata masjid, maka persoalannya pun akan menjadi berbeda dari konteks di mana istilah itu dikonstruksi oleh budayawan dan sejarawan kondang asal Yogyakarta tersebut. Proses penguraian kembali makna simbol itu diperlukan dalam rangka menemukan historisitasnya. Dalam arti, kemungkinan untuk memakai istilah “muslim tanpa masjid” pada konteks maupun makna yang berbeda.
Masjid bisa dimaknai ke dalam tiga bentuk pemahaman. Pertama, masjid sebagai institusi agama; Kedua, masjid sebagai manifestasi takwa dan amal shaleh; dan ketiga, masjid sebagai manifestasi budaya.
Pertama, masjid sebagai institusi agama. Dalam pengertian ini, maka ungkapan “muslim tanpa masjid” dimaknai sebagai keadaan komunitas muslim yang terjebak pada proses transendentalisasi agama. Artinya, generasi baru Islam itu hanya menempatkan Tuhan sebagai sesuatu yang transenden semata. Padahal, kemauan agama sendiri Tuhan itu transenden sekaligus imanent, yakni juga “terlibat” dalam urusan manusia sehari-hari. Kira-kira, meminjam semboyan John Naisbitt dan Patricia Aburdene berkenaan dengan kehidupan keagamaan semacam itu adalah spirituality yes, organized religion no. Pandangan keagamaan yang menyiratkan pemisahan antara beragama (religious) dan berkerohanian (spiritual), seperti yang tersirat pula dalam ungkapan “muslim tanpa masjid” itu, menurut almarhum Sujatmoko tidak dapat dibenarkan. Sebab, justru menurutnya abad mendatang adalah abad spiritualitas melalui agama-agama.
Berpijak dari pemahaman Sujatmoko tersebut, maka masjid harus dapat berfungsi menghubungkan kesadaran umat pada dataran spiritual dengan sektor publik seperti ekonomi, politik, pendidikan dan kebudayaan. Menurut Kuntowijoyo, di sinilah peran cendekiawan muslim diperlukan untuk memberikan kerangka penjelasannya.
Kedua, masjid sebagai manifestasi ketakwaan dan amal shaleh. Pemaknaan ini bertolak dari pemahaman bahwa iman dan kesadaran yang berada di dalam diri manusia adalah conditio sine qua non, syarat mutlak bagi yang berada di luar. Artinya, Islam bergerak dari dalam ke luar. Hal ini, seperti ditegaskan Kuntowijoyo, berbeda secara diametral dengan materialisme Marxisme yang beranggapan bahwa materi, yang di luar itu menentukan yang di dalam, atau structure menentukan superstructure.
Dengan demikian, di dalam Islam sebenarnya meniscayakan integrasi iman dengan takwa, atau iman dengan amal shaleh. Takwa merupakan praxis ‘ubudiyah dari iman, sebab orang hanya akan berpantang dari larangan dan patuh pada suruhan Allah, apabila orang itu beriman. Sedangkan, amal shaleh merupakan praxis mu’amalah, dimensi kemasya-rakatan dari iman. Masjid adalah sarana untuk praxis ‘ubudiyah umat Islam, sekaligus jika merujuk pada pengertian masjid yang pertama di atas, maka ia juga merupakan sarana bagi praxis mu’amalah.
Jika demikian pemahamannya, maka ungkapan “muslim tanpa masjid” sebenarnya menuntut kepada umat Islam agar orientasi kehidupan mereka berpusat di masjid. Apabila iman adalah conditio sine qua non bagi ketakwaan dan amal shaleh, padahal masjid adalah manifestasi dari keduanya, maka orientasi hidup seorang muslim itu dikehendaki agar berangkat dari dalam masjid menuju pasar, institusi pendidikan, parlemen, ormas, sanggar seni-budaya dan sebagainya.
Ketiga, masjid sebagai manifestasi kebudayaan (mosque as culture). Pengertian ini lebih merupakan refleksi dari keadaan masjid yang telah kehilangan daya tariknya dari generasi baru Islam di atas. Seperti telah disinggung oleh Kuntowijoyo sebelumnya bahwa anak-anak muda metropolitan lebih memilih kegiatan kegamaan di sekolah ketimbang di masjid. Hal ini disebabkan kegiatan masjid yang pasif tidak cukup efektif untuk membentuk kepribadian anak. Dalam konteks ini sekolah lebih menyenangkan, sebab di sini anak-anak muda itu dapat bergaul dengan kelompok seumur (peer group) mereka. Demikianlah, menurut Kunto, tidak mengherankan jika mahasiswa yang menduduki MPR/DPR saat itu yang nota beneh datang dari kelas menengah perkotaan menjadikan kampus sebagai basis sosial-keagamaan mereka, bukannya masjid. Oleh karena itu, sangat wajar jika dalam sistem pengetahuan muslim yang baru lahir itu kampus lebih dominan dari pada masjid.
Untuk mengembalikan kesadaran dan orientasi generasi baru Islam itu agar berpusat ke masjid, maka tidak ada jalan lain kecuali masjid harus dihidupkan kembali fungsinya sebagai pusat peradaban dan kebudayaan.
Penutup
Dari beberapa uaraian tentang pemikiran Kuntowijoyo soal “muslim tanpa masjid” di atas, dapat dipahami bahwa ada kecenderungan baru di kalangan generasi baru Islam di perkotaan menjauh dari pusat kesadaran dan orientasi kehidupan mereka, yakni masjid. Sebagai akibat paling sederhana dari gejala ini, karena mereka telah menjadikan kampus atau sekolah sebagai basis sosial, adalah terjadi polarisasi baru di dalam tubuh umat atau setidaknya telah terjadi pergeseran makna umat dalam pemikiran mereka. Saya kira ini merupakan suatu pembacaan yang hanya bisa dilakukan dengan kejelian dan keseriusan seperti telah dilakukan oleh budayawan dan sejarawan kondang asal kota gudeg itu. Wallahu a’lam bi al-shawab.

Baca Selengkapnya »»

  ©by M. Lutfi Mustofa 2009

Kembali ke ATAS